Angin Perubahan dari Negeri Paman Sam
Kembalinya Amerika Serikat pada Kesepakatan Paris diprediksi akan berdampak besar pada pendanaan aksi iklim global dan kampanye perubahan iklim dunia. Tapi, bagi Presiden AS Joe Biden komitmen itu tidak mudah dilakukan.
Hari pertama setelah resmi dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat, Joe Biden menandatangani perintah eksekutif—memenuhi janji kampanyenya—untuk membawa AS kembali bergabung dalam Kesepakatan Paris. Ini bukan semata bentuk komitmen AS pada aksi iklim global, tetapi juga akan membawa implikasi pada negara lain.
Surat pun dilayangkan Gedung Putih kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa, Rabu (20/1/ 2021), menandai secara formal 30 hari proses kembalinya AS ke Kesepakatan Paris.
Langkah Biden tersebut memberi harapan baru. Ia menunjuk mantan Menteri Luar Negeri AS, John Kerry, sebagai Utusan Khusus Presiden AS bidang Iklim. Kerry akan mengumpulkan para pemimpin dunia dalam pertemuan tingkat tinggi memperingati Hari Bumi, 22 April mendatang, sekaligus memperingati lima tahun Kesepakatan Paris.
Berbagai kelompok peduli isu iklim menyambut baik keputusan AS tersebut setelah sebelumnya Donald Trump membawa AS keluar dari Kesepakatan Paris. "Pertemuan tingkat tinggi pada 22 April itu saja sudah menunjukkan keseriusan pemerintahan Biden untuk bekerja sama dengan komunitas internasional," kata Rachel Cleetus dari Persatuan Ilmuwan AS.
Baca juga: AS Kembali Bergabung dalam Kampanye Perubahan Iklim
Ketika menjadi Presiden AS, Trump justru menempuh langkah sebaliknya. Ia membawa AS keluar dari Kesepakatan Paris. Trump menyebut kesepakatan itu “bencana besar bagi negara kita (AS)” yang akan merusak daya saing AS karena memungkinkan transfer kekayaan AS yang besar ke negara asing.
Kesepakatan Paris merupakan kesepakatan penting pada tahun 2015 yang dibuat oleh hampir 200 negara yang berisi komitmen untuk membatasi polusi bahan bakar fosil yang menyebabkan perubahan iklim. Kesepakatan itu mulai berlaku efektif pada 2016. Targetnya adalah menahan laju kenaikan suhu dunia di bawah dua derajat celsius dibandingkan dengan kondisi praindustri atau– lebih baik lagi–di bawah 1,5 derajat celsius di akhir abad ini.
Pendiri dan CEO Environment Institute yang juga dosen ilmu lingkungan Universitas Indonesia, Mahawan Karuniasa, mengatakan, perubahan iklim adalah masalah bersama dunia. Akan tetapi, ketika bicara soal aksi iklim global, negara-negara sumber emisi utama dunia, seperti AS dan China akan selalu menjadi perhatian.
Sepanjang dekade terakhir, terdapat empat negara penghasil emisi utama, yaitu China, AS, Uni Eropa+Inggris, dan India yang berkontribusi pada 55 persen emisi global. Pada dua tahun terakhir, emisi China bahkan menunjukkan pola peningkatan yang juga terjadi di India. Tidak hanya secara total, dari sisi emisi per kapita pun China menunjukkan peningkatan beberapa tahun terakhir.
Baca juga: Dampak Perubahan Iklim Terjadi di Mana-mana dan Semakin Berbahaya
Dalam jumlah emisi total, AS berada pada posisi kedua setelah China. Adapun untuk emisi per kapita, AS berada pada posisi pertama. China hari ini menghasilkan karbon lebih banyak, tetapi AS telah lama membakar batubara, minyak, dan gas hingga menghasilkan polusi. Dengan penduduk empat persen populasi dunia, AS bertanggung jawab atas hampir sepertiga karbon dioksida yang dilepaskan ke atmosfer.
Tanggung jawab moral
Sebab itu, banyak yang menyebut bahwa sudah jadi tanggung jawab moral bagi AS untuk tetap berada dalam Kesepakatan Paris. Keberadaan AS dalam aksi iklim global tentu akan memiliki dampak tidak kecil.
Mahawan menuturkan, kembalinya AS ke dalam Kesepakatan Paris diperkirakan akan membawa angin perubahan yang embusannya bisa menerpa Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, dan entitas finansial lainnya untuk mendorong transisi pembangunan dunia menuju keberlanjutan global.
