Inggris mengajak negara-negara di dunia untuk tidak hanya berbicara, tetapi bertindak nyata dalam aksi iklim global dalam menghadapi dampak perubahan iklim dan membangun ketangguhan.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
Darurat iklim terus terjadi dan semua komunitas di dunia harus berhadapan dengan dampaknya yang tak terhindarkan. Jika kita melakukan mitigasi dan mengurangi dampaknya sekalipun, kita tetap harus bersiap dan beradaptasi pada kondisi baru dan ekstrem.
Pada KTT Aksi Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 2019, para pemimpin dunia mendorong visi yang menempatkan adaptasi iklim pada pusat pengambilan kebijakan. Seruan aksi ini beresonansi dengan pesan dari Komisi Adaptasi Global yang memeringatkan bahwa pendanaan adaptasi iklim di negara berkembang bisa mencapai 300 miliar dollar AS per tahun pada 2030. Ada ”manfaat substansial yang bisa diperoleh jika dunia bertindak sekarang”.
Itulah sebabnya, langkah-langkah adaptasi perubahan iklim menjadi penting. Dalam pidatonya pada KTT Adaptasi Iklim virtual yang diselenggarakan Belanda, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson meluncurkan Koalisi Tindakan Adaptasi. Koalisi yang berfokus pada adaptasi dan ketahanan perubahan iklim ini dikembangkan bersama Mesir, Bangladesh, Malawi, Belanda, Santa Lucia, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Sejumlah pemimpin dunia hadir dalam acara virtual tersebut, seperti Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterrez, Presiden Perancis Emmanuel Macron, Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau, dan Utusan Khusus Presiden AS untuk Perubahan Iklim John Kerry.
Presiden RI Joko Widodo, Presiden Korea Selatan Moon Jae-in, dan Perdana Menteri India Narendra Modi adalah beberapa pemimpin negara dari Asia yang hadir dalam acara itu.
Dalam kesempatan itu, Boris mengajak para pemimpin dunia untuk tidak sekadar berbicara, tetapi juga bertindak dan melakukan perubahan nyata. KTT itu akan mengeluarkan Agenda Aksi Adaptasi, sebuah instrumen untuk mempercepat aksi adaptasi iklim dengan mempromosikan, memandu, memantau, dan berbagi pengalaman dalam ketangguhan iklim.
”Untuk memastikan kita tidak hanya berbicara, tetapi juga bertindak dan melakukan perubahan nyata, hari ini saya meluncurkan Koalisi Tindakan Adaptasi yang baru untuk mengatur agenda menjelang Konferensi Perubahan Iklim ke-26,” kata Boris.
Agenda tersebut akan menjadi kerangka kerja integral yang menyatukan aksi dan koalisi negara-negara untuk mencapai ambisi ketangguhan iklim tahun 2030.
Aksi adaptasi itu akan berfokus pada 10 tema, antara lain air, manajemen risiko bencana, infrastruktur, solusi berbasis alam, kota tangguh, dan investasi dan pendanaan.
Untuk menjawab tantangan perubahan iklim, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Siti Nurbaya membuat komitmen berupa penanaman mangrove untuk meningkatkan ketahanan ekosistem dan lanskap.
Program ini menargetkan restorasi 600.000 hektar hutan mangrove di seluruh Indonesia, naik dari 15.000 pada 2020. Memulihkan hutan, lahan basah, dan mangrove tidak hanya dapat membantu mata pencarian masyarakat, tetapi juga mampu menyerap karbon, membantu mengurangi risiko dan keparahan banjir, erosi, dan tanah longsor yang disebabkan oleh curah hujan yang ekstrem.
Boris menyambut baik langkah yang diambil Pemerintah Indonesia serta beberapa komitmen lainnya yang telah dibuat.
”Saya menyambut baik inisiatif besar ini, dan keterlibatan Indonesia di dalamnya. Indonesia dapat memosisikan diri sebagai pemimpin dunia dalam hal adaptasi,” kata Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor-Leste Owen Jenkins dalam pernyataan pers. (ADH)