Korea Selatan menghadapi persoalan kependudukan serius mulai dari angka kelahiran yang rendah hingga populasi lansia yang terus bertambah.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
Berbicara soal ancaman terhadap Korea Selatan mungkin kita akan menyebut nuklir Korea Utara. Itu betul, bahkan program nuklir Korea Utara menebar ancaman di kawasan. Tapi, ancaman yang tak kalah serius justru berasal dari dalam negeri Korea Selatan sendiri, yaitu persoalan kependudukan.
Selama ini, Jepang selalu muncul menjadi contoh negara dengan populasi lansia yang sangat tinggi di dunia. Tapi, dinamika demografi Korea Selatan membuat negara ini menghadapi persoalan kependudukan yang sama seriusnya, mulai dari tingginya populasi lansia (16 persen penduduk Korea Selatan berusia di atas 65 tahun) hingga rendahnya angka kelahiran.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, jumlah populasi penduduk Korea Selatan turun. Data hasil sensus terbaru yang dirilis awal Januari 2021 menunjukkan, populasi penduduk Korea Selatan sebanyak 51.829.023 jiwa pada akhir Desember 2020 atau turun 20.838 dari tahun sebelumnya.
Seperti diberitakan kantor berita Yonhap, jumlah penduduk Korea Selatan terus naik setiap tahun dalam satu dekade terakhir meski pertumbuhan penduduk menurun dari 1,49 persen pada tahun 2010 menjadi 0,05 persen pada tahun 2019.
Yonhap juga melaporkan data bahwa sepanjang tahun 2020 jumlah kematian penduduk di Korea Selatan yang sebanyak 307.764, lebih besar dari angka kelahiran yang 275.815 kelahiran.
Data Desember 2020 mengungkapkan bahwa hampir satu dari lima pasangan yang menikah tahun 2015 masih belum memiliki anak. Menurut data statistik Korea Selatan, sekitar 18 persen dari 216.008 pasangan yang menikah tahun itu belum memiliki anak. Angka ini lebih besar dibandingkan dengan angka tahun 2012 yang sebesar 13 persen.
Angka kelahiran atau rata-rata jumlah anak yang dilahirkan seorang perempuan sepanjang hidupnya juga anjlok hingga mencapai rekor terendahnya 0,92 di tahun 2019. Angka ini juga paling rendah di antara negara-negara Kerja Sama Ekonomi dan pembangunan (OECD). Angka tersebut berada di bawah level yang dibutuhkan untuk menjaga populasi stabil yaitu 2,1.
Seperti diberitakan the Guardian, pemerintahan Moon Jae-in belum lama mengumumkan inisiatif yang mendorong pasangan untuk memiliki anggota keluarga yang banyak termasuk insentif 1 juta won atau sekitar 900 dollar AS bagi perempuan hamil atau 6 juta won bagi pasangan yang cuti tiga bulan untuk merawat anak dan tunjangan bulanan tunai bagi anak berusia di bawah 12 tahun.
Namun, para kritikus menilai langkah itu tidak bakal berpengaruh banyak karena besaran insentif yang diberikan tidak setara dengan beban keuangan yang muncul jika memiliki anak, seperti misalnya, untuk biaya pendidikan dan rumah.
Selain beban ekonomi keluarga, sejumlah ahli juga menyoroti semakin banyaknya perempuan Korea Selatan yang menjalani hidup bertentangan dengan norma sosial selama ini yaitu membesarkan anak dan merawat mertua sementara suami mereka bekerja.
Baru-baru ini publik Seoul dibuat marah oleh diterbitkannya panduan ibu hamil yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Seoul. Panduan itu antara lain berisi tips memenuhi kebutuhan suami ketika hamil tua, bagaimana ibu hamil menjaga berat badannya, memastikan suami memiliki makanan dan pakaian yang cukup selama ditinggal persalinan. Ketika sang ibu kembali ke rumah dengan anggota keluarga baru pun mereka tidak boleh tampil “acak-acakan” dengan memakai karet rambut.
“Karena semakin banyak perempuan bekerja sekarang, mereka enggan memiliki bayi karena sangat sulit menjalani pekerjaan sambil di saat yang sama membesarkan anak,” kata Kim Seong-kon, Guru Besar Emiritus Bahasa Inggris di Seoul National University.
“Lagipula, perempuan hamil harus menghadapi kerugian serius di Korea Selatan. Banyak fasilitas penitipan anak yang tidak bisa dipercaya dan yang bagus sulit dicari,” tulis Kim di Korea Herald.
Seorang perempuan asal Seoul, Choi Mi-yeon, terpaksa memikirkan ulang rencananya untuk berkarir sambil membangun keluarga dan membesarkan anak ketika ia mulai terjun mencari kerja.
Setelah belajar perdagangan internasional di Eropa perempuan berusia 32 tahun itu terkejut ketika dalam satu wawancara kerja ia ditanya apakah memiliki rencana untuk menikah. “Satu perusahaan malah menyampaikan akan sulit bagi mereka untuk mempekerjakan saya jika nanti menikah karena mereka harus membayar untuk cuti melahirkan,” tuturnya.
“Sekarang saya tidak yakin ingin punya anak karena bisa jadi suami saya nantinya akan menyerahkan pengasuhan anak pekerjaan rumah pada saya. Saya tahu bahwa pria Korea berubah, tapi apa jadinya kalau saya berjodoh dengan proa yang masih kuno,” kata Choi.
Dari waktu ke waktu persepsi perempuan Korea Selatan terhadap pernikahan juga telah berubah. Di tahun 2018, lebih dari 22 persen perempuan Korea Selatan yang lajang atau pernah menikah mengatakan bahwa pernikahan adalah bagian penting dari hidup.
Jumlah itu jauh menurun jika dibandingkan 10 tahun sebelumnya di mana 47 persen perempuan Korea Selatan yang menilai pernikahan penting. Perubahan ini tergambar dari turunnya jumlah pernikahan dari 434.900 tahun 1996 ke 257.600 tahun 2019.
Apabila semkain sedikit penduduk Korea Selatan yang menikah dan tren angka kelahiran yang rendah terus berlanjut pemerintah Korea Selatan memprediksi populasi negara itu akan anjlok menuju 39 juta jiwa di tahun 2067 dengan lebih dari 46 persen di antaranya berusi 64 tahun ke atas. Tidak hanya di pedesaan, tren depopulasi ini juga terjadi di Seoul. Ini adalah ancaman serius bagi kekuatan ekonomi keempat terbesar di Asia itu.
“Di tengah turunnya angka kelahiran pemerintah perlu mengubah kebijakan fundamentalnya,” kata Kementerian Dalam Negeri Korea Selatan.