Komunitas internasional mendesak agar Myanmar mematuhi norma-norma demokrasi dan menghormati hasil pemilu, 8 November 2020 lalu.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
NEW YORK, JUMAT - Komunitas internasional mengkhawatirkan perkembangan politik di Myanmar dengan kemungkinan terjadinya kudeta. Belasan perwakilan negara di Myanmar termasuk delegasi Amerika Serikat dan Uni Eropa mendesak Myanmar agar mematuhi norma-norma demokrasi dan menghormati hasil pemilu, 8 November lalu.
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres, Jumat (29/1/2021), mengkhawatirkan ancaman militer dan ancaman kudeta yang membayangi rencana dimulainya parlemen. Guterres meminta semua pihak menghentikan segala bentuk hasutan atau provokasi, menunjukkan kepemimpinan, mematuhi norma demokrasi, dan menghormati hasil pemilu.
"Semua perselisihan terkait pemilu harus diselesaikan melalui mekanisme hukum yang sah," kata Guterres.
Pernyataan senada dikemukakan negara-negara barat dalam pernyataan tertulis yang ditandatangani kedutaan besar Australia, Inggris, Kanada, Amerika Serikat, dan Uni Eropa. "Kami menentang upaya apapun yang mencoba mengganggu hasil pemilu atau menghalangi transisi demokratik Myanmar," sebut pernyataan itu.
Ketegangan hubungan antara pemerintah sipil dan militer memicu kekhawatiran akan adanya kudeta paska pemilu yang dituduh militer curang. Militer Myanmar berencana akan mengambil alih kekuasaan jika keluhan mereka terhadap pemilu tidak ditanggapi. Panglima Militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing menyatakan adanya opsi membatalkan konstitusi negara setelah permintaan militer agar komisi pemilu Myanmar merilis daftar pemilih dalam pemilu tidak dipenuhi.
Selama beberapa pekan terakhir, militer menuduh ada kecurangan dalam pemilu yang dimenangkan telak oleh partai berkuasa Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Aung Sam Suu Kyi, Penasihat Negara Myanmar. