Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi terus menggalang dukungan untuk menyelesaikan permasalahan di Myanmar. Muncul usulan, termasuk memanfaatkan kedekatan PM Thailand Prayuth Chan Ocha dengan junta.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia terus menggalang dukungan dan komunikasi dari dunia internasional agar memberikan perhatian bagi keselamatan rakyat dan proses demokrasi di Myanmar. Selain menggalang dukungan dari negara-negara ASEAN, organisasi regional tempat Myanmar tergabung, Indonesia juga membuka komunikasi dengan Amerika Serikat dan China, dua negara yang bersaing untuk memperebutkan pengaruh di kawasan.
Upaya menggalang komunikasi ini dilakukan oleh Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi selama beberapa pekan terakhir. Setelah berbicara dengan Pemerintah Malaysia, Selasa (16/2/2021), dan seusai bertemu serta berdiskusi dengan Menteri Luar Negeri Hongaria Peter Szijjártó di Jakarta, Retno terbang ke Brunei Darussalam untuk bertemu dengan Sultan Hassanal Bolkiah, pemimpin Brunei Darussalam, yang kini memimpin ASEAN.
Dalam jumpa pers seusai bertemu dengan mitranya, Menlu Brunei Darussalam Dato Erywan, Retno menegaskan kembali pendekatan konstruktif untuk menanggapi isu Myanmar.
”Prinsip-prinsip yang kita pahami untuk membantu Myanmar adalah tetap menghormati prinsip non-interference, mengutamakan constructive engagement, mengutamakan keselamatan dan kesejahteraan rakyat Myanmar, dan berkontribusi untuk mencari solusi terbaik bagi rakyat Myanmar, termasuk membantu transisi demokrasi yang melibatkan semua stakeholder atau transisi demokrasi secara inklusif,” kata Retno.
Lebih lanjut ia menegaskan, pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan sebagai satu keluarga, keluarga ASEAN. Sikap itu menjadi kewajiban setiap negara anggota ASEAN, terutama untuk menghormati apa yang tertera dalam Piagam ASEAN. ”Artikel 1 Ayat (7) dari Piagam ASEAN mengatakan, to strengthen democracy, enhance good governance and the rule of law, and promote and protect human rights and fundamental freedom,” kata Menlu Retno.
Artikel itu menyebutkan amanat untuk memperkuat demokrasi, tata kelola pemerintahan yang baik serta supremasi hukum, dan perlindungan hak asasi manusia serta kebebasan fundamental. ”Indonesia yakin bahwa mekanisme ASEAN adalah mekanisme yang paling tepat untuk dapat membantu Myanmar, sekali lagi, dalam mengatasi situasi yang delicate ini,” kata Retno menambahkan.
Menurut dia, dukungan dan dorongan internasional terhadap ASEAN juga sangat tinggi, antara lain, tampak dari Pernyataan Dewan Keamanan PBB pada 4 Februari lalu dan Resolusi Ke-29 dari Dewan HAM PBB mengenai implikasi krisis di Myanmar terhadap HAM.
Selasa lalu, setelah menggelar pertemuan bilateral dengan Menlu Hongaria Peter Szijjártó di Jakarta, Retno mengatakan, ia telah menjalin komunikasi dengan Menlu AS Anthony Blinken pada Selasa malam. Keduanya menyatakan prihatin atas situasi di Myanmar. Selain berkomunikasi dengan Blinken, Retno pun berkomunikasi dengan kolega dekatnya, Menlu China Wang Yi.
Upaya Retno membuat Indonesia menjadi anggota ASEAN yang paling terbuka soal Myanmar. Retno berulang kali mengatakan, Indonesia siap berkontribusi di Myanmar. Selain itu, Indonesia relatif netral dalam dinamika kawasan. Jakarta bisa berkomunikasi baik dengan Beijing maupun Washington yang tengah berebut pengaruh di kawasan.
Thailand
Dalam diskusi daring yang digelar The Habibie Centre, Rabu (17/2/2021), peneliti senior The Habibie Center, Rene Pattiradjawane, mengatakan, hubungan baik yang terjalin antara pemimpin kudeta Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, dan Perdana Menteri (PM) Thailand Prayuth Chan-ocha—ditandai dengan surat yang dikirim Hlaing kepada Prayuth yang berisi alasan mengapa militer melakukan kudeta—dapat menjadi pintu masuk.
Negara-negara anggota ASEAN disarankan untuk memanfaatkan kedekatan hubungan dan kepercayaan yang diberikan junta militer Myanmar kepada PM Prayuth sebagai alternatif jalur komunikasi resmi. Pada saat yang sama, konferensi tingkat tinggi pemimpin negara ASEAN bisa menjadi langkah berikutnya untuk membantu proses politik di Myanmar.
Sementara itu, dari Myanmar dikabarkan, unjuk rasa warga terus berlangsung. Sikap represif aparat keamanan tidak membuat ciut rakyat Myanmar yang terus menyuarakan penolakan terhadap kudeta oleh militer.
Puluhan ribu warga Myanmar, dari daerah dataran tinggi terpencil di Negara Bagian Chin hingga warga kota kecil di delta Irrawady, turun ke jalan di kota tempat mereka tinggal dan mengangkat poster yang berisikan penolakan terhadap kudeta serta tuntutan pembebasan Aung San Suu Kyi.
Di ibu kota Naypyidaw, puluhan ribu warga yang bekerja di berbagai sektor, mulai dari insinyur, dokter, hingga guru, berbaris menuju kota pusat penebangan kayu Pyinmana sambil membawa poster dan spanduk bertuliskan ”Bantu Myanmar”.
Sementara di Yangon, kota terbesar kedua Myanmar, warga memprotes tindakan militer dengan mengadopsi taktik militer, yaitu memarkir kendaraan mereka di tengah jalan dengan kap mesin terbuka. Aparat keamanan dan militer tidak bisa berbuat banyak kecuali mencoba mendorong mobil-mobil yang bertebaran di tengah jalan ke pinggir agar kendaraan lain bisa melewati barikade tersebut.
Salah satu pemilik mobil yang ikut serta dalam aksi barikade itu menyatakan, mobilnya mogok karena penderitaan yang dialami oleh warga saat ini akibat tindakan militer. Kami menghentikan mobil di sini, di jalan, untuk menunjukkan bahwa kami tidak menginginkan rezim militer,” kata laki-laki yang tidak mau disebut namanya karena alasan keamanan. (AFP/REUTERS/RAZ/JOS)