Mengapa Militer Sangat Kuat di Myanmar?
Tulisan ini hendak mengulas tentang Tatmadaw, militer Myanmar, ditinjau dari sudut pandang sejarah. Sudut pandang ini perlu dipelajari untuk mengetahui kultur strategis Tatmadaw, sehingga bisa memperkirakan perilakunya.
“Tatmadaw harus hadir sebagai kekuatan utama politik nasional sebagaimana selama ini sikap Tatmadaw selama sejarah perjalanan bangsa terutama di saat-saat kritis,” kata Panglima Tatmadaw Jenderal Min Aung Hlaing, 26 Maret 2016, beberapa hari sebelum National League for Democracy (NLD) yang dipimpin Aung San Suu Kyi dilantik.
Tidak sampai lima tahun kemudian, tepatnya 1 Februari 2021, Ming memimpin kudeta militer terhadap Aung San Suu Kyi yang baru saja kembali menang pemilu.
Tulisan ini hendak mengulas tentang Tatmadaw, militer Myanmar, ditinjau dari sudut pandang sejarah. Sudut pandang ini perlu dipelajari untuk mengetahui kultur strategis Tatmadaw, sehingga bisa memperkirakan perilaku pasukan militer ini. Sejak awal, tulisan ini menggunakan nama Myanmar walaupun hingga tahun 1989, negara ini masih bernama Burma.
Pernyataan Jenderal Min tahun 2016 sudah menunjukkan bahwa Tatmadaw tidak akan mundur dari peran politiknya. Walaupun secara resmi Tatmadaw telah mundur dari pemerintah demi menarik minat investor, realitanya akar keterlibatan politik militer sulit untuk dicabut.
Baca juga: Myanmar Kembali Masuki Masa Suram
Hal ini dimulai tahun 1942. Saat itu, tentara Jepang merekrut rakyat Myanmar untuk bergabung menjadi Burma Independence Army (BIA). Rakyat Myanmar melihat cara ini bisa menuju kepada kemerdekaan mereka. Kurang lebih sama dengan konteks pendirian Pembela Tanah Air (PETA) di Indonesia.
Sebenarnya, setelah merdeka tahun 1948, Myanmar adalah negara demokrasi. Pemilu dilaksanakan lima kali selama 1948-1962. Kontrol sipil terhadap Tatmadaw juga hadir baik dari sisi anggaran, kebijakan, bahkan promosi.
Masalahnya, selama 14 tahun itu, Myanmar tidak lepas dari ancaman keamanan dari luar dan dalam negeri. Tatmadaw jadi dominan karena otoritas sipil gagal menyelesaikan masalah. Mary Callahan yang menulis bab “Burma : Soldiers as State Builders”, dalam buku Coercion and Governance: The Declining Political Role of the Military in Asia, dengan editor Muthiah Alagappa, mengatakan, banyaknya operasi melawan separatisme membuat Tatmadaw punya legitimasi politik.
Banyak pemberontakan didasari sengketa antar etnis yang tidak selesai-selesai. Merujuk buku Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism, tentang bangsa adalah imaji, bisa dikatakan tidak ada narasi tentang “satu Myanmar”. Gerakan kemerdekaan yang dipimpin oleh Jenderal Augn San terbantu oleh kekalahan Jepang dan mundurnya Inggris dari koloni-koloninya menjadikan Myanmar merdeka.
Setelah kemerdekaan, semua kelompok saling bertengkar. Masing-masing ingin menggolkan visinya. Masalahnya, visi itu bersifat ekslusif pada etnisnya.
Terpecah-pecahnya masyarakat Myanmar karena berbagai sebab. Pertama, kolonial Inggris melaksanakan divide et impera. Mereka membeda-bedakan perlakuan berdasarkan etnis. Ada 135 suku di Myanmar yang berdasarkan survey 1983 terdiri dari Burman (69%), Shan (8.5 %), Karen (6.2 %), Rakhine (4.5%), Mon (2.4), Chin (2.2 %), Kachin (1.4 %), dan lainnya (5%). Tiap suku punya budaya dan nilai yang berbeda sehingga kuat identitasnya. Suku Karen yang sebagian besar Kristen diiistimewakan, sementara suku Burma menjadi musuh utama.
