Bom Besar Pertama di Baghdad dalam Tiga Tahun, Irak Antisipasi Kebangkitan NIIS
Bom bunuh diri besar pertama dalam tiga tahun mengguncang ibu kota Irak, Baghdad, menewaskan sedikitnya 32 orang dan 110 orang terluka. Cara serangan bom itu dilakukan mengingatkan warga Irak pada kelompok militan NIIS.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
BAGHDAD, JUMAT — Dua bom bunuh diri mengoyak ibu kota Irak, Baghdad, Kamis (21/1/2021), menewaskan sedikitnya 32 orang dan melukai ratusan orang lainnya. Besarnya skala dan dampak pengeboman itu mengingatkan kembali warga Baghdad saat serangan-serangan kelompok militan merajalela di wilayah mereka beberapa tahun lalu.
Bom bunuh diri di distrik komersial Bab Al-Sharqi tersebut merupakan serangan bom yang kedua di area itu. Peristiwa serupa terjadi pada tahun 2018. Saat itu, Perdana Menteri Irak Haidar al-Abadi baru saja mengumumkan kemenangan Irak atas kelompok militan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).
Menteri Kesehatan Irak Hassan Mohammed al-Tamimi mengatakan, Kamis, beberapa korban luka akibat serangan bom bunuh diri berada dalam kondisi serius. Ia menyebutkan, seluruh rumah sakit di ibu kota dikerahkan untuk merawat para korban yang terluka.
Pada Jumat dini hari tadi, kelompok NIIS mengklaim bertanggung jawab atas serangan bom tersebut. Melalui saluran komunikasi Telegram kelompok itu, mereka mengatakan telah mengirim dua pria yang meledakkan diri di Lapangan Tayaran, pusat kota Baghdad.
Juru bicara Komando Operasi Gabungan, Mayor Jenderal Tahsin al-Khafaji, mengatakan, peristiwa pengeboman brutal itu dilakukan oleh dua pelaku. Pelaku bom bunuh diri pertama sempat berteriak minta tolong dan mengatakan bahwa dirinya tengah sakit keras. Teriakan itu mendorong warga berkerumun di dekatnya. Saat itulah pelaku, menurut dia, meledakkan sabuk peledaknya.
”(Pengebom bunuh diri) pertama tiba, lalu menjatuhkan diri ke tanah dan mulai mengerang mengaku perutnya kesakitan, ia kemudian menekan tombol pemicu peledakan di tangannya. Bom meledak seketika,” ujar seorang pedagang jalanan yang tak bersedia menyebutkan namanya.
Pelaku kedua, menurut Khafaji, meledakkan diri tak lama kemudian. ”Ini adalah tindakan teroris yang dilakukan kelompok NIIS,” katanya.
Dia menambahkan, NIIS ingin membuktikan keberadaan mereka setelah mengalami banyak pukulan dalam operasi militer yang digelar untuk membasmi para anggota kelompok militan itu.
Dalam beberapa bulan terakhir, rakyat Irak menyaksikan serangan demi serangan yang dilakukan oleh kelompok NIIS dan sebagian kelompok milisi Syiah. Milisi Syiah pro-Iran secara rutin menggunakan roket dan mortir, menyasar target yang terafiliasi dengan Amerika Serikat, termasuk Kedutaan Besar AS di Zona Hijau Baghdad yang dijaga ketat.
Intensitas serangan mereka, bagaimanapun, telah menurun sejak gencatan senjata tidak resmi diumumkan oleh kelompok bersenjata yang didukung Iran pada Oktober 2020.
Gaya serangan hari Kamis mirip dengan yang biasa dilakukan kelompok NIIS di masa lalu. Namun, kelompok itu jarang bisa menembus ibu kota sejak ditaklukkan oleh pasukan Irak dan koalisi pimpinan AS pada 2017. Bagi sebagian warga Baghdad, serangan bom pada Kamis itu membawa kembali kenangan menyakitkan pada puncak perang jalanan sektarian Irak, ketika peristiwa pengeboman bunuh diri terjadi hampir setiap hari.
Setelah Pemerintah Irak mengumumkan kemenangan atas Irak, NIIS telah menunjukkan kemampuan melancarkan serangan yang semakin canggih di Irak utara. Di wilayah itu mereka masih mempertahankan keberadaan mereka. Pasukan keamanan Irak sering disergap dan menjadi sasaran serangan bom di daerah-daerah perdesaan Kirkuk dan Diyala. Peningkatan serangan terlihat pada musim panas lalu ketika para militan memanfaatkan fokus pemerintah dalam menangani pandemi virus korona.
Para kerabat dan keluarga korban pengeboman di Distrik Bab Al-Sharqi datang kembali ke lokasi kejadian pada sore hari, menjelang matahari terbenam dengan membawa peti mati.
Banyak pihak mempertanyakan pemilihan waktu penyerangan, terutama karena peristiwa itu terjadi sehari setelah Presiden AS Joe Biden dilantik. Koalisi pasukan pimpinan AS baru-baru ini menghentikan aktivitas pertempuran. Washington secara bertahap menarik kehadiran pasukannya di Irak, memicu kekhawatiran kebangkitan kelompok NIIS.
Serangan bom pada Kamis itu juga terjadi selang dua hari setelah Pemerintah Irak dengan suara bulat sepakat menunda pelaksanaan pemilu, dari sebelumnya Juni menjadi Oktober 2021, berdasarkan rekomendasi komisi pemilihan umum Irak. Perdana Menteri Mustafa al-Khadimi dalam pernyataannya seusai pengumuman mundurnya pemilu Irak menyatakan, penundaan sekitar empat bulan itu karena alasan teknis. Namun, dia dan komisi pemilihan umum Irak tidak merinci apa saja kendala teknis yang dihadapi.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dengan keras mengecam keras serangan Baghdad dan mengimbau rakyat Irak ”untuk menolak setiap upaya menyebarkan ketakutan dan kekerasan yang bertujuan merusak perdamaian, stabilitas, dan persatuan”. Pernyataan itu disampaikan Juru Bicara Sekretariat PBB Stephane Dujarric.
Guterres meminta Pemerintah Irak memastikan bahwa mereka yang berada di balik kejahatan mengerikan ini segera diidentifikasi dan dibawa ke pengadilan.
Pesan dari Vatikan
Dari Vatikan, Pemimpin umat Katolik sedunia, Paus Fransiskus , mengecam serangan di Baghdad sebagai tindakan brutal yang tidak masuk akal. Paus juga mendesak warga Irak untuk terus bekerja menggantikan kekerasan dengan persaudaraan dan perdamaian.
”Yang Mulia Paus Francis sangat sedih mengetahui serangan bom di Lapangan Tayaran di Baghdad pagi ini. Dalam menyesalkan tindakan brutal yang tidak masuk akal ini, dia berdoa untuk para korban yang meninggal dan keluarga mereka, untuk yang terluka dan untuk personel darurat yang hadir,” kata Vatikan dalam pernyataan yang dikirim ke Presiden Irak Barham Saleh atas nama Paus.
Pernyataan itu juga menyebutkan bahwa Paus berdoa agar ”semua akan terus bekerja untuk mengatasi kekerasan dengan persaudaraan”.
Telegram belasungkawa yang dikirimkan Paus Fransiskus kepada Presiden Irak Bahram Saleh sangat menyentuh hati. Paus dijadwalkan mengunjungi Irak pada awal Maret mendatang untuk mencoba mendorong komunitas Kristen di negara yang telah hancur karena peperangan itu.
Paus yang berusia 84 tahun ini direncanakan berkunjung ke Irak antara 5 dan 8 Maret mendatang. Selain mengunjungi Baghdad, ia juga akan singgah di kota Mosul. Vatikan minggu ini membuka proses akreditasi media untuk kunjungan tersebut. Paus memperingatkan bahwa kunjungan mereka ke Irak bisa dibatalkan karena pandemi virus korona.
Mengingat bagaimana penyebaran Covid-19 yang memaksanya membatalkan perjalanan luar negerinya tahun lalu, dia mengatakan, bulan ini, ”Saya tidak tahu apakah perjalanan yang akan datang ke Irak akan terjadi.”
Dia menambahkan, ”Saya tidak bisa dalam semua hati nurani mendorong pertemuan.” (AP/AFP)