Persaingan antarnegara tak hanya soal kekuatan militer atau ekonomi. Ada faktor lebih mendasar, yakni penduduk. Jumlahnya, tingkat pendidikan penduduk, produktivitas, dan kesehatan mereka menentukan kemajuan negara.
Oleh
A Tomy Trinugroho
·3 menit baca
Membicarakan penduduk tak hanya membahas jumlahnya. Tak ada artinya penduduk melimpah, tetapi lebih dari separuhnya memiliki tingkat pendidikan rendah, serta bersekolah dengan durasi di bawah standar.
Arti penting penduduk mengalahkan faktor kekayaan alam. Bahkan, kekayaan alam bisa menjadi kutukan. Gara-gara kekayaan alam, seperti batubara dan minyak bumi, sebuah negara menggantungkan ekonominya dengan menjual bahan mentah. Negara ini lalu lalai memperbaiki tingkat pendidikan warganya. Separuh lebih tenaga kerjanya maksimal hanya berijazah SMP. Produktivitas mereka rendah dan miskin inovasi. Negara itu akhirnya menjadi pasar produk impor.
Faktor kependudukan atau demografi menentukan apakah sebuah negara besar akan tetap memiliki pengaruh luas di dunia internasional atau tidak. Saat ini, Amerika Serikat merupakan negara adidaya, dengan China dan Rusia sebagai penantangnya. Namun, tak ada yang pasti selain perubahan. Maka, pertanyaannya ialah apakah persaingan ketiganya berlanjut seintensif seperti sekarang atau tidak?
Dalam ”With Great Demographics Comes Great Power” pada jurnal Foreign Affairs edisi Juli/Agustus 2019, Nicholas Eberstadt (Henry Wendt Chair in Political Economy at the American Enterprise Institute) mengungkapkan, AS memiliki keuntungan demografi dibandingkan China dan Rusia. Dalam beberapa waktu mendatang, secara demografi, AS tetap unggul. Hal ini penting guna memastikan statusnya sebagai adidaya pada masa mendatang.
Meski berpenduduk 1,4 miliar, menurut Eberstadt, China menghadapi problem yang antara lain disebabkan kebijakan satu anak pada 1979-2015. Angka total fertility rate (TFR) atau lebih kurangnya jumlah kelahiran per perempuan China sejak awal 1990-an kurang dari 2,1 (angka yang cukup untuk menjaga pertumbuhan penduduk). Bisa 1,4 hingga 1,6. Di kota besar seperti Shanghai, angka itu bahkan lebih rendah daripada 1. Populasi usia kerja pun menyusut sekitar 100 juta pada 2015-2040. Meski muncul generasi dengan pendidikan tinggi, porsi mereka cenderung mengecil mengingat jumlah warga tua dengan pendidikan lebih rendah terus membesar.
Adapun Rusia menghadapi persoalan tak hanya penduduk yang berkurang dan menua, tetapi juga harapan hidup cukup rendah. Pada 2016, menurut WHO, laki-laki Rusia berusia 15 tahun dapat berharap untuk hidup 52,3 tahun lagi, kurang sedikit dibandingkan rekan-rekan mereka di Haiti. Perempuan Rusia berusia 15 tahun, meski lebih baik daripada laki-laki, memiliki harapan hidup hanya sedikit di atas kisaran negara-negara kurang berkembang.
Pada saat yang sama, populasi AS yang 330 juta diperkirakan terus tumbuh. Antara 1980-an dan 2008, AS satu-satunya negara kaya dengan TFR cukup untuk mengganti penduduk yang meninggal. Dengan tingkat kesuburan itu dan imigrasi, ahli demografi memproyeksikan pada 2040, populasi AS 380 juta. Populasinya lebih muda dan angkatan kerja bertambah.
Persaingan antarnegara sesungguhnya tak hanya soal kekuatan militer atau ekonomi. Ada faktor lebih mendasar, yakni penduduk. Jumlahnya, tingkat pendidikan penduduk, produktivitas, dan kesehatan mereka menentukan kemajuan negara. Rakyat sehat, negara kuat.