Masalahnya, suku-suku yang berbeda ini punya interpretasi yang berbeda tentang kebangsaan dan nasionalisme. Suku Burma yang mayoritas enggan mengakomodir suku-suku yang lebih kecil. Usai merdeka, nasionalisme Myanmar dianggap identik dengan suku Burma dan agama Budha. Suku-suku ini gagal membangun satu nasionalisme baru sebagai satu bangsa. Padahal, nasionalisme adalah sebuah kontruksi. Perasaan senasib sepenanggungan sebagai bangsa yang dijajah kerap menjadi nasionalisme baru.
Tidak heran, banyak pemberontakan yang berbasis suku dan etnis. Rasa kebangsaan yang merupakan komunitas imaji, menurut Benedict Anderson, gagal hadir di Myanmar sebagai negara modern. Gagal membangun rasa persatuan di antara suku-suku, Tatmadaw menggunakan jalan kekerasan. Bukannya mengakomodasi perbedaan, Tatmadaw malah menekannya.
Sebenarnya, nilai-nilai Budhisme menjadi identitas yang dominan dari berbagai etnis di Myanmar. Masalahnya, nilai dasar ahimsa (anti kekerasan) dalam Budhis bertolakan dengan nilai-nilai sekuler. Hal ini membuat para pendiri Myanmar berusaha memisahkan agama dan negara. Sekitar masa kemerdekaan, ideologi komunisme semakin disukai karena memberikan dasar ideologi perjuangan kemerdekaan.
Tahun 1944, para aktivis kiri membentuk Anti-Fascist Organization (AFO) pada bulan Agustus. Aung Sang menjadi ketuanya. Ia menjadi simbol menyatunya Myanmar. Konsepnya bukan negara kesatuan, tetapi persatuan dari berbagai grup etnis. Pendekatan ini diterima suku-suku di Myanmar, juga karena ia menjanjikan otonomi untuk setiap suku di bawah satu negara Myanmar. Untuk pertama kalinya, Myanmar bersatu. Sayang, Aung Sang dibunuh sebelum kemerdekaan. Myanmar kehilangan tokoh pemersatunya.
Tatmadaw berasal dari Burma Independence Army (BIA) yang dibentuk Jepang. Isinya adalah anak-anak muda yang mengerti politik, anti kolonial dan maju. Anak-anak muda ini bahkan intelektual dan ideologis karena banyak yang menjadi anggota kelompok diskusi Naga-Ni yang Marxis. Sayangnya, Mary Callahan mencatat bahwa tidak semua suku terwakili di Tatmadaw. Hampir semua anggotanya berasal dari suku Burma. BIA ini menjadi dasar karateristik yang paling utama dari Tatmadaw : sifatnya yang politis.
Sifat politis ini menurun terus hingga ke generasi Tatmadaw berikutnya. Secara inheren, Tatmadaw adalah entitas politik.
Masa-masa awal kemerdekaan Myanmar sangat berat. Banyak laskar dan milisi yang kembali ke sukunya kemudian melancarkan pemberontakan. Bayangkan, tahun 1949 bulan Februari, Mary Callahan mencatat, jumlah tentara Myanmar tersisa 2000 orang karena lebih dari setengah keluar dan membawa persenjataan yang ada. Saat itu, mereka harus menghadapi sekitar 30,000 pemberontak yang telah menguasai 75 persen kota-kota di Myanmar.
Masalah keamanan dalam negeri di Myanmar memang berat. Dalam setahun kemerdekaannya, ada tujuh pemberontakan. Bahkan, baru 3 bulan merdeka, telah ada faksi yang memberontak.
Ini belum selesai. Pada saat yang sama, Kuomintang mulai menduduki timur laut Myanmar. Hal ini membawa dua masalah. Pertama, ada AS yang mendukung Kuomintang yang ingin mengontrol wilayah Myanmar dan Cina yang ingin menghabisi Kuomintang. Eksistensi Tatmadaw, dan juga Myanmar berada di ujung tanduk.
Di masa-masa sulit ini, ada U Nu, perdana menteri Myanmar dari kalangan sipil. Berbeda dengan Aung San, U Nu melihat Tatmadaw sebagai alat negara. Sayangnya, masalah keamanan internal Myanmar terlalu besar sehingga membuat politisi sipil jadi bergantung pada militer
Namun, ada masalah yang lebih besar yaitu soal ideologi. Perbedaan konstruksi ideologi negara menjadi titik lemah utama para politisi sipil. Seandainya mereka bersatu, mereka akan bisa mengatur negara. Negara yang merupakan konsep abstrak perlu direalisaskan dalam bentuk institusi terutama hukum dan ideologi. Di sisi lain, militer Myanmar lebih solid. Bisa ditebak, pihak mana yang kemudian unggul.
