Indonesia Menjaga Keseimbangan antara China dan AS
Pemerintah Indonesia mengoptimalisasi hubungan ekonomi yang lebih terbuka di era Presiden Joe Biden dibandingkan Donald Trump yang cenderung tertutup. Perbaikan kondisi lingkungan, HAM hingga Papua pun akan jadi sorotan.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia diharapkan bisa mengoptimalkan potensi ekonomi sekaligus menjaga keseimbangan hubungan antara dua raksasa ekonomi dunia, Amerika Serikat dan China, di tengah persaingan keduanya pasca-perubahan di dalam negeri AS. Pada saat yang sama, Pemerintah Indonesia juga harus berpikir keras, mencari solusi terbaik terhadap hal-hal yang menjadi perhatian pemerintahan Presiden Joe Biden, yang didukung Partai Demokrat, seperti demokrasi, hak asasi manusia, dan lingkungan hidup.
Pendapat itu menjadi benang merah webinar yang menghadirkan Kepala Departemen Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara Prof Tirta Nugraha Mursitama, Guru Besar Program Studi HI Universitas Padjadjaran Prof Arry Bainus, dan mantan Konsul Jenderal AS di Sumatera Stanley Harsha, Sabtu (30/1/2021).
Berbeda dengan Presiden AS sebelumnya, Donald Trump, yang lebih suka mengisolasi diri dari berbagai lembaga kerja sama internasional dan global, menurut Arry, Biden memiliki keyakinan terandal multilateralisme, serta kerja sama global untuk membantu Pemerintah AS memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Perintah eksekutif yang telah dikeluarkan, termasuk kembalinya AS ke dalam perjanjian kerja sama iklim atau Paris Agreement, menjadi salah satu bukti pandangan globalis Biden.
Tidak hanya soal iklim, Arry meyakini Biden akan membawa AS memperkuat kembali regionalisme dalam konteks pasar bebas, seperti Kerja Sama Trans-Pasifik (TPP), untuk menghambat sikap ekspansionisme China dalam bidang ekonomi. Tindakan ini berbeda dengan Trump yang memilih melakukan perang dagang dengan China tanpa memperhatikan implikasinya bagi perekonomian dunia.
Akan tetapi, pada saat yang sama, hal ini akan menimbulkan kesulitan tersendiri bagi negara-negara ”sahabat” atau sekutu AS di Asia Pasifik karena negara-negara ini sudah menjalin hubungan baik dengan China. ”Indonesia, Korea Selatan, ini akan menjadi impitan tersendiri. Mau tidak mau, kita harus berbaik-baik dengan China dan juga tetap baik dengan Amerika Serikat. China adalah mitra dagang terbesar di kawasan,” kata Arry.
Prof Tirta meyakini bahwa AS akan kembali bergabung dengan TPP, tetapi dengan beberapa penyesuaian. Bergabungnya kembali AS dalam TPP ini tidak terlepas dari upaya Biden melayani kelompok menengah di AS yang menjadi konstituennya dan menjadi kelompok yang paling terpukul oleh resesi ekonomi akibat pandemi.
Hubungan Indonesia dengan China ataupun AS dalam bidang ekonomi ditandai dengan penguatan setiap tahun. Tirta, mengutip data Badan Pusat Statistik, realiasi investasi AS selama lima tahun terakhir, 2015-2020, mencapai 6,735 miliar dollar AS dan menempati peringkat ke-8. Dalam catatannya, AS juga menjadi negara tujuan ekspor terbesar kedua Indonesia, yaitu senilai 1,61 miliar dollar AS pada Juli 2020, atau setara dengan 12 persen dari nilai total ekspor Indonesia. Sementara China menjadi pasar ekspor Indonesia terbesar dengan nilai 2,53 miliar dollar AS atau sekitar 39,82 persen.
Dengan peluang yang terbuka, baik di pasar China maupun pasar Amerika, Tirta mendorong kembali Pemerintah Indonesia, khususnya Kementerian Luar Negeri, untuk menyusun kembali strategi diplomasi ekonomi dan bisnis Indonesia serta mencari terobosan perdagangan baru.
Perbaikan kondisi demokrasi, HAM, dan lingkungan
Stanley Harsha, mantan diplomat AS, mengatakan, perubahan akan sangat mencolok dalam kebijakan luar negeri Biden soal HAM, lingkungan, dan demokrasi. Dia meyakini, seperti halnya Barrack Obama, Biden akan menekankan beberapa hal itu sebagai bagian dari kebijakan luar negerinya.
”Bagi orang-orang yang mendukung demokrasi di Indonesia, ini tentu hal yang menggembirakan, akan memberikan keuntungan yang besar,” kata Harsha.
Penekanan soal HAM, lingkungan dan demokrasi, menurut Arry, juga seharusnya mendorong Pemerintah Indonesia menjadi lebih baik lagi dalam menangani persoalan-persoalan itu. Contohnya persoalah lingkungan dan HAM di Papua.
Menurut Arry, pemerintah bisa menggunakan instrumen hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia untuk menyelesaikan persoalan Papua yang sampai sekarang belum selesai. Penekanan penyelesaian masalah Papua yang selalu menggunakan kacamata keamanan, harus diubah.
”Sebagai masyarakat yang beradab kita memiliki roadmap penyelesaian Papua. Saya yakin masalah itu bisa diselesaikan,” kata Arry. ”Tarik seperlunya keamanan dari Papua dan utamakan masalah pembangunan, ekonomi, dan lingkungan yang berkeadilan di sana,” tambahnya.