Kudeta militer di Myanmar membuat upaya repatriasi pengungsi Rohingya di kamp-kamp penampungan di Bangladesh makin tidak jelas. Meski berliku, repatriasi menuntut pemulihan kembali demokrasi di Myanmar.
Oleh
Luki Aulia
·5 menit baca
Ketika kudeta militer Myanmar terjadi pada 1 Februari, pikiran segera tertuju pada nasib masyarakat minoritas Muslim etnis Rohingya, terutama yang berada di kamp-kamp pengungsian, seperti di Bangladesh. Masih ada sekitar 600.000 warga Rohingya di Myanmar. Akibat kekerasan militer di Negara Bagian Rakhine tahun 2017, lebih dari 740.000 warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh dan sampai sekarang masih terdampar di kamp-kamp pengungsian di negara tersebut.
Kondisi kamp pengungsian pun tidak memadai. Warga Rohingya tidak bisa bergerak bebas karena kamp penampungan pengungsi itu kian penuh sesak. Akses pada layanan kesehatan dan pendidikan pun terbatas. Hidup dalam ketidakpastian dan serba terbatas membuat pengungsi Rohingya putus asa dan geram, terutama ketika Penasihat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi yang dinilai malah membiarkan kekerasan militer pada Rohingya. Bahkan, Suu Kyi membela militer di Mahkamah Internasional (ICJ) tahun 2019 atas kasus kejahatan, termasuk pembunuhan dan pemerkosaan, terhadap warga Rohingya.
Bagi pengungsi Rohingya, kudeta militer di Myanmar mencemaskan. Akan tetapi, penahanan rumah Suu Kyi oleh militer malah disambut gembira. Hal ini berbeda dengan masyarakat Myanmar yang marah karena mengidolakan Suu Kyi.
”Dialah penyebab penderitaan kami. Harus kita rayakan,” kata Farid Ullah, pemimpin komunitas pengungsi Rohingya di Kutupalong, permukiman pengungsi terbesar di dunia, di Bangladesh.
Mohammad Yusuf, pemimpin Rohingya di kamp Balukhali, kecewa dengan Suu Kyi. Dulu, Suu Kyi pernah diharapkan oleh warga Rohingya bisa menyelamatkan mereka, tetapi ternyata mereka keliru.
”Dulu dia harapan terakhir kami, tetapi dia malah mendukung genosida Rohingya,” ujar Yusuf.
Repatriasi
Ketimbang memikirkan nasib Suu Kyi, pengungsi Rohingya, terutama yang berada di Bangladesh, lebih khawatir pada kelanjutan rencana repatriasi. Peluang untuk bisa kembali ke kampung halaman kian buram. Di sisi lain, Pemerintah Bangladesh lebih khawatir dengan gelombang pengungsi Rohingya setelah militer kembali berkuasa. Myanmar didesak segera kembali ke jalur transisi demokrasi.
Dalam kesepakatan Bangladesh dengan pemerintah sipil Myanmar sebelumnya yang dicapai pada 23 November 2017, rencana repatriasi atau memulangkan Rohingya ke kampung halamannya akan dimulai Juni 2021. Sebenarnya, Bangladesh menginginkan repatriasi dimulai pada Maret 2021, tetapi Myanmar minta ditunda hingga pertengahan tahun.
”Alasan Myanmar adalah mereka harus menyiapkan logistik dan kebutuhan fisik lainnya,” kata Menteri Luar Negeri Bangladesh Abdul Momen.
Di berbagai forum internasional, termasuk PBB dan ASEAN, penyelesaian yang ditawarkan dalam krisis Rohingya ialah repatriasi atau pemulangan pengungsi Rohingya ke Myanmar. Tidak terhitung jumlahnya, ASEAN mengeluarkan pernyataan resmi soal itu.
Pemerintah RI melalui Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi pada pertengahan September 2020 bahkan sampai melontarkan pernyataan bernada keras bahwa Myanmar adalah rumah warga Rohingya.
Namun, berbagai tekanan internasional itu tumpul dan tak mampu menekan Myanmar untuk segera—atau setidaknya mulai mempersiapkan—repatriasi tersebut. Alih-alih pulang kampung ke Myanmar, sebagian pengungsi Rohingya telah dipindahkan oleh Pemerintah Bangladesh ke kamp lebih terpencil di Pulau Bhashan Char, pulau tak berpenghuni berjarak sekitar 34 kilometer dari daratan terdekat, yang rawan topan dan banjir.
