Para perempuan korban kekerasan di Kamboja dipuji atas keberanian mengungkapkan dan menempuh jalur hukum.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·3 menit baca
Seakan ada sejuta alasan yang melatarbelakangi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, terutama terhadap kaum perempuan. Makan malam yang terlambat dihidangkan, cuci pakaian yang belum selesai, bahkan juga hanya karena acar pendamping menu masakan yang tidak cukup asam.
Kamboja ingin agar kekerasan-kekerasan yang seperti sudah menjadi budaya itu berhenti.
Cerita kekerasan dalam rumah tangga sudah lama didengar oleh Rem Ran. Warga Kamboja pekerja konstruksi berusia hampir 40 tahun itu mendapati kejadian-kejadian kekerasan dalam rumah tersebut layaknya hal normal dalam keseharian.
Hingga 2007, misalnya, masih ditemukan dalam buku ajar sekolah di Kamboja bahwa perempuan tidak diperbolehkan membantah atau melawan pria atau suami sebagai bagian kode etik tradisional bangsa itu.
Semua pandangan tersebut berubah kala dirinya ambil bagian dalam tim laki-laki pembela hak perempuan yang digagas Pemerintah Kamboja. ”Saya telah melihat begitu banyak pemerkosaan dan kekerasan yang tidak masuk akal terhadap perempuan,” tutur Ran.
”Biasanya pihak berwenang mengabaikannya—mereka mengatakan ini masalah pribadi yang harus diserahkan kepada pasangan dengan segala cara—tetapi kami menjadikannya masalah kolektif. Kami meminta pihak berwenang harus menghentikannya.”
Ran adalah salah satu di antara 30 pria yang dilatih Gender and Development for Cambodia. Ini organisasi nirlaba yang memiliki misi mengidentifikasi dan membasmi kekerasan terhadap perempuan. Kini, Ran wajib bertindak ketika perselisihan rumah tangga terjadi di desanya.
Para pegiat kesetaraan jender telah mencatat peningkatan kesadaran atas hal itu di Kamboja dalam beberapa tahun terakhir. Kamboja berada di peringkat ke-89 pada Indeks Kesenjangan Jender Global Forum Ekonomi Dunia pada 2020. Pada 2016, Kamboja di posisi ke-112. Namun, masih saja ditemui kasus kekerasan berbasis jender, bahkan hingga menuai kecaman global, seperti pada 2020.
Pada Februari 2020, Perdana Menteri Hun Sen menyebutkan, perempuan mendorong kekerasan seksual. Dalam siaran langsung, ia mengatakan, perempuan mengenakan pakaian yang provokatif saat menjual pakaian sehingga memancing nafsu laki-laki. Lima bulan setelahnya, rancangan undang- undang Kamboja yang mengkriminalisasi warga terkait pengenaan pakaian yang dinilai tak sopan bocor ke media. RUU itu menunggu persetujuan sejumlah kementerian.
Jalan terjal tetap terasa di depan mata. Para aktivis di Kamboja tidak berhasil meminta Kementerian Urusan Perempuan untuk mengambil sikap setelah kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dihentikan dengan alasan guna melindungi martabat para perempuan itu sendiri. ”Martabat dimulai dengan keadilan,” kata Mu Sochua, yang memimpin kementerian itu dari tahun 1998 hingga 2004.
Perserikatan Bangsa-Bangsa menyerukan diakhirinya ”norma-norma sosial yang membenarkan kekerasan berbasis jender”. Termasuk di dalamnya adalah penghapusan Chbap Srey—berarti kode bagi perempuan—kode yang mewujud dalam sebuah puisi. Kode itu dinilai sebagai ”akar penyebab perempuan ada dalam posisi lemah di Kamboja”.
Kode itu telah diturunkan dari generasi ke generasi sejak abad ke-14. Kaum perempuan di Kamboja harus hafal isi puisi tersebut. Puisi itu mengajarkan perempuan untuk melayani, patuh, dan takut kepada suami mereka.
Kode itu mendikte bagaimana perempuan harus berpakaian dan berperilaku di depan umum. Pelanggaran atas kode-kode itu termasuk pelanggaran yang ”merusak martabat keluarga”.
Dalam situasi seperti itu, peluncuran rencana nasional Kamboja memerangi kekerasan terhadap perempuan dipandang dengan skeptis. Kemauan dan kemampuan negara itu membasmi kekerasan atas perempuan menemui jalan panjang dan terjal. (THOMSON REUTERS FOUNDATION/BEN)