Isu Nuklir Iran Menunggu Hasil Pemilu Iran dan Israel
Hadirnya Presiden Joe Biden di pucuk kepemimpinan Amerika Serikat diharapkan membuka lembaran baru terkait kesepakatan nuklir Iran. Namun saat ini, harapan itu perlu menunggu hasil pemilu di Iran dan Israel.
Isu nuklir Iran ternyata langsung menjadi polemik di panggung politik Timur Tengah dan internasional, segera setelah Joe Biden dilantik sebagai Presiden AS pada 20 Januari lalu.
Hal itu menunjukkan, isu nuklir Iran menjadi pertarungan sengit antara pihak-pihak yang bertikai, khususnya antara Iran dan Israel, yang membuat isu tersebut merupakan isu paling pelik bagi pemerintah baru Presiden Biden.
Media massa di Timur Tengah, selama dua pekan terakhir ini, cukup diramaikan oleh tulisan dan berita dari pejabat maupun pengamat tentang isu nuklir Iran.
Baca juga : Iran Berniat Memperkaya Uranium hingga 20 Persen
Tak pelak lagi, isu nuklir Iran segera menjadi uji coba kapasitas pemerintah Presiden Biden menangani isu besar itu yang dapat memuaskan semua pihak, yakni Israel, Iran, negara-negara Arab Teluk, dan bahkan Eropa serta Rusia.
Inilah sesungguhnya dilema besar bagi pemerintah Presiden Biden. Situasinya semakin tidak mudah menyusul Israel maupun Iran akan menggelar pemilu dalam waktu dekat.
Israel akan menggelar pemilu Knesset (parlemen) dini pada Maret nanti. PM Israel Benjamin Netanyahu dipastikan tidak mudah menghadapi ketua partai Biru-Putih, Benny Gantz, yang berusaha menjatuhkan PM Netanyahu dari kekuasaannya dengan segala cara.
Hasil pemilu dini pada Maret 2020 menunjukkan kubu kanan dan kubu Kiri-Tengah Israel meraih hasil yang imbang sehingga mereka terpaksa membangun pemerintah koalisi saat ini. Pemerintah koalisi itu kemudian buyar dan Israel kembali memutuskan menggelar pemilu dini pada Maret 2021.
Baca juga : Faktor Iran dan Biden di Balik Pertemuan Rahasia Israel-Suriah
Pemilu dini yang akan digelar pada Maret 2021 itu merupakan pemilu dini yang keempat kalinya, setelah pemilu dini tahun 2018, 2019, dan 2020.
Adapun Iran akan menyelenggarakan pemilu presiden pada Juni nanti. Presiden Iran, Hassan Rouhani, yang berasal dari kubu moderat dan sudah menjabat dua periode (2013-2021) akan berakhir masa jabatannya pada Juni 2021.
Situasi Iran menghadapi pemilu presiden itu juga akan diramaikan oleh pertarungan kubu konservatif dan kubu moderat. Sampai saat ini, belum jelas siapa dari kubu konservatif dan kubu moderat Iran yang akan bertarung dalam pemilu presiden nanti.
Karena itu, sikap dan pernyataan dari pejabat Israel maupun Iran terkait isu nuklir tidak lebih dari manuver untuk konsumsi politik menghadapi pemilu di kedua negara itu.
Baca juga : Iran-Israel Bertarung Keras soal Isu Nuklir, Netanyahu Kirim Tim Pelobi ke AS
Tidak heran jika pejabat Israel maupun Iran cenderung konservatif, bahkan radikal dalam memberi sikap dan komentar terkait isu nuklir tersebut.
Strategi Israel
PM Netanyahu dan kubu kanan Israel tentu menunjukkan sikap keras dalam hal isu nuklir, dalam upaya menarik simpati rakyat Israel.
PM Netanyahu pun terus memainkan isu tentang bahaya nuklir Iran yang mengancam eksistensi negara Israel. PM Netanyahu telah melakukan segala cara dan menggunakan kekuatan penuh untuk melobi pemerintah Presiden Biden agar memenuhi aspirasi Israel terkait isu nuklir Iran.
Aspirasi Israel adalah jika pemerintah Presiden Biden menginginkan menghidupkan lagi kesepakatan nuklir Iran atau (The Joint Comprehensive Plan of Action/JCPOA), harus digelar perundingan baru tentang JCPOA dengan memasukkan agenda pembatasan industri rudal balistik dan isu intervensi Iran di negara-negara lain dalam butir JCPOA baru.
Situs Israel, Walla News, pada awal Januari lalu memberitakan bahwa PM Israel Benjamin Netanyahu membentuk tim strategis yang bertugas melakukan pembicaraan dengan pemerintah Presiden Biden tentang isu nuklir Iran.
Tim strategis tersebut melibatkan pejabat tinggi dari kementerian luar negeri Israel, kementerian pertahanan Israel, Mossad, dan lembaga tenaga atom Israel.
PM Netanyahu juga telah menunjuk pula orang kepercayaannya di Partai Likud, Gilad Erdan, sebagai dubes baru Israel untuk AS. Erdan yang mulai bertugas di Washington DC sejak 21 Januari lalu mendapat tugas utama melobi pemerintah Presiden Biden terkait isu nuklir Iran.
Bahkan harian Asharq al-Awsat edisi hari Kamis, 21 Januari 2021, memberitakan, PM Netanyahu mulai melakukan komunikasi dengan sejumlah pengusaha Yahudi untuk membantu melobi Presiden Biden agar bisa lebih memenuhi aspirasi Israel terkait isu Iran, Palestina, dan hubungan Arab-Israel.
