Pandemi Covid-19 tidak hanya memaksa manusia beradaptasi dengan cara mereka bekerja. Pandemi ternyata juga berpengaruh pada pilihan seseorang mengekspresikan diri, termasuk soal pakaian kerja.
Oleh
Luki Aulia
·5 menit baca
Sejak pandemi Covid-19 memaksa hampir semua orang di seluruh dunia untuk bekerja dari rumah, kebiasaan berpakaian pun ikut berubah. Lebih dari satu tahun di rumah saja, orang mulai terbiasa memakai baju sekenanya dan tak perlu ganti seharian karena toh tidak kemana-mana. Baju tidur atau piyama, baju santai, dan baju olahraga akhirnya menjadi baju kerja juga dengan sesekali saja berganti baju atasan yang rapi dan resmi saat harus rapat melalui video telekonferensi atau aplikasi Zoom.
Jas, blazer, kemeja, dan celana kain ala baju kantoran dirasa tak cocok lagi. Bahkan saat sekarang mulai banyak orang masuk kantor lagi, gaya busana santai ternyata tetap dipertahankan. "Ada teman saya di kantor tanpa sepatu jalan ke meja-meja lain. Dulu tidak boleh. Saya juga sekarang pakai baju lebih santai karena nyaman," kata Deanna Narveson, wartawan di Baton Rouge, Louisiana.
Baju santai sebenarnya sudah biasa dipakai mereka yang bekerja di sektor teknologi atau di perusahaan start-up. Tetapi jarang atau bahkan tidak pernah terlihat di perusahaan yang sifatnya lebih kaku dan resmi atau di kantor pemerintah. Namun, Matt Triner di perusahaan konsultasi Teknologi Informasi Hunter Strategy mengaku mulai melihat pegawai di Departemen Pertahanan Amerika Serikat yang sekarang memakai kaus dan celana pendek saja. "Perubahan cepat ini semua gara-gara pandemi," ujarnya.
Kini, Direktur Gaya di majalah Esquire, Charlie Teasdale, kepada harian the Guardian, Juni lalu, mengatakan orang mulai mengutamakan baju yang simpel dan nyaman saja ketimbang baju yang modis karena toh tidak banyak bertemu orang lain seperti biasanya. Orang tidak butuh lagi pendapat orang lain soal bajunya.
Masalahnya, nantinya batasan antara baju kerja dan kasual kemungkinan akan memudar selamanya. Harian the Sidney Morning Herald menyebutkan majalah Bazaar Harper sudah memakai istilah "biz-leisure" atau baju kerja santai dan bentuknya akan berbeda-beda bagi setiap orang sesuai dengan kondisi pekerjaannya. Ide bentuk bajunya, misalnya, mengkombinasikan blazer dan kaos dengan celana santai.
Lana Coppel, pendiri toko online Order of Style, menilai demi kenyamanan bekerja di rumah orang mulai memilih baju dengan kain yang halus seperti sutra dengan gaya yang lebih longgar dan bukan kemeja berkancing dan berkrah kaku. "Celana kerja semi resmi dan gaya denim yang lebih longgar kemungkinan akan jadi tren mulai sekarang," ujarnya.
Menemukan diri
Daniele Fay Mathras, pengamat marketing di Northeastern University yang mempelajari gerakan minimalisme, menilai pandemi memaksa orang meninjau kembali siapa diri mereka dan bagaimana cara mempresentasikan dirinya.
Selama lebih dari satu tahun terakhir ini, kata Mathras, cara hidup dan gaya hidup orang berubah sebagai upaya untuk bertahan hidup dari hari ke hari. Orang kini lebih memprioritaskan diri sendiri terutama kenyamanan diri.
Psikolog Erik Fisher kepada CNN mengatakan tidak ada salahnya jika orang mau berpakaian apa saja selama nyaman untuk bisa efektif bekerja. "Ini semua masalah persiapan mental saja. Kebiasaan berpakaian ini urusan pribadi saja dan setiap orang berbeda-beda," ujarnya.
Sejak lama peneliti penasaran dengan makna di balik pakaian, bukan hanya sebagai cara orang berkomunikasi dengan sesama tetapi juga cara membentuk persepsi diri sendiri. Ada studi tahun 2015 yang menemukan orang yang berdandan atau berpakaian modis dan rapi ternyata bisa berpikir lebih kreatif. Tetapi itu juga sebenarnya tergantung masing-masing individu.
Harian the Wall Street Journal, September lalu, menyebutkan ada sebagian orang yang mengaku justru kehilangan motivasi karena tidak ada lagi alasan untuk berdandan atau berpakaian untuk bekerja setiap pagi. Psikiater dan ahli klinis di Sekolah Kedokteran Stanford University, Nina Vasan, menyebutnya sebagai "kognisi tertutup", teori yang menggambarkan efek pakaian pada perasaan dan tindakan seseorang.
"Berpakaian membentuk kondisi mental dan produktivitas seseorang. Kalau terpaksa berada di rumah seharian, pakaian yang dikenakan menentukan mood apapun yang dikerjakan," kata Vasan.
Memakai setelan jas, misalnya, bisa membuat orang merasa kuat dan berkuasa. Sementara, sebaliknya, memakai baju tidur seharian di rumah bisa membuat orang lesu. "Ketika berbaju santai di rumah saat jam kantor, saya rasanya malah jadi susah bekerja," kata Elliot Blackler.
Karen Condor, pegawai bank swasta, saat bekerja di rumah pernah kangen memakai baju kerja. Saking kangennya, ia lalu berbaju rapi lengkap dengan gelang, anting, kalung, dan sepatu hak tinggi hanya untuk pergi ke apotek dekat rumah.
Industri berubah
Tren berbaju santai justru menjadi ancaman bagi produsen pakaian formal laki-laki seperti Brooks Brothers yang bangkrut tahun lalu. Penata gaya, Sascha Lilic, menilai pandemi akan membawa konsekuensi jangka panjang pada cara orang berpakaian saat bekerja, terutama laki-laki. "Bajunya akan menjadi lebih kasual. Bisa jadi bentuknya masih setelan jas tetapi akan ada tali pinggang atau elastis," ujarnya.
Lilic yang pernah bekerja dengan sejumlah rumah mode ternama seperti Hugo Boss dan Elie Saab, memperkirakan orang akan lebih banyak memakai sepatu pantofel dan jarang memakai dasi. "Permintaan kemeja kerah terbuka pasti akan tinggi," ujarnya.
Perubahan tren ini sudah mulai terlihat di produk merek-merek mode terkenal dengan banyaknya produk jas linen dan katun serta kaos polo dan sepatu-sepatu kets berdesain sederhana.
Pakaian kerja akan menjadi lebih individualistis, kata Lilic, tetapi tetap menghormati lingkungan kantor. "Berubah tetapi tidak drastis dan juga tidak kemudian datang ke kantor di bank, misalnya, dengan pakaian seperti penyanyi rap. Penampilan dan formalitas terkadang tetap perlu," ujarnya.
Perancang busana spesialisasi pakaian mewah siap pakai laki-laki di New York, David Hart, tetap yakin orang akan tetap mau kembali berpakaian resmi lagi setelah pandemi berakhir. "Orang akan mau mulai berdandan lagi untuk diri mereka sendiri. Bukan karena diharuskan ketika bekerja," kata Hart yang biasanya merancang jas dan celana tetapi kini membuat pakaian rajutan, masker, kaos polo, dan baju hangat itu. (AFP)