Korea Utara Curi Uang Lewat Serangan Siber untuk Bangun Rudal
Korut dituduh berada di balik pencurian 81 juta dollar AS melalui daring dari Bank Bangladesh dan 60 juta dollar AS dari Bank Taiwan.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
NEW YORK, RABU — Selama beberapa bulan terakhir, rezim Korea Utara rupanya telah mencuri mata uang digital atau virtual crypto currency senilai 316,4 juta dollar AS melalui serangan-serangan siber sejak November hingga November 2020 ke berbagai institusi finansial. Uang virtual itu untuk membiayai program rudal balistik dan nuklir Korea Utara.
Ini merupakan laporan panel tim ahli pemantau sanksi bagi Korut yang diserahkan kepada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Senin lalu.
Tim panel PBB itu tengah menyelidiki kasus peretasan pertukaran mata uang virtual yang kemudian berakibat mata uang virtual senilai 281 juta dollar AS dicuri pada September 2020.
”Mereka memanfaatkan serangan siber untuk membiayai program rudal dan nuklir serta terus mencari material dan teknologi di luar negeri, termasuk dari Iran,” sebut laporan itu.
Satu bulan kemudian, dalam serangan siber kedua, diketahui ada 23 juta dollar AS yang dicuri. ”Dari hasil analisis sementara, ada kaitannya dengan Korut,” sebut laporan itu. Kemampuan Korut melakukan peretasan di dunia maya itu baru diketahui dunia pada 2014. Saat itu, Korut dituduh meretas masuk ke perusahaan hiburan Sony Pictures Entertainment untuk membalas dendam film satir tentang pemimpin Korut, Kim Jong Un, berjudul The Interview.
Peretasan Korut ke Sony Pictures Entertainment itu berakibat pada diunggahnya sejumlah film yang belum resmi rilis ke online dan beredarnya dokumen-dokumen rahasia.
Korut juga dituduh berada di balik pencurian 81 juta dollar AS melalui daring dari Bank Pusat Bangladesh dan pencurian 60 juta dollar AS dari Bank Far Eastern International Taiwan.
Selama ini, Korut diketahui mengerahkan ribuan ”tentara peretas” yang sudah terlatih menyerang perusahaan, institusi, dan peneliti di Korea Selatan dan di mana pun. Kini, bala tentara peretas Korut dikhawatirkan kian gencar bekerja demi mengumpulkan uang dengan cara menyerang pertukaran mata uang virtual karena nilai bitcoin dan mata uang virtual lainnya melonjak.
Korut juga pernah dituding terlibat dalam serangan siber global Wannacry yang tujuannya hendak meminta tebusan pada 2017. Pada waktu itu, sedikitnya 300.000 komputer di 150 negara terdampak. Cara kerja para peretas, mereka membuka dokumen-dokumen pengguna lalu meminta tebusan ratusan dollar AS jika pengguna menghendaki datanya dikembalikan. Korut membantah semua tuduhan itu.
Meski di dalam laporan tim panel itu tidak menyebutkan korban serangan siber Korut, pertukaran mata uang digital KuCoin melaporkan adanya pencurian bitcoin senilai 281 juta dollar AS dan berbagai token lain pada 25 September lalu.
Para peretas diduga hendak menyalurkan uang hasil curian dengan cara pertukaran mata uang antarindividu atau istilahnya pertukaran terdesentralisasi. Ini upaya untuk menerobos platform perdagangan yang dikelola secara terpusat.
”Menurut sumber yang memahami kedua kasus peretasan itu, para peretas mengeksploitasi protokol kontrak pintar yang memfasilitasi transaksi otomatis,” sebut laporan PBB.
KuCoin sudah berhasil memulihkan lebih dari 80 persen mata uang digital yang dicuri pada September lalu berkat kerja sama dengan layanan pertukaran lain yang segera membekukan uang itu saat sedang transit melalui sistem mereka. KuCoin juga mengaku sudah mengetahui pelaku peretasannya, tetapi baru akan dibuka ke publik atas permintaan penegak hukum.
Dalam laporan tahun 2019, Korut disebutkan telah mengumpulkan uang sekitar 2 miliar dollar AS memakai cara serangan siber mencuri dari bank dan pertukaran crypto currency. Sampai saat ini, para peretas yang terkait dengan Korut masih menyasar institusi-institusi finansial dan mata uang virtual.
Dengan cara-cara memperoleh uang seperti ini, Korut mampu bertahan meski masih terjerat sanksi dari PBB sejak 2006. Sanksi yang melarang ekspor dan membatasi impor itu diberikan dengan harapan Korut akan mau meninggalkan program rudal dan nuklirnya. (REUTERS/AFP/AP)