Wajah Paris di Timur
Dipenuhi dengan gedung-gedung tua berarsitektur gaya Eropa, pusat kota Kairo adalah magnet bagi para wisatawan. Kawasan itu dikembangkan dengan terinspirasi oleh keindahan kota Paris.
Sabtu, 6 Februari 2021, suasana pusat kota Kairo cukup ramai. Seperti halnya pusat kota lain di dunia, pusat kota di Kairo didominasi pertokoan dan perkantoran dengan arus lalu lintas dan manusia tak ubahnya sungai besar berair deras, mengalir tak putus-putus.
Beragam manusia hilir-mudik dengan aneka kepentingan masing-masing. Keramaian itu terus mengiringi detak pusat kota Kairo sepanjang siang dan malam hari.
Kairo adalah kota terbesar di Mesir dan Afrika. Pusat kota itu ditinggali oleh sekitar 10 juta jiwa penduduk. Namun, jika dihitung dengan wilayah di sekitarnya, metropolitan kota Kairo dihuni oleh sekitar 20 juta orang.
Baca juga: Terkesima Melihat Kemegahan Masjid Ibn Tulun yang Tetap Kokoh 1.000 Tahun
Pusat kota Kairo tidak hanya urat nadi bisnis, wilayah itu dikenal juga sebagai obyek wisata karena deretan bangunan klasik yang eksotis.
Sejauh mata memandang tampak gedung-gedung dengan arsitektur klasik bergaya Eropa. Siapa pun yang pernah mengunjungi pusat kota Kairo akan segera merasakan suasana kota di Eropa, khususnya Paris, Perancis. Tampilannya seakan berada di Paris. Tak heran jika pusat kota Kairo juga dijuluki ”Paris di Timur”.
Kafe-kafe dari kelas premium hingga kelas bawah bertebaran, mirip kafe-kafe yang mudah ditemukan di sudut-sudut kota Paris.
Berada di pusat kota Kairo, mudah dijumpai warga Kairo tengah duduk santai sambil minuh teh atau kopi di kafe-kafe itu.
Menongkrong sembari menikmati teh atau kopi dan mengobrol dengan temanteman sejawat sudah menjadi bagian hidup warga Kairo. Konon, budaya tersebut terinspirasi oleh budaya menongkrong di kafe-kafe di kota Paris.
Salah satu kafe dan restoran yang paling populer sebagai tempat tongkrongan adalah kafe dan restoran J.Groppi. Di pusat kota Kairo terdapat dua kafe J.Groppi, satu di area Talaat Harb Square yang kini sedang direnovasi dan lainnya di area dekat Opera Square di Distrik Ataba.
Kafe J.Groppi berusia 130 tahun, didirikan tahun 1891. Kafe J.Groppi menempati gedung dengan arsitektur bergaya Eropa. ”Di sini, setiap hari selalu penuh pengunjung. Mulai siang hari, para tamu berdatangan. Sering kali semua tempat duduk penuh tamu,” ujar Karman (23), salah seorang pelayan kafe J.Groppi di Ataba.
”Masa pandemi tidak terlalu banyak berpengaruh pada jumlah pengunjung di sini. Sekarang masih masa pandemi dan Anda bisa lihat sendiri semua tempat duduk penuh tamu,” lanjut Karman sambil menawarkan menu.
Karman, yang sudah lima tahun bekerja di J.Groppi, mengaku senang bekerja di kafe itu. Tamu terus berdatangan meski Mesir didera pandemi.
Baca juga: Terkesima pada Kemegahan Piramida
”Alhamdulillah jumlah pengunjung kafe J.Groppi tidak mengalami penurunan signifikan pada masa pandemi ini. Bahkan, bisa disebut pengunjung kafe J.Groppi tetap stabil dari sebelum pandemi hingga pada masa pandemi saat ini,” lanjut Karman. Ia bersyukur karena kafe-kafe lain mulai mengurangi pegawai mereka karena sepi.
Inspirasi
Pengembangan pusat kota Kairo yang bergaya Eropa itu bukan tanpa sebab. Alkisah, ide itu bermula saat Khadive Ismail Pasha (penguasa Mesir 1830-1895 M) mengunjungi kota Paris pada tahun 1867. Kunjungan itu dirancang untuk mencari inspirasi model kota bagi proyek pembangunan kembali kota Kairo saat itu.
Saat berada di Paris, Khadive Ismail Pasha terbius dengan keindahan kota Paris yang dipenuhi gedung-gedung berarsitektur eksotis.
Sepulang dari Paris, Khadive Ismail langsung menginstruksikan pembangunan pusat kota Kairo yang modern sebagaimana Paris.
Untuk mewujudkan mimpinya, Khadive Ismail mengundang arsitek tata kota asal Perancis, Georges-Eugene Haussman, untuk merancang kota impian itu. Tata kota Kairo pun digarap persis seperti pusat kota Paris.
Saat itu dipilihlah area dekat Sungai Nil yang masih berupa rawa-rawa untuk diubah menjadi pusat kota. Langkah awal Eugene Haussman adalah merancang jalan-jalan baru meniru model jalan-jalan di pusat kota Paris, kemudian disusul membangun gedung-gedung berarsitektur Eropa di sepanjang jalan-jalan baru tersebut.
Pada tahun 1872, Khadive Ismail Pasha menginstruksikan pembangunan Jalan Mohamed Ali yang menghubungkan area baru itu dengan kota lama Kairo, peninggalan dinasti Fatimid dan Tulunid.
Pada tahun itu pula Khadive Ismail Pasha memerintahkan pembangunan Jembatan Qasr al-Nil sepanjang 406 meter diatas Sungai Nil yang menghubungkan pusat kota baru yang berada di tepi timur Sungai Nil dengan area tepi barat Sungai Nil. Di pintu masuk arah barat Jembatan Qasr al-Nil dibuat patung singa.
Baca juga: Menatap Gagahnya Patung Sphinx
Pembangunan Jembatan Qasr al-Nil dirancang oleh arsitek asal Perancis, Gustave Eiffel, arsitek yang membangun menara Eiffel di Paris. Pada tahun 1875, dibangun gedung Opera House di Distrik Ataba. Area itu kini terkenal dengan nama Opera Square.
Pada tahun itu pula mulai dibangun proyek permukiman baru di Distrik Zamalek (sebuah pulau kecil di tengah Sungai Nil yang dikelilingi kota Kairo) oleh arsitek asal Perancis, de la Chevalerie.
Permukiman baru tersebut diberi nama Jardin des Plantes atau Taman Tanaman karena area itu sangat hijau penuh dengan aneka tanaman dan pepohonan.
Pengaruh arsitektur Perancis atas gedung-gedung di Kairo tetap kuat hingga masa setelah Khadive Ismail Pasha. Banyak arsitek asal Perancis terlibat dalam pembangunan gedung dan permukiman di Kairo setelah era Khadive Ismail Pasha, di antaranya Alexan Marcel, Leo Nafiliyin, Raoul Brandon, dan Antoine Backh.
Arsitek asal Perancis, Georges Parcq, adalah arsitek pembangunan gedung kantor Kedubes Perancis di Kairo.
Pada tahun 1900-an, arsitektur Italia mulai merambah kota Kairo. Arsitek asal Italia, Antonio Lasciac, membangun gedung Risotto Club di Mustafa Kamel Square pada tahun 1929. Arsitek asal Italia lainnya, Mario Rossi, hadir untuk terlibat dalam pembangunan Masjid Omar Makram di Tahrir Square. Arsitek asal Italia, G Balian, membangun beberapa gedung di Talaat Harb Square pada tahun 1934.
Pada abad ke-20, area pusat kota Kairo menjadi rumah warga Mesir kelas atas dan warga Eropa. Pascarevolusi Mesir tahun 1952, banyak warga Mesir kelas atas dan Eropa meninggalkan rumah mereka di area itu. Mereka pindah ke wilayah permukiman baru di Kairo, seperti di Distrik Mohandessin, Maadi, dan Heliopolis. Properti mereka di pusat kota Kairo disewakan untuk dijadikan toko, kafe, dan kantor.
Kini, gedung-gedung klasik berarsitektur Eropa itu tetap berdiri utuh dan menjadi magnet bagi wisatawan.