Keberadaan AS dalam Kesepakatan Iklim juga akan berdampak pada dukungan terhadap badan-badan PBB terkait penanganan perubahan iklim maupun negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Pendanaan kampanye perubahan iklim juga berpeluang untuk kembali menguat.
Pete Betts dari lembaga think tank Chatham House yang berbasis di London, mengatakan, komitmen AS harus dibarengi dengan komitmen pendanaan. Di bawah Presiden Barack Obama, AS memiliki komitmen kontribusi Green Climate Fund (GCF) sebesar tiga juta dollar AS untuk membantu negara- negara di dunia dalam menghadapi perubaah iklim. Sejauh ini baru satu juta dollar AS yang dikeluarkan.
“AS perlu mengalokasikan pendanaan dan mendorong negara lain untuk melakukan hal yang sama,” ujar Pete.
Baca juga: Ratusan Perusahaan Global Berkomitmen Emisi Gas Rumah Kaca
"AS sebagai penghasil karbon terbesar di dunia akan investasi lagi di mitigasi iklim dan memenuhi komitmen finansial, termasuk di antaranya 2 miliar dollar AS yang dijanjikan AS di masa Barack Obama untuk Dana Iklim Hijau PBB," kata Kerry.
Biden berkomitmen akan menghentikan semua pendanaan proyek-proyek bahan bakar fosil. Kerry mengatakan AS akan membuat perencanaan anggaran iklim AS yang baru. Selama ini AS sudah menghabiskan anggaran sebesar 265 miliar dollar AS untuk membersihkan negeri akibat tiga badai dahsyat yang menerjang AS tahun 2017 dan badai lain pada 2020 hingga habis anggaran sebanyak 55 miliar dollar AS.
Dari sekian banyak anggaran itu, tidak ada anggaran yang dialokasikan untuk memenuhi komitmen dalam Kesepakatan Paris. Kesepakatan ini menyebutkan, negara-negara kaya harus mengumpulkan 100 miliar dollar AS per tahun. Dana ini semestinya digunakan untuk membantu negara-negara miskin dan rentan agar bisa mengadopsi energi bersih dan mampu beradaptasi dengan cuaca ekstrem dan kenaikan air laut.
Dari sisi internal AS, komitmen untuk mengatasi perubahan iklim dilakukan Biden dengan menangguhkan pengeboran minyak dan gas baru di darat dan lepas pantai. Biden juga berjanji mengkonservasi 30 persen lahan dan sumber air yang dikuasai pemerintah federal pada 2030.
Tantangan Biden
Imlementasi komitmen Biden pada Kesepakatan Paris kemungkinan tidak semudah saat ia mengucapkan janji itu pada kampanye. Pemerintahan Biden akan menghadapi penolakan dari industri berbasis bahan bakar fosil yang selama ini didukung kuat Partai Republik.
Baca juga: Target Pendanaan Iklim Dikhawatirkan Tidak Tercapai
Meski sudah ada komitmen baru, jalan AS masih panjang. AS masih harus mengubah seluruh strategi kebijakannya di sektor ekonomi. Nathan Hultman, yang ikut menyusun peta jalan komitmen Kesepakatan Paris semasa Obama dan kini Direktur Pusat Keberlanjutan Global di University of Maryland, khawatir prosesnya tidak akan mulus karena AS pernah berjanji pada 2025 akan bisa mengurangi emisi karbon antara 26-28 persen dibandingkan tahun 2005. Dibutuhkan kebijakan serta praktik tegas dan ambisius pemerintah federal untuk mencapai target itu.
"Komitmen pemerintahan Biden lebih berat karena targetnya 50 persen pada 2030. Butuh perubahan kebijakan di tingkat legislatif, regulator, dan kebijakan di tingkat nonfederal," kata Hultman.
Pemerintahan Biden sudah memperkirakan akan ada penolakan dari industri berbasis bahan bakar fosil. Salah satu alasan penolakan akan terkait dengan isu lapangan pekerjaan. Untuk mencegah pengangguran, Biden berjanji akan tetap menjaga jutaan lapangan pekerjaan antara lain dengan membangun industri kendaraan listrik, instalasi panel surya, kincir angin, dan lain-lain.
Ilmuwan iklim di Georgia Tech, Kim Cobb, yakin AS akan bisa mencapai target karbon netral sebelum tahun 2050. Apalagi jika Biden bisa memenuhi janjinya berinvestasi di energi bersih nasional dan menciptakan jutaan lapangan pekerjaan. "Tidak akan mudah dan tidak akan cepat karena pasti akan mendapat perlawanan sengit dari oposisi terutama industri minyak dan gas. Tetapi ini sudah langkah awal yang benar," ujarnya.
(REUTERS/AFP/AP)