Demo Antikudeta di Myanmar Membesar, Pengacara Tepis Isu Suu Kyi Dibebaskan
Di tengah pemblokiran internet secara nasional, warga Myanmar bertekad akan terus melawan militer yang disebut ”tidak menghargai suara rakyat”.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
YANGON, MINGGU -- Demonstrasi antikudeta militer di Myanmar terus membesar. Puluhan ribu pengunjuk rasa, yang mayoritas kaum muda, turun ke jalan-jalan di kota Yangon dan Mandalay, Sabtu (6/2/2021). Militer berupaya meredam gerakan protes rakyat itu dengan memblokir internet secara nasional.
Unjuk rasa kemarin merupakan aksi protes terbesar sejak kudeta militer pada 1 Februari 2021. Ruas jalan di dekat Universitas Yangon menjadi salah satu tempat berkumpul para demonstran. Setidaknya dua kelompok demonstran lainnya berunjuk rasa di bagian lain kota terbesar Myanmar itu.
Demonstrasi serupa yang diikuti sekitar 2.000 orang dilaporkan juga digelar di Mandalay, kota di bagian utara Myanmar. Dalam aksi mereka, para demonstran mengacungkan salam tiga jari, simbol perlawanan terhadap kudeta militer di Myanmar.
Di Yangon, serombongan polisi anti-huru-hara memblokade jalan-jalan di dekat kumpulan massa. ”Turunkan diktator militer,” teriak massa. ”Mereka (militer) tidak menghormati suara rakyat dan saya pikir mereka mengkhianati negara,” kata seorang pengunjuk rasa. ”Revolusi kita dimulai hari ini,” ujarnya.
Banyak peserta aksi mengenakan ikat kepala merah. Merah adalah warna yang identik dengan Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi. NLD menang mutlak dalam pemilu 8 November lalu. Militer tidak mengakui hasil itu dan menuding ada kecurangan dalam penyelenggaraan pemilu, hingga kemudian melancarkan kudeta, 1 Februari lalu.
Sabtu malam, beredar rumor bahwa Suu Kyi (75) telah dibebaskan oleh militer. Rumor itu sempat memicu perayaan kegembiraan di jalan-jalan. Warga bersorak-sorai dan menyalakan kembang api sebagai ungkapan kegembiraan mereka.
Namun, rumor tersebut dibantah Khin Maung Zaw, pengacara Suu Kyi. Maung Zaw mengatakan kepada kantor berita Reuters bahwa Suu Kyi mash ditahan. Sejumlah warga menyebutkan, rumor itu disebarkan oleh Myawaddy, media yang dikelola militer Myanmar.
Seruan menggelar demonstrasi dan pembangkangan sipil juga terus disuarakan melalui media sosial. Militer Myanmar lalu memblokir internet secara nasional sejak Sabtu kemarin.
Manajemen Telenor, perusahaan telekomunikasi yang berbasis di Norwegia, mematuhi perintah yang menginstruksikan perusahaan telekomunikasi menutup seluruh jaringan data seluler di Myanmar. ”Kami memiliki karyawan di lapangan dan prioritas pertama kami adalah memastikan keselamatan mereka,” demikian pernyataan perusahaan itu.
Manajemen Facebook menyatakan sangat prihatin dengan perintah untuk menutup akses internet di Myanmar. Mereka meminta pihak berwenang untuk membuka blokirnya terhadap akses ke layanan medsos. Hal itu dikatakan Rafael Frankel, Direktur Kebijakan Publik Facebook di Negara Berkembang dan Asia Pasifik.
“Kami sangat prihatin dengan perintah untuk mematikan internet di Myanmar. Kami mendesak dengan serius pihak berwenang untuk memerintahkan pembukaan blokir semua layanan medsos,” kata Frankel.
Menyebar
Niyan Liung, warga yang juga jurnalis Myanmar, sejak Jumat (5/2) mengubah foto profil akun Facebook-nya dengan gambar acungan salam tiga jari dengan latar belakang warna merah. Dalam unggahan terbarunya, Sabtu, ia mengungkapkan, kampanye pembangkangan sipil menyebar di seluruh Myanmar. Para pekerja di bidang kesehatan berada di barisan terdepan dalam aksi itu.
Ia juga melaporkan, aksi warga memukul panci, papan penggorengan, dan benda-benda lain sebagai bentuk protes terhadap kudeta tetap digelar setiap malam pukul 20.00.
“Banyak pelajar, pekerja dan pemuda etnik bergabung dalam aksi protes di seluruh wilayah kami untuk mendesak berakhirnya kediktatoran militer sekarang dan selamanya,” kata Liung. “Biarkan dunia tahu bahwa rakyat Myanmar menolak kudeta dan melawan militer.”
Sabtu kemarin, warga Australia penasihat ekonomi Suu Kyi, Sean Turnell, kepada BBC mengaku dirinya ditangkap dan ditahan oleh aparat keamanan Myanmar. Profesor Macquarie University itu adalah warga negara asing pertama yang diketahui ditangkap militer Myanmar setelah kudeta.
”Saya hanya ditahan saat ini dan mungkin dituduh melakukan sesuatu. Saya tidak tahu apa itu,” ujar Turnell. Ia tidak tahu lokasi penahanan dirinya. Ia sempat dikurung di hotel tempatnya menginap.
Di Canberra, Menteri Luar Negeri Australia Marise Payne mengatakan telah memanggil Duta Besar Myanmar untuk Australia atas laporan penahanan Turnell. Tanpa menyebut identitas Turnell, Canberra menyampaikan kekhawatiran serius atas hal itu.
Pejabat di Macquarie University menyatakan tahu penangkapan dan penahanan Turnell. Mereka mendukung kerja Turnell di Myanmar sekaligus upaya Pemerintah Australia untuk menjamin pembebasan Turnell secepatnya.
Tekanan internasional
Di luar Myanmar, komunitas internasional terus bereaksi dan berupaya memulihkan kembali pemerintahan sipil di Myanmar. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan, Jumat, utusan khusus PBB untuk Myanmar telah menjalin ”kontak pertama” dengan wakil komandan militer Myanmar. PBB mendesak junta menyerahkan kekuasaan kepada pemerintah sipil yang digulingkan. Guterres juga menyebut kudeta itu ”benar-benar tidak dapat diterima”.
Adapun Dewan Keamanan PBB, Kamis, mengambil langkah lebih lunak dengan hanya menyuarakan ”keprihatinan mendalam” atas kudeta itu. Dalam draf awal yang tersebar sehari setelah kudeta itu, DK PBB semula akan menyatakan mengecam keras kudeta itu. Namun, China dan Rusia—dekat dengan Myanmar dan memiliki hak veto—meminta waktu tambahan dalam penyusunan pernyataan sikap DK PBB.
Sementara media pemerintah di Myanmar melaporkan, Sabtu, tokoh-tokoh junta telah berbicara dengan para diplomat sehari sebelumnya. Militer menggelar pertemuan itu untuk menanggapi protes internasional dan meminta mereka untuk bekerja dengan para pemimpin baru di Myanmar.
Tekanan internasional terhadap militer Myanmar kencang. Presiden AS Joe Biden, misalnya, mengancam akan menjatuhkan sanksi lagi pada Myanmar. (AP/AFP/REUTERS/SAM)