Belum jelas nasib repatriasi mereka, perubahan politik melanda Myanmar akibat kudeta militer pada 1 Februari lalu. Kini, setelah militer kembali berkuasa total, banyak pihak ragu bahwa Myanmar akan mau memenuhi komitmennya. Kalaupun militer bersedia menerima kembali pengungsi Rohingya, masyarakat internasional harus memastikan warga Rohingya mendapatkan hak dan perlindungan.
Kepastian itu penting. Pada masa pemerintahan sipil Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) saja, banyak lahan di Rakhine dan perkampungan Rohingya dimusnahkan untuk menghapuskan jejak keberadaan permukiman Rohingya dengan alasan membuka lahan untuk kepentingan ekonomi. Apalagi, kini Myanmar kembali jatuh dalam cengkeraman militer.
Bagi warga Rohingya yang masih bertahan di Myanmar pun, kondisi mereka juga sama buruknya. Mereka ditahan di kamp-kamp Rakhine dalam kondisi tidak berperikemanusiaan. Bangladesh, sebagai negara tetangga terdekat penampung pengungsi Rohingya, harus kembali berdialog dengan pemerintahan baru di Myanmar dan komunitas internasional, terutama Perserikatan Bangsa-Bangsa dan ASEAN.
”Kami berpegang teguh dalam mengembangkan hubungan yang saling menguntungkan dengan Myanmar dan telah bekerja sama dengan Myanmar demi terwujudnya repatriasi warga Rohingya di Bangladesh secara sukarela, aman, dan berkelanjutan,” demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Bangladesh, Senin (1/2/2021). ”Kami berharap proses ini berlanjut dengan sungguh-sungguh.”
Abdul Momen masih yakin, repatriasi akan terwujud karena bukan kali ini saja warga Rohingya direpatriasi. Dulu, warga Rohingya pernah direpatriasi dua kali pada 1978 dan 1992 semasa kekuasaan junta militer. Pada kesepakatan bilateral yang terbaru, Bangladesh sudah menyerahkan daftar berisi 840.000 nama pengungsi Rohingya untuk diverifikasi Myanmar dan baru 42.000 orang yang diverifikasi.
Semakin buram
Namun, upaya repatriasi oleh Myanmar itu berjalan lambat. Bangladesh menilai Myanmar kurang serius. Rencana repatriasi terbaru pada November 2018 dan Agustus 2019 pun gagal. Warga Rohingya tak percaya kepada Pemerintah Myanmar, seperti sekarang ini.
”Militer sudah membunuh warga kami, memerkosa saudara dan ibu kami, membakar kampung kami. Tidak ada jaminan kami akan selamat kalau pulang. Tidak mungkin pulang dalam kondisi seperti sekarang,” kata Khin Maung, Ketua Asosiasi Anak Muda di kamp Distrik Cox’s Bazar, Bangladesh.
Mohammad Jaffar (70), warga Rohingya lainnya, mengaku sudah tak sabar ingin pulang ke Myanmar. Namun, harapan untuk bisa pulang kini semakin buram karena militer berkuasa lagi. ”Kalau kami pulang lagi dan jatuh ke tangan orang yang menyiksa kami, tidak ada gunanya karena nasib kami pasti akan lebih menderita,” ujarnya.
Namun, sama seperti Pemerintah Bangladesh, Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional di University of Dhaka, Imtiaz Ahmed, tetap yakin proses repatriasi tidak akan terganggu oleh kudeta militer. Pasalnya, kesepakatan repatriasi tercapai di antara dua negara, bukan dua individu.
”Jadi, semestinya kesepakatan itu tidak bisa berubah meski pemerintahannya berganti karena kedua negara sudah terikat kesepakatan itu,” ujar Ahmed.
Toh, kesepakatan repatriasi pada 1978 dan 1992 itu juga diinisiasi oleh junta militer. Pemerintahan militer yang sekarang juga bisa melakukannya lagi jika tidak mau ditekan komunitas internasional.
Nay San Lwin, yang ikut mendirikan Koalisi Pembebasan Rohingya, juga mendesak komunitas internasional menekan Myanmar. Hanya itu harapan satu-satunya pengungsi Rohingya.
”Kami berhak pulang ke kampung halaman asal kami, mendapat status kewarganegaraan penuh Myanmar, dan berhak mendapat perlindungan,” ujarnya.
Di situlah salah satu akar masalahnya muncul. Konstitusi Myanmar tidak mengakui status kewarganegaraan warga Rohingya. Amendemen konstitusi, jika itu diperlukan untuk menjamin warga Rohingya, hanya dimungkinkan dalam iklim demokrasi.
”Kami mendesak komunitas global turun tangan dan memulihkan kembali demokrasi (di Myanmar) sesulit apa pun,” ujar Dil Mohammed, tokoh Rohingya, di salah satu kamp di Bangladesh. (REUTERS/AFP/AP)