Di antara pengusaha Yahudi yang dihubungi PM Netanyahu adalah Ronald S Lauder yang dikenal sebagai pengusaha di AS dan juga menjabat ketua Kongres Yahudi Internasional (WJC) serta Ketua Lembaga Yahudi untuk Israel, Isaac Herzog yang seorang pengusaha di Israel dan juga anggota Knesset (parlemen). Ronald S Lauder dan Isaac Herzog dikenal dekat dengan partai Demokrat di AS.
Langkah Iran
Sebaliknya, Iran juga berusaha segala cara agar pemerintah Presiden Biden bersedia kembali ke JCPOA tanpa ada modifaksi lagi.
Menlu Iran Mohammad Javad Zarif, Selasa (26/1/2021), mengunjungi Moskwa, menemui Menlu Rusia Sergei Lavrov, untuk meminta dukungan terkait isu nuklir. Menlu Lavrov setelah bertemu Zarif menyerukan AS mencabut sanksi terhadap Iran dan segera menghidupkan lagi JCPOA.
Rusia adalah bagian dari JCPOA bersama Inggris, Perancis, China, AS, plus Jerman atau 5+1 yang tercapai pada Juli 2015. Mantan Presiden AS Donald Trump membatalkan secara sepihak JCPOA itu pada Mei 2018 dan kembali menjatuhkan sanksi total terhadap Iran.
Pemerintah Presiden Hassan Rouhani di Teheran dipastikan akan terus melakukan manuver dalam upaya menekan pemerintah Presiden Biden agar bersedia menerima aspirasi Iran, yaitu menghidupkan lagi JCPOA tanpa ada modifikasi.
Baca juga : Dunia Arab Butuh Solusi ”Out of the Box”
Manuver Rouhani itu bukan hanya bertujuan untuk menggagalkan aspirasi Israel, melainkan juga dalam upaya membantu kandidat presiden Iran dari kubu moderat menan dalam pemilu presiden Iran Juni nanti melawan kandidat kubu konservatif.
Bagi Rouhani, isu nuklir kini adalah pertarungan internasional dan dalam negeri Iran sekaligus. Seperti dimaklumi, JCPOA adalah prestasi kubu moderat Iran, yakni pemerintah Presiden Rouhani.
Pada era Presiden Iran Ahmadinejad yang berasal dari konservatif (2005-2013), sangat sulit tecapai kesepakatan nuklir Iran karena sikap keras Presiden Ahmadinejad yang tidak mau kompromi.
Dalam konteks situasi dalam negera Iran yang akan menggelar pemilu presiden Juni nanti, tentu kepentingan pemerintah Presiden Biden adalah kubu moderat Iran memenangi pemilu presiden itu.
Jika kubu moderat Iran kembali menang dalam pemilu presiden nanti, akan mudah bagi pemerintah Presiden Biden mencapai kesepahaman baru terkait isu nuklir.
Hal itu ditunjukkan oleh Presiden Rouhani yang berasal dari kubu moderat Iran, yang langsung menggelar perundingan rahasia dengan AS, segera setelah menang dalam pemilu presiden Juni 2013 sehingga tercapai kesepakatan pada Juli 2015.
Sebaliknya, apabila kubu konservatif Iran yang menang dalam pemilu presiden nanti, akan lebih sulit bagi Presiden Biden mencapai kesepahaman baru tentang isu nuklir Iran.
Kepentingan Israel
Adapun bagi Israel bisa jadi justru menginginkan kubu konservatif Iran yang menang dalam pemilu presiden nanti. Kepentingan Israel adalah tidak ada lagi JCPOA dan sanksi AS terus berlanjut terhadap Teheran sehingga Iran menjdi negara yang sangat lemah.
Pada gilirannya nanti, Israel berharap AS akan menggebuk Iran secara militer untuk menghancurkan program nuklir Iran dan menjatuhkan rezim para Mullah di Teheran.
Baca juga : Ilmuwan Nuklir Iran Dibunuh dalam Operasi dengan Tingkat Kesulitan Tinggi
Skenario serupa dilakukan AS terhadap Irak pada 1990-an, dengan menjatuhkan sanksi total atas Irak sehingga negara itu sangat lemah. Pada gilirannya, AS melakukan invasi ke Irak untuk mengakhiri rezim Saddam Hussein di Baghdad pada 2003.
Menghadapi situasi dalam negeri Israel dan Iran yang sama-sama menyelenggarakan pemilu dalam waktu dekat, sejumlah pengamat memprediksi pemerintah Presiden Biden akan menunggu setelah pemilu Israel dan Iran untuk memulai perundingan baru tentang isu nuklir Iran.
Pemerintah hasil pemilu di Israel dan Iran nanti, akan lebih legitimatif untuk melakukan komunikasi dengan AS terkait isu nuklir itu.
Sisa usia pemerintah Presiden Rouhani di Teheran tinggal lima bulan lagi dan pemerintah PM Netanyahu di Israel hanya dua bulan lagi. Usia pemerintah Rouhani maupun pemerintah Netanyahu yang tinggal seumur jagung tentu sangat krusial secara legitimasi jika berunding isu besar seperti isu nuklir.
Karena itu, polemik isu nuklir Iran saat ini lebih sebagai kosumsi politik menjelang pemilu di Iran dan Israel. Isu nuklir Iran baru digarap secara lebih serius oleh pemerintah Biden setelah pemilu Iran dan Israel nanti.