Muncul Kekhawatiran Militer Bakal Melancarkan Kudeta di Myanmar
Kubu militer selama berminggu-minggu menuduh adanya ketidakberesan yang meluas dalam pemilu Myanmar. Komisi pemilu setempat sebaliknya menyatakan pemilu berjalan dengan baik dan tidak ada kecurangan apa pun.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
NAYPYIDAW, JUMAT — Krisis politik di Myanmar dapat sewaktu-waktu berubah menjadi kudeta oleh militer terhadap pemerintahan sipil di negara itu. Gelagat paling baru terlihat setelah Panglima Militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing menyatakan adanya opsi membatalkan konstitusi negara setelah permintaan militer agar komisi pemilu Myanmar merilis daftar pemilih dalam pemilu, yang digelar pada November tahun lalu, tidak dipenuhi.
Militer Myanmar selama berminggu-minggu menuduh ada ketidakberesan yang meluas dalam pemilu tersebut. Pemilu itu dimenangi Partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi, Penasihat Negara Myanmar. Pemerintah sipil Myanmar terikat perjanjian pembagian kekuasaan yang tidak nyaman dengan para jenderal militer sejak pemilu demokratis pertama Myanmar digelar pada 2015. Perjanjian itu ditentukan oleh konstitusi yang dibuat oleh junta tahun 2008.
Panglima Militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing, Kamis (28/1/2021), menggemakan sentimen kemungkinan kudeta itu. Dalam pidato yang dimuat surat kabar Myawady, yang dikelola militer, Hlaing menyatakan bahwa konstitusi 2008 adalah ”induk hukum untuk semua hukum” dan harus dihormati. Orang kuat di Myanmar itu juga memperingatkan bahwa dalam keadaan tertentu, terbuka kemungkinan atas tindakan ”perlunya mencabut konstitusi”.
Pernyataan Hlaing itu menjadi komentar terbaru militer atas kondisi berlarut-larutnya tuntutan militer soal daftar pemilih dalam pemilu, November lalu. Permintaan itu belum juga terpenuhi. Militer mengatakan, daftar itu diperlukan untuk memeriksa ulang adanya dugaan penyimpangan dalam pemilu itu. Militer menduga ada 8,6 juta kasus kecurangan pemilih secara nasional.
Hari Selasa (26/1/2021), juru bicara militer Brigadir Jenderal Zaw Min Tun menyampaikan dalam konferensi pers bahwa ada kecurangan dalam pemilu, November lalu. ”Kami akan mengambil tindakan sesuai konstitusi dan aturan-aturan yang ada jika mereka tidak mengatasi masalah ini,” ujarnya.
Ketika ditanya soal apakah ia tidak memasukkan kudeta dalam langkah-langkah yang akan diambil, Zaw menjawab, ”(Kami) tidak bisa mengatakan demikian". ”Kami akan melakukan semua tindakan yang ada, termasuk mengajukan masalah ini ke Mahkamah Agung,” katanya. ”Kami melakukan hal ini karena kami ingin sistem demokrasi yang kuat.”
Komisi pemilu Myanmar dalam pernyataannya, Kamis, menyangkal adanya praktik-praktik penipuan selama pemilu. Komisi itu hanya mengakui bahwa mereka telah melihat kelemahan dalam daftar pemilih, seperti terjadi pada pemilihan sebelumnya.
”Tidak mungkin ada situasi penipuan pemilih hanya karena kelemahan dalam daftar pemilih yang cacat dalam pemilihan ini,” demikian pernyataan komisi pemilu.
Komisi itu juga menegaskan bahwa setiap keluhan dapat diajukan dan akan diselidiki oleh komisi. Anggota parlemen yang baru terpilih diharapkan mulai duduk di parlemen pada 1 Februari mendatang.
PBB mengawasi
Dinamika situasi politik dan keamanan di Myanmar itu menjadi perhatian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam pernyataannya, PBB mengatakan, pihaknya mengawasi situasi di negara itu dengan keprihatinan. PBB juga mendesak semua pihak untuk menghentikan segala bentuk hasutan atau provokasi serta menghormati hasil pemilu.
Pemilu yang digelar tiga bulan lalu itu merupakan pemilu demokratis kedua yang dilakukan Myanmar sejak 2011. Selama hampir lima dekade sebelumnya, Myanmar berada dalam naungan kediktatoran militer. Meski telah lama Suu Kyi menjadi tokoh populer di Myanmar, pencalonan dia untuk menuju tampuk kekuasaan dalam Pemilu 2015 dibatasi oleh beberapa ketentuan konstitusi.
Satu ketentuan itu adalah larangan bagi warga negara yang menikah dengan orang asing untuk menjadi presiden. Suu Kyi, yang menikah dengan seorang warga negara Inggris, menghindari aturan itu.
Setelah kemenangan Pemilu 2015, ia secara resmi menjadi penasihat negara yang notabene adalah peran kepemimpinan de facto yang dibuat oleh pemerintahnya. Partai NLD juga kemudian mendorong perubahan pada konstitusi, tetapi proses itu hanya menghasilkan sedikit kemajuan.
Analis politik Soe Myint Aung mengatakan, militer Myanmar melihat ”celah besar di dalam konstitusi yang telah menyebabkan kerugian bagi militer”. Kemungkinan besar militer akan mengambil tindakan, kecuali komisi pemilu dan pemerintah memperbaiki keluhannya terkait pemilihan. ”Retorika kudeta bukan sekadar gertakan atau ancaman kosong,” kata Aung.
Suu Kyi sendiri sejauh ini tidak memberikan komentar langsung atas keluhan militer terkait gelaran pemilu di negerinya. Merujuk pada sejarah Myanmar, terakhir kali pencabutan konsitusi di negara itu terjadi pada 1962 dan 1988. Keduanya terjadi ketika militer merebut kekuasaan dan memulihkan pemerintahan junta. (AFP)