Mahkamah Internasional Memberi Harapan ke Iran
Iran memenangi pertempuran di Mahkamah Internasional atas AS untuk kedua kalinya. Dunia membutuhkan peta jalan baru untuk mengubah kebuntuan soal nuklir Iran.
Keputusan Mahkamah Internasional untuk terus memproses tuntutan Pemerintah Iran terkait sanksi AS dalam kasus kesepakatan nuklir memberi harapan bagi Teheran.
DEN HAAG, KAMIS -- Mahkamah Internasional atau International Court of Justice (ICJ), Rabu (3/2/2021), memutuskan memiliki hak untuk mendengarkan dan memproses tuntutan Pemerintah Iran guna membatalkan sanksi sepihak Amerika Serikat kepada Iran yang diberlakukan pada masa Presiden Donald Trump.
Bagi Iran, ini adalah kemenangan kedua mereka. Sebaliknya, putusan ini mengecewakan Washington.
Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif menyatakan keputusan ICJ sebagai kemenangan Teheran. ”Kemenangan hukum berikutnya untuk Iran,” cuit Zarif melalui media sosial Twitter. ”Iran selalu menghormati hukum internasional. Waktu yang tepat bagi AS untuk memenuhi kewajiban internasionalnya.”
Teheran menuduh Trump, saat menjabat, melanggar perjanjian persahabatan tahun 1955 ketika AS menarik diri dari Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) tahun 2015 dan menjatuhkan kembali sanksi terhadap Teheran.
Langkah Gedung Putih itu mengecewakan para penanda tangan kesepakatan lainnya, yakni China, Inggris, Jerman, Perancis, dan Rusia, serta Uni Eropa.
Baca juga : Mahkamah Internasional Dengarkan Keluhan Teheran doal Sanksi Nuklir AS
Washington menilai sanksi atas Iran diperlukan karena, di mata AS, Iran adalah ancaman besar bagi keamanan internasional.
Keputusan ICJ membuat AS kecewa di tengah pelanggaran terus-menerus Iran terhadap pembatasan pengayaan uranium dalam program nuklir mereka. ”Tahap selanjutnya dari kasus ini, kami akan menjelaskan mengapa klaim Iran tidak ada gunanya,” kata Ned Price, juru bicara Departemen Luar Negeri AS, di Washington.
Bagi Iran, ini adalah kemenangan kedua. Tahun 2018, ICJ memerintahkan AS meringankan sanksi atas barang-barang kemanusiaan sebagai tindakan darurat kepada Teheran saat gugatan keseluruhan kasus laporan itu ditangani.
Sebagai respons atas hal tersebut, kala itu Washington langsung memutuskan mengakhiri perjanjian persahabatan dengan Teheran yang ditandatangani tahun 1955.
Daya tawar
Sanksi sepihak yang terus dijatuhkan Pemerintah AS di bawah Trump membuat Iran mencoba menaikkan daya tawarnya dengan terus meningkatkan pengayaan uranium dalam program nuklir mereka. Berdasarkan laporan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA), Selasa (2/2), Iran terus mengupayakan pengayaan uranium di berbagai fasilitas nuklir bawah tanah miliknya.
Dalam kesepakatan JCPOA disebutkan, Iran boleh memurnikan uranium hanya di situs utama di Natanz dengan sentrifugal IR-1 generasi pertama. Namun, kini, selain di Natanz, pengayaan uranium itu juga dilakukan di Fordow. Pada Desember lalu, Iran menyatakan akan memasang tiga alat lagi untuk mempercepat pengayaan uranium itu.
Baca juga : AS Masih Dingin dengan Proposal Iran untuk Kembali ke Kesepakatan Nuklir
Dalam tulisannya di laman jurnal Foreign Affairs, 22 Januari 2021, Menlu Zarif mengakui pengayaan tersebut. ”Jadi, ya, Iran telah secara signifikan meningkatkan kemampuan nuklirnya sejak Mei 2019.
Namun, Iran melakukan sepenuhnya sesuai dengan paragraf 36 perjanjian nuklir yang memungkinkan Iran untuk ’berhenti melaksanakan komitmennya’ berdasarkan kesepakatan jika penanda tangan lain berhenti menjalankan komitmennya sendiri,” tulisnya.
Pemerintahan baru AS di bawah Presiden Joe Biden, menurut Zarif, masih bisa menyelamatkan perjanjian itu jika ada kemauan politik yang tulus dan menunjukkan bahwa Washington siap menjadi mitra nyata dalam upaya kolektif.
