Amerika Serikat dinilai tidak memberikan kompenesasi yang cukup atas kehadiran pasukannya di Filipina. Manila meminta AS membayar lebih.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
MANILA, SENIN — Pemerintahan Presiden Filipina Rodrigo Duterte menginginkan lebih banyak bantuan militer dari Amerika Serikat sebagai imbalan untuk tidak membatalkan pakta keamanan dengan Washington. Manila menolak jika permintaan blak-blakan ini dinilai sebagai pemerasan.
Juru bicara kepresidenan Filipina, Harry Roque, mengatakan, Filipina telah menerima bantuan jauh lebih sedikit dibandingkan Pakistan dan negara lain meski Manila memiliki perjanjian aliansi yang lama. Roque tidak menyebutkan berapa banyak bantuan yang harus AS berikan sebagai imbalan atas Visiting Forces Agreement.
Dalam pidatonya minggu lalu, Duterte mengatakan bahwa jika AS ingin tetap melanjutkan perjanjian militer dengan Filipina yang ia perintahkan untuk dibatalkan setahun lalu, maka ”mereka harus bayar”.
”Ini adalah berbagi tanggung jawab, tapi bagian tanggung jawabmu tidak gratis,” kata Duterte.
Roque menyampaikan bahwa ”yang diinginkan presiden adalah, jika Anda ingin tetap memakai wilayah kami, kami ingin kompensasi. Bukan koin yang sedikit, bukan peralatan yang bobrok.”
Pemerintahan Duterte memberitahu Pemerintah AS pada Februari 2020 bahwa mereka berniat untuk membatalkan perjanjian tahun 1998 yang mengizinkan sejumlah besar pasukan AS untuk ikut dalam latihan tempur gabungan dengan tentara Filipina dan menetapkan aturan hukum untuk mereka tinggal sementara.
Pemutusan kesepakatan itu membutuhkan waktu 180 sebelum akhirnya berlaku efektif pada Agustus 2020. Akan tetapi, Duterte menunda pemberlakuan efektif keputusan itu. Apabila perjanjian itu dihentikan, akan menjadi pukulan telak bagi mitra terlama AS di Asia.
Selama ini, Duterte sering kali mengecam kebijakan keamanan AS sambil memelihara hubungan dengan China dan Rusia. Tetapi, menteri luar negeri dan menteri pertahanannya menyebut pentingnya aliansi Manila dengan Washington.
Kehadiran militer AS di kawasan itu dilihat sebagai penyeimbang penting kekuatan China yang terus secara agresif menegaskan klaim teritorialnya di Laut China Selatan walaupun pengadilan internasional tahun 2016 membatalkan dasar kesejarahan yang mereka sampaikan.
China, Filipina, dan Vietnam telah terjebak dalam sengketa ini selama berpuluh tahun.
Senator Panfilo M Lacson, Ketua Komite Senat untuk Pertahanan Nasional sekaligus pendukung Duterte, menuturkan, ”Ada cara yang lebih sipil dan negarawan untuk meminta kompensasi dari mitra lama menggunakan saluran diplomasi dan tetap mendapatkan hasil yang sama seperti yang dikehendaki.”
”Permintaan Duterte agar AS membayar lebih mungkin memberikan kesan bahwa Filipina adalah negara pemeras,” kata Lacson. Ia juga menekankan bahwa ”seseorang tidak bisa memberi label harga pada nilai” Visiting Forces Agreement.
Albert del Rosario, mantan Menteri Luar Negeri Filipina, mengatakan, perjanjian itu menegakkan Perjanjian Keamanan Bersama tahun 1951.
”Sulit dimengerti bahwa ketika mitra saling membantu satu sama lain melawan musuh bersama, salah satu pihak meminta bayaran pada pihak lainnya,” ujarnya.
Roque menanggapinya dengan menyatakan bahwa permintaan itu ”bukanlah pemerasan, itu menjunjung tinggi kepentingan nasional rakyat Filipina”.
Para pejabat AS yang berulang kali menekankan nilan perjanjian 1998 terhadap kedua negara dan keamanan di kawasan belum memberikan tanggapan atas permintaan Duterte itu. (AP)