Tatmadaw melihat, pemerintahan sipil tidak bisa jadi solusi mempertahankan persatuan Myanmar. Mereka malah menjadi bagian konflik karena ketidakmampuan berhadapan dengan para pemberontak. Tidak lama sampai Tatmadaw mengambil alih kekuasaan lewat kudetanya yang pertama.
Struktur Myanmar sangat rapuh. Martin Smit dalam bukunya, Burma : Insurgency and The Politics of Ethnicity, mencatat pemilu yang pertama tahun 1951/1952 berlangsung selama tujuh bulan. Partai politik tidak berfungsi. Terpecahnya elit politik membuatnya gagal menyelesaikan masalah pemberontakan. Komunikasi antara anggota parlemen dengan konsituen juga buruk. Perlu diingat, pemberontakan gerilya adalah cermin dari pertarungan legitimasi.
Kondisi makin buruk saat partai sosialis pecah tahun 1958. PM U Nu harus turun. Josef Silverstein dalam bukunya: Military Rule and Politics of Stagnation, mencatat, U Nu menunjuk Jenderal Ne Win untuk menjadi penguasa sementara sampai ada pemilu. Tatmadaw mendapat karpet merah masuk ke politik.
Josef Silverstein dalam artikelnya “Burma’s Struggle for Democracy:the Army Against the People” mencatat, Tatmadaw bukannya menyediakan keamanan dan pelayanan publik, malah memerintah dengan tangan besi. Tatmadaw menjadi totalitarian. Tahun 1952, darurat militer diberlakukan selama dua tahun di Provinsi Shan. Pemerintahan militer cukup berhasil secara ekonomi. Frank N Trager dalam artikelnya berjudul The Failure of U Nu and the Return of the Armed Forces in Buma mencatat PDB meningkat 111 persen tahun 1959-1960 dan ekspor beras memecah rekor.
Fakta ini jadi legitimasi Tatmadaw untuk terus mengambil alih kekuasaan tahun 1962. Alasan mereka, sipil tidak mampu mengurus negara. Sementara, Tatmadaw yang kondisinya terpuruk tahun 1948 bisa bangkit bahkan menunjukkan kemampuannya mengurus negara.
Awal era 1950an, salah satu doktrin Tatmadaw untuk mengatasi masalah pemberontakan gerilya adalah ekspansinya ke hal-hal di luar militer. Tatmadaw membuat direktorat baru bernama Institut Pertahanan dan Direktorat Perang Psikologis. Institut Pertahanan mengurus berbagai bisnis perti perkapalan, perdagangan dan perbankan, sementara Direktorat mengurus ideologi dan propaganda..
Langkah Tatmadaw yang paling penting adalah ketika mereka mengajukan ideologi pada para politisi sipil yang tidak kunjung mencapai kata sepakat. Myoe, Maung Aung dalam bukunya Building the Tatmadaw – Myanmar Armed Forces since 1948, mencatat bahwa Tatmadaw secara sistematis membuat ideologi untuk Myanmar. Prosesnya bahkan dibuat sebelum kemerdekaan. Tahun 1956, Direktorat Peperangan Psikologis mengumumkan dokumen ideologi Myanmar yaitu “The National Ideology and The Role of Defence Service,” dan “The Burmese Way to Socialism” (BWS).
Dengan jalan sosialisme ini, Tatmadaw jadi punya legitimasi untuk punya peran politik yang diingikan Myanmar. Tugas militer diperluas tidak hanya dari pertahanan, tetapi juga hukum, demokrasi dan ekonomi.
Kekuasaan Tatmadaw semakin kuat saat usai kudeta tahun 1962 ia meresmikan “The Burmese Way to Socialism” sebagai program nasional.
Baca juga: Myanmar Coup and ASEAN Standpoint
Aurel Croissant and Jil Kamerling dalam artikelnya di Asian Journal of Political Science dengan judul “Why Do Military Regimes Institutionalize? Constitution-making and Elections as Political Survival Strategy in Myanmar”, mencatat, kekuatan Tatmadaw menjadi akar yang sangat kuat saat mereka berhasil melaksanakan institusionalisasi peran politiknya saat mendirikan partai Burma Socialist Program Party (BSPP).
Partai BSPP ini kemudian bubar tahun 1988. Akan tetapi, akar kekuatan Tatmadaw masih tertanam bahkan sampai hari ini.