Para Imam di Inggris Turun Tangan Melawan Disinformasi Vaksinasi Covid-19
Tokoh agama memiliki peran strategis untuk turut serta melawan disinformasi seputar vaksinasi Covid-19. Para imam di Inggris melawan disinformasi vaksinasi melalui pesan-pesan keagamaan, misalnya, dalam khutbah Jumat.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
Keraguan, ketakutan, bahkan ketidakpercayaan terhadap vaksin yang disebabkan oleh informasi yang keliru dan berita bohong menjadi hambatan terbesar vaksinasi, bahkan jauh sebelum pandemi Covid-19 terjadi. Ketika sejumlah negara mulai menggelar vaksinasi Covid-19, fenomena itu bisa menggagalkan target vaksinasi.
Menyadari betapa disinformasi bisa begitu merusak upaya pengendalian pandemi, para imam di Inggris turun tangan membantu dengan memanfaatkan pengaruh mereka yang strategis sebagai tokoh agama di kalangan komunitas Muslim. Salah satu caranya adalah menjadikan khotbah Jumat sebagai sarana penyampaian informasi.
Ketua Dewan Penasihat Masjid dan Imam Nasional (MINAB) Inggris Qari Asim memimpin langsung gerakan tersebut. Secara terbuka ia menganjurkan vaksinasi yang—menurut dia—sejalan dengan Islam. ”Kami yakin bahwa dua vaksin yang sudah dipakai di Inggris, yaitu vaksin dari Pfizer-BioNTech dan AstraZeneca-Oxford, diperbolehkan dari perspektif Islam,” katanya.
”Keraguan, kecemasan, dan kekhawatiran yang masih muncul didorong oleh informasi yang salah, teori konspirasi, berita bohong, dan rumor.”
Inggris termasuk negara terdampak pandemi paling parah di Eropa. Jumlah kematian akibat Covid-19 di negara itu hampir 95.000 orang. Inggris sangat bergantung pada vaksinasi untuk menggantikan siklus penutupan wilayah yang berulang dan pembatasan sosial ketika infeksi melonjak.
Namun, laporan komite ilmiah yang memberikan rekomendasi kepada pemerintah memperlihatkan adanya ketidakpercayaan terhadap vaksin yang lebih kuat di kalangan kelompok minoritas dibandingkan pada masyarakat Inggris pada umumnya.
Laporan itu menggarisbawahi bahwa 72 persen responden kulit hitam kemungkinan tidak bersedia divaksin. Sekitar 42 persen dari responden yang memiliki latar belakang Pakistan atau Bangladesh juga kemungkinan tidak bersedia divaksin.
Sebagai bagian dari gerakan melawan informasi keliru soal vaksin Covid-19, sebuah pusat vaksinasi didirikan di masjid di Birmingham, kota kedua terbesar di Inggris yang memiliki banyak populasi warga dari Asia Selatan. Imam Nuru Mohammed mengatakan, langkah itu menjadi ekspresi ”tidak" untuk berita bohong bagi sekitar 2.000 umatnya. Ia bahkan membagikan video di media sosial yang menampilkan dirinya menjalani vaksinasi Covid-19.
Para imam menjawab apa yang menjadi kekhawatiran 2,8 juta Muslim di Inggris bahwa vaksin mengandung gelatin babi atau alkohol yang diharamkan dalam Islam. Para imam juga mencoba meluruskan informasi yang menyatakan bahwa vaksin bisa mengubah DNA, membuat penerimanya jadi steril, atau vaksinasi jadi jalan untuk memasukkan cip mikro ke dalam tubuh.
Qari mengatakan, ”sah” saja untuk mempertanyakan hal-hal yang diperbolehkan dalam Islam, tetapi jangan sampai pada saat yang sama memercayai begitu saja klaim yang tidak memiliki dasar yang jelas.
Gerakan melawan disinformasi seputar vaksin Covid-19 juga dilakukan tenaga kesehatan. Nighat Arif, dokter di Chesham dekat London, misalnya, mengunggah video berbahasa Urdu di media sosial berisi dirinya yang sedang divaksin Covid-19. Video ini ditujukan bagi warga berbahasa Urdu yang tinggal di Inggris.
”Saya berharap mereka bisa melihat seseorang yang seperti mereka, seorang Muslimah, memakai hijab, seseorang yang berlatar belakang Asia yang berbicara dengan bahasa mereka. Itu lebih relevan dibandingkan materi yang berasal dari pemerintah,” tutur Nighat.
Nighat heran masih ada saja pasiennya yang menolak divaksin, padahal mereka pasti akan bersedia divaksin ketika akan berangkat haji ke Arab Saudi atau akan berkunjung ke Pakistan atau India. Ia menyalahkan teori konspirasi yang menyebar secara daring atas munculnya fenomena itu.
Samara Afzal (34), seorang dokter di Netherton Health Centre di Dudley di West Midlands, juga membagikan video dalam bahasa Urdu kepada 35.000 pengikutnya di Twitter untuk ”membantah beberapa mitos.”
Di Netherton Health Centre, Samara memperkirakan 40-50 dari 1.000 orang telah menolak divaksin. Semula ia menduga hanya ada satu atau dua orang saja.
”Masih cukup banyak orang yang mengatakan ’tidak’, dan itu baru di kalangan lansia. Kita belum melihat bagaimana (respons) orang-orang yang lebih muda,” katanya.
Samara yakin, jika orang berusia lebih muda ditanya, diperkirakan bakal lebih banyak warga yang menolak vaksinasi.
Inggris telah memberikan dosis pertama vaksin Covid-19 kepada sekitar lima juta orang lansia dan petugas kesehatan, angka yang tertinggi di Eropa.
Menanggapi riak-riak penolakan vaksinasi, fasilitas kesehatan milik Pemerintah Inggris mencoba memobilisasi para pemengaruh (influencer) untuk meyakinkan publik akan vaksinasi. ”Banyak yang harus dikerjakan ketika menerjemahkan informasi, kami memastikan informasinya sampai ke populasi yang dituju,” kata Harpreet Sood, dokter yang memimpin kampanye anti-disinformasi kepada BBC.
Bagi Qari, gerakan melawan disinformasi terkait vaksin Covid-19 ini juga memiliki makna lain, yaitu membantu melawan sikap ekstrem. ”Jika ada cakupan vaksinasi yang rendah di suatu komunitas Muslim dibandingkan dengan populasi umum, hal itu bisa menyulut Islamofobia semakin kuat,” ujarnya. (AFP)