”Hal itu bisa dimulai dengan menghapus tanpa syarat, dengan segera, semua sanksi yang dijatuhkan, diberlakukan kembali, atau diberi label ulang sejak Trump menjabat. Pada gilirannya, Iran akan memulihkan semua tindakan perbaikan yang telah diambil setelah Trump keluar dari kesepakatan nuklir,” tuturnya.
Biden percaya bahwa Trump melakukan kesalahan fatal saat meninggalkan JCPOA pada 2018 dan ia tidak mau mengulangi kesalahan yang sama. Penunjukan Robert Malley sebagai penasihat khusus untuk kawasan Timur Tengah mengindikasikan cara yang akan ditempuh Biden akan lebih luwes dibandingkan dengan Trump.
David Gardner, editor internasional Financial Times menilai, penunjukkan Malley bersama Antony Blinker sebagai menteri luar negeri dan William Burns sebagai Direktur CIA memperlihatkan niat yang kuat untuk menyelesaikan permasalahan di Timur Tengah dengan lebih baik.
Baca juga : AS Tak Pedulikan PBB, Tetap Ngotot Berlakukan Lagi Sanksi pada Iran
Selain itu, kebijakan Presiden Biden yang menangguhkan pengiriman amunisi presisi ke Arab Saudi dan pesawat tempur F-35 ke Uni Emirat Arab, mengindikasikan keinginan yang kuat untuk penyelesaian yang lebih baik.
“Tapi, yang paling sugestif dari semuanya adalah indikasi bahwa kontak rahasia telah dimulai kembali antara AS dan Iran serta antara Saudi dan Iran, dua negara yang bersaing untuk menjadi hegemon di regional,” kata Gardner.
Malley, yang sebelum penunjukkannya memimpin organisasi nirlaba International Crisis Group, di dalam Sidang Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa pertengahan Oktober 2020 mengatakan, JCPOA tidak bisa hanya menjadi tanggung jawab AS, Iran ataupun negara-negara penandatangan lainnya seperti UE, Rusia dan China.
Menurut dia, JCPOA bisa diliihat sebagai mekanisme lain untuk meredakan ketegangan yang terjadi di Timur Tengah.
“Kawasan Teluk perlu memulai dialog keamanan kolektif dan inklusif yang mencakup enam negara anggota Dewan Kerjasama Teluk (GCC), Iran serta Irak,” kata Malley, yang membantu kabinet Barrack Obama selama negosiasi JCPOA 2015.
Dalam pandangannya, Malley mengatakan, ketegangan yang terjadi di Timur Tengah tak terlepas dari persepsi Arab Saudi terhadap Iran dan sebaliknya, Iran terhadap Arab Saudi.
Arab Saudi dan sekutunya, menurut Malley, memandang kebijakan Iran di Suriah, Irak, Lebanon atau Yaman sebagai kebijakan calon hegemon. Sebaliknya, Teheran, pada bagiannya melihat kawasan yang didominasi kekuatan regional yang didukung AS mencoba mengisolasi dan melemahkannya.
Yang membuat hal itu semakin buruk, menurut Malley, adalah tidak adanya mekanisme kelembagaan untuk menyuarakan keluhan para pihak atau setidaknya mencoba mempersempit perbedaan pandangan itu, termasuk ketiadaan organisasi regional yang mampu merangkul semua aktor di kawasan Teluk.
Baca juga : Iran Galang Dukungan Hadang Sanksi Sepihak AS
“Negara-negara Eropa dan lainnya yang relevan dapat memfasilitasi proses itu, membantu menyampaikan beberapa pesan pada tahapan awal kontak dan menawarkan saran teknis. Tujuan pertama adalah membuka saluran komunikasi,” kata Malley.
PBB, tambahnya, juga bisa memainkan peran untuk memfasilitasi penyelenggaraan dialog keamanan regional sebagai fondasi semua pihak.
Pemikiran Malley didukung Hossein Mousavian, mantan anggota tim negosiasi nuklir Iran di JCPOA dan Abdulaziz Sager, pendiri lembaga Pusat Penelitian Teluk (Gulf Research Center).
Dalam kolom mereka di The Guardian, keduanya menilai, untuk menghentikan lingkaran setan, persepsi ancaman oleh kedua negara, para pemimpin negara harus melakukan diskusi secara langsung.
“Aksi diperlukan untuk membangun rasa saling percaya setelah selama beberapa dekade ada rasa tidak percaya satu sama lain dan antagonisme. Diplomasi membutuhkan dialog,” tuis Abdelaziz dan Mousavian. (AP/AFP/BEN/MHD)