Jual 50 Unit F-35 ke UEA, Trump Beri AS Rp 367 Triliun di Hari Terakhir Menjabat
Abu Dhabi pertama kali mengajukan penawaran membeli F-35 pada 2011 dan ditolak Presiden Barack Obama. Pada 2017, selepas Trump dilantik, UAE mengajukan penawaran lagi dan baru dikabulkan di hari terakhir jabatan Trump.
Oleh
Kris Mada
·3 menit baca
WASHINGTON, JUMAT — Donald Trump memasukkan kontrak bernilai sedikitnya Rp 367 triliun pada hari terakhir masa jabatannya sebagai Presiden AS, Rabu (20/1/2021). Uang itu berasal dari penjualan 50 jet tempur F-35 dan hingga 18 pesawat tanpa awak, dengan total senilai 26,27 miliar dollar AS, kepada Uni Emirat Arab.
Kontrak jual-beli persenjataan itu ditandatangani pada Rabu pagi atau beberapa jam sebelum masa jabatan Trump berakhir. Uni Emirat Arab (UEA) mempersiapkan dokumen kontrak lebih dari sepekan pada awal Januari 2021.
Penandatanganan kontrak itu terlambat dari harapan UEA yang ingin kontrak diteken pada Desember 2020. Perundingan kontrak butuh waktu, antara lain, karena membahas pilihan perlengkapan pesawat tempur generasi terbaru, waktu pengiriman, hingga pelatihan penggunaan pesawat-pesawat tersebut.
Waktu pengiriman pesawat-pesawat itu belum diketahui. Dalam usulan awal, UEA ingin pesawat-pesawat dikirim pada 2027.
UAE sudah lama menunjukkan keinginan membeli jet-jet tempur F-35. Abu Dhabi beralasan, mereka butuh memodernisasi 140 jet Mirage 2000 dan F-16 yang selama ini mereka miliki. Jet-jet itu dinyatakan sudah tua. Negara kaya di kawasan Arab Teluk itu kini membutuhkan jet-jet tempur pengganti yang lebih layak.
Abu Dhabi pertama kali mengajukan penawaran untuk membeli F-35 pada 2011 dan ditolak Presiden AS Barack Obama. Pada 2017, selepas Trump dilantik, UAE kembali mengajukan penawaran, dan belum ada jawaban.
UEA semakin ingin membeli F-35 setelah negara itu menjadi pangkalan pesawat tersebut selama perang koalisi internasional pimpinan AS melawan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Persetujuan Israel
Keinginan Abu Dhabi mendapat hasil setelah UEA setuju menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Sebelum Kesepakatan Ibrahim (Abraham Accord), dokumen perdamaian Israel dengan sejumlah negara Arab, ditandatangani, Israel keberatan dengan keinginan UEA memiliki F-35. Sampai sekarang, Israel merupakan satu-satunya negara di kawasan Timur Tengah yang mempunyai jet F-35 itu.
Setelah penandatanganan Kesepakatan Ibrahim pada September 2020, penolakan itu mereda sehingga terbuka jalan bagi Abu Dhabi membeli F-35. Abu Dhabi dan Washington pun mempercepat perundingan penjualan pesawat-pesawat itu.
Israel disebut setuju UEA mendapat F-35 asal AS memberi Israel akses lebih besar terhadap produk pertahanan AS. Selama ini, Washington selalu membuat pertahanan Tel Aviv lebih modern dibandingkan dengan negara lain di kawasan.
Washington setuju menjual 50 unit F-35 senilai 23,37 miliar dollar AS dan hingga 18 pesawat tanpa awak MQ-9B senilai 2,9 miliar dollar AS. Pada kurs Rp 14.000 per dollar AS, nilai kontrak itu mencapai Rp 367 triliun.
Selain ingin mendapatkan MQ-9B dan F-35, Abu Dhabi juga akan membeli EA-18G Growlers. Pesawat itu dikembangkan dari F/A-18. Growlers merupakan pesawat pengacak radar dan aneka perangkat pengacau sistem elektronika pada pertahanan lawan. Selama ini, hanya AS dan Australia yang mengoperasikan Growlers.
Senator Republikan, Roy Blunt, menyebut bahwa penjualan senjata ke UEA akan membantu upaya AS menghadapi ancaman Iran di kawasan. Sementara Senator Demokrat, Robert Menendez, setuju bahwa Iran memang ancaman. Walakin, belum jelas seperti apa ancaman militer dari Iran sampai harus dihadapi dengan F-35 dan pesawat tanpa awak.
”Apakah AS hanya bisa menjual ke UEA saja, padahal ada negara lain di kawasan itu yang juga ingin membeli? Yang akan terjadi malah kompetisi persenjataan,” ujar Menendez.
Senat sudah berupaya menolak penjualan pesawat-pesawat itu. Namun, upaya itu gagal sehingga kontrak penjualan ditandatangani. (AP/REUTERS)