Musim semi Arab membuat banyak negara hancur karena perang, dan demokrasi justru gagal terwujud. Kini, isu stabilitas dipandang lebih penting dibandingkan isu demokrasi.
Oleh
Musthafa Abd Rahman, dari Kairo, Mesir
·5 menit baca
Negara-negara Arab baru saja memperingati 10 tahun musim semi Arab yang meletup di sejumlah negara di kawasan itu pada 2010-2011. Banyak tulisan di berbagai media massa dan seminar daring membahas isu musim semi Arab tersebut dalam rangka memperingati peristiwa itu.
Musim semi Arab terus berlangsung sampai saat ini di sejumlah negara Arab, seperti di Irak dan Lebanon, karena faktor-faktor yang meletupkannya masih tumbuh subur. Faktor-faktor yang meletuskan musim semi Arab itu seperti ketidakadilan, pengangguran, kemiskinan, dan ketimpangan sosial akibat kegagalan pengelolaan ekonomi negara.
Maka, banyak media massa menamakan aksi unjuk rasa di Irak dan Lebanon sebagai aksi unjuk rasa kelaparan dan keputusasaan. Bahkan, negara Arab, seperti Suriah, Libya, dan Yaman, sampai saat ini masih dilanda perang saudara yang berkobar sejak tahun 2011.
Oleh karena itu, banyak pengamat menyebut musim semi Arab telah gagal menciptakan keadaan di dunia Arab yang lebih baik dan sebaliknya justru membawa petaka. Musim semi Arab semula mengumandangkan slogan kebebasan, keadilan, dan kehormatan, tetapi tampaknya bangsa Arab belum siap secara kultur mewujudkan slogan tersebut.
Jika bangsa Arab siap secara kultur mewujudkan slogan itu, niscaya keadaan dunia Arab saat ini jauh lebih baik. Semakin terpuruknya situasi dunia Arab sekarang membuktikan bahwa mereka belum siap secara kultur mewujudkan slogan-slogan yang dikumandangkan saat musim semi Arab meletup satu dekade lalu.
Itulah yang menyebabkan wacana dan cara pandang di dunia Arab saat ini berubah total, dari semula memimpikan kebebasan dan demokrasi, kini wacana yang muncul cukup kuat adalah tentang pentingnya stabilitas, keamanan, dan pemerintahan yang kuat.
Melihat kenyataan tentang berlarut-larutnya perang saudara di Yaman, Suriah, dan Libya serta aksi unjuk rasa di Lebanon dan Irak, berdampak terjadinya pergeseran isu dari demokrasi dan kebebasan ke isu stabilitas dan keamanan.
Bahkan, negara-negara Barat pun kini sudah lebih memberi prioritas akan terciptanya stabilitas dan keamanan di dunia Arab. Karut-marut situasi di dunia Arab saat ini sudah dianggap ancaman terhadap keamanan internasional.
Sudah cukup berkembang pula asumsi di Eropa saat ini bahwa petaka di dunia Arab adalah petaka juga bagi Eropa. Dunia Arab dan Eropa yang hanya dipisah oleh Laut Mediterania sangat memudahkan arus lalu lintas di antara dua wilayah tersebut.
Perang saudara di Suriah dan Libya, misalnya, telah berdampak atas terjadinya gerakan pengungsi ke negara-negara tetangga dan selanjutnya kaum pengungsi itu merengsek ke negara-negara Eropa.
Menurut Komisi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR), di Turki saja terdapat sekitar 3,6 juta pengungsi Suriah.
Turki sering menggunakan kartu pengungsi Suriah itu dengan mengancam akan membuka perbatasannya untuk eksodus pengungsi tersebut ke Eropa. Eropa pun sering ketakutan atas ancaman Turki tersebut. Maka, kini semakin kuat muncul isu tentang perang di Suriah merupakan ancaman terhadap keamanan internasional.
Di Jerman, pengungsi Suriah sudah mencapai sekitar 600.000 orang. Di Swedia, pengungsi Suriah sekitar 109.000 orang, di Belanda sekitar 32.000 orang, dan di Austria 49.000 orang.
Berlarut-larutnya perang di Libya mengantarkan negara itu juga menjadi sumber sekaligus transit pengungsi menuju Eropa, khususnya Italia. Menurut UNHCR, antara Januari 2015 dan Maret 2020, sebanyak 492.841 pengungsi tiba di Italia dari Libya dengan menggunakan perahu.
Italia menjadi tujuan utama pengungsi yang menggunakan perahu dari Libya dan negara Afrika yang melewati wilayah Libya.
Oleh karena itu, Eropa menjadi pihak yang paling getol mendorong tercapainya solusi politik di Suriah dan Libya dalam upaya membendung eksodus pengungsi dari dua negara Arab tersebut.
Isu lain yang tidak kalah serius dari isu pengungsi itu adalah kemungkinan penyusupan kelompok radikal dari Suriah, Libya, dan negara Arab lain ke Eropa, yang kemudian melancarkan serangan bom di kota-kota Eropa.
Ledakan bom di kota-kota di Perancis, Belgia, Jerman, dan Spanyol dalam beberapa tahun terakhir ini tidak terlepas dari krisis di dunia Arab saat ini.
Eropa pun sudah tidak mementingkan lagi isu kebebasan, demokrasi, dan hak asasi manusia di dunia Arab. Bagi Eropa yang terpenting saat ini adalah segera berakhirnya perang saudara di Suriah dan Libya sehingga tercipta stabilitas dan keamanan di dua negara itu.
Di mata Eropa dan Barat, dunia Arab adalah dunia yang dikecualikan dari isu demokrasi. Bangsa Arab dianggap belum siap secara kultur membangun ekosistem demokrasi. Dengan kata lain, budaya Arab dan budaya demokrasi belum ada titik temu, untuk tidak mengatakan bertentangan.
Apalagi, Eropa dan Barat sekarang bisa melihat pengalaman Mesir yang berhasil menciptakan stabilitas dan keamanan, kemudian berhasil membangun ekonomi di bawah pemerintahan militer saat ini.
Seperti diketahui, Mesir adalah negara Arab yang juga dilanda musim semi Arab tahun 2011 dan berhasil menjatuhkan rezim diktator di negara itu. Namun, Mesir gagal menjelma menjadi negara demokrasi dan negara itu kembali dikontrol militer.
Meski gagal menjadi negara demokrasi, Mesir berhasil menjadi negara Arab paling stabil dan aman serta cukup sukses melakukan reformasi ekonomi yang sempat berantakan akibat guncangan musim semi Arab tahun 2011.
Bahkan, pada masa pandemi Covid-19 ini, ekonomi Mesir dianggap cukup mampu bertahan baik sehingga bisa menjaga pertumbuhan ekonomi antara 1 persen dan 2 persen di saat banyak ekonomi negara lain mengalami pertumbuhan minus. Pengalaman Mesir itu cenderung mengantarkan munculnya paham atau aliran pragmatisme di dunia Arab dan bahkan di Barat dalam melihat masa depan dunia Arab.
Di dunia Arab sendiri, terutama di kalangan elite, kini cukup kuat wacana yang mengidolakan keberhasilan China yang diperintah rezim diktator tetapi berhasil gemilang secara ekonomi. Saat ini banyak artikel di media massa yang menyerukan agar dunia Arab berkiblat ke China dan tidak lagi berorientasi ke Barat. Sering pula didengung-dengungkan bahwa masa depan dunia berada di tangan China, bukan di Barat lagi.
Wacana berkiblat ke China terus dikembangkan di dunia Arab saat ini sebagai legitimasi bahwa yang terpenting dan utama bagi bangsa Arab sekarang adalah terciptanya stabilitas dan keamanan untuk pembangunan ekonomi sehingga terwujud kesejahteraan rakyat.
Dalam upaya mewujudkan stabilitas dan keamanan itu dibutuhkan pemerintahan yang kuat dan bertangan besi. Bukan sebaliknya dengan jalan demokrasi, tetapi pemerintahan lemah sehingga gagal menciptakan stabilitas dan keamanan. Itulah realitas yang berkembang di dunia Arab saat ini.