Rusia Desak AS Cabut Sanksi Iran jika Ingin Selamatkan Kesepakatan Nuklir
Moskwa mendesak Washington untuk mencabut sanksi terhadap Iran jika ingin melihat kesepakatan nuklir 2015 bisa berlaku kembali.
Oleh
Mahdi Muhammad/Benny Dwi Koestanto
·4 menit baca
MOSKWA, RABU — Rusia mendesak Amerika Serikat agar segera mencabut sanksi-sanksi untuk Iran jika ingin menyelamatkan Kesepakatan Nuklir 2015. Keinginan Washington untuk mendapatkan konsesi dari Iran sebagai syarat tambahan bisa berujung dengan kegagalan jika AS tidak melunak.
Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov menyampaikan desakan Rusia kepada AS setelah bertemu Menlu Iran Javad Zarif, Selasa (26/1/2021), di Moskwa, Rusia. Pembicaraan antara Lavrov dan Zarif adalah pembicaraan pertama mereka setelah Joe Biden dilantik sebagai Presiden AS pada 20 Januari lalu.
Lavrov mengatakan, Rusia dan Iran memiliki posisi yang sama untuk menjaga kesepakatan nuklir itu. Ia juga mendesak AS untuk segera mencabut sanksi sebagai syarat kepatuhan Iran.
”Pada gilirannya, hal ini akan memberikan prasyarat untuk penerapan semua persyaratan kesepakatan nuklir oleh Republik Islam Iran,” kata Lavrov.
Pembicaraan itu terjadi beberapa hari setelah Menlu Zarif mendesak AS membuat pilihan mendasar, mengakhiri rezim sanksi dan membalikkan kebijakan Presiden ke-45 AS Donald Trump yang sebelumnya gagal. Zarif juga mengingatkan, setiap upaya Washington untuk mendapatkan konsesi tambahan akan berakhir dengan kegagalan.
Zarif menuliskan pandangan dan keinginan Iran dalam tulisannya di sebuah majalah kebijakan luar negeri AS, Foreign Affairs, pekan lalu. Dalam tulisan itu, Zarif mengatakan, Iran ingin agar Rencana Aksi Kesepakatan Bersama (Joint Comprehensive Plan of Action/JCPOA) atau Kesepakatan Nuklir 2015 bisa terlaksana kembali.
Penegasan keinginan Iran itu disampaikan Zarif ketika bertemu koleganya, Lavrov. Dia menyatakan, jika Washington mencabut semua sanksi terhadap Teheran, Iran tidak akan membatasi pekerjaan pengawas nuklir Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency/IAEA) dan kembali ke kewajibannya berdasarkan isi perjanjian.
”Kami akan melanjutkan implementasi lengkapnya,” kata Zarif.
Perjanjian itu sebagian besar berantakan setelah tahun 2018 mantan Presiden AS Donald Trump secara sepihak menarik diri. Trump juga memerintahkan pemberlakuan kembali hukuman keras terhadap Teheran sebagai bagian dari kebijakan ”tekanan maksimum” pemerintahannya.
Kesepakatan Nuklir Iran itu disepakati antara Iran dan enam negara kuat, yakni Amerika Serikat, China, Rusia, Inggris, Perancis, dan Jerman (P5+1), pada 2015. Kesepakatan itu menawarkan keringanan sanksi dengan imbalan pembatasan ambisi nuklir Teheran dan jaminan bahwa Teheran tidak akan mengembangkan bom atom. Iran bersikukuh bahwa pihaknya hanya mengejar program energi nuklir sipil.
Segera setelah pembicaraan di Moskwa, Pemerintah Perancis menyatakan bahwa Iran harus mematuhi kesepakatan itu jika menginginkan AS kembali ke dalam perjanjian. Sikap ini bertentangan langsung dengan sikap Rusia.
”Jika mereka serius bernegosiasi dan ingin mendapatkan komitmen baru dari seluruh peserta JCPOA, pertama, mereka harus menahan diri dari provokasi lebih lanjut dan kedua, mereka harus menghormati apa yang tidak mereka hormati lagi dalam hal komitmen,” kata seorang pejabat pemerintah Perancis dengan syarat anonimitas.
Pernyataan itu direspons oleh Zarif. Dia mencuit, ”Itu adalah AS yang melanggar kesepakatan—tanpa alasan. Itu harus memperbaiki kesalahannya; kemudian Iran akan merespons.”
Gelombang baru sanksi AS telah memukul sektor minyak vital Iran dan hubungan perbankan internasionalnya, menjerumuskan ekonomi negara itu ke dalam resesi yang parah.
Arahan Biden pada Menlu AS yang baru, Anthony Blinken, adalah kebijakan Trump membuat Iran lebih berbahaya. Blinken sendiri mengonfirmasi keinginan Biden yang ingin agar mereka kembali ikut dalam kesepakatan itu. Namun, keduanya mensyaratkan masing-masing patuh pada seluruh isi perjanjian.
Sejak keluarnya AS, Rusia dan sejumlah negara Eropa menganjurkan upaya penyelamatan perjanjian dan memperingatkan Iran agar tidak memperkuat pengayaan nuklirnya.
Wakil Menlu Rusia Sergei Ryabkov, Desember tahun lalu, meminta Iran mengambil ”tanggung jawab maksimum” setelah Teheran mengumumkan rencana untuk memasang mesin sentrifugal canggih di pabrik pengayaan nuklir utama negara itu.
Moskwa tampak sangat optimistis atas nasib kesepakatan di bawah pemerintahan Gedung Putih yang baru setelah negosiator senjata, Mikhail Ulyanov, menggambarkan posisi Washington sebagai ”bisnis dan pragmatis”.
Legislasi yang disahkan oleh parlemen Iran pada bulan Desember mengharuskan Teheran meningkatkan pengayaan uranium dan membatasi inspeksi PBB jika sanksi tidak dicabut pada bulan Februari.
Keputusan ini keluar setelah keamanan dalam negeri Iran bobol dengan pembunuhan Mohsen Fakhrizadeh, ahli nuklir Iran, oleh agen intelijen Israel yang didukung AS.
Tekanan atas Biden
Meski berharap AS segera mencabut sanksi, Pemerintah Iran mengancam akan menghadang setiap inspeksi mendadak terhadap fasilitas nuklirnya oleh IAEA. Langkah itu menyulitkan pengawas internasional mengumpulkan informasi pengayaan uranium yang diduga terus dilakukan Iran.
Juru bicara Pemerintah Iran, Ali Rabiei, mengatakan, langkah pertama untuk membatasi inspeksi tersebut akan dimulai pada 19 Februari mendatang. ”Hukum kami sangat jelas mengenai masalah ini. Tetapi itu tidak berarti Iran akan menghentikan inspeksi lain oleh Badan Energi Atom Internasional,” kata Rabiei.
Iran bulan ini melanjutkan pengayaan uranium hingga 20 persen kekuatan fisik di pabrik nuklir, tingkat yang dicapai Teheran sebelum mencapai kesepakatan. (AFP/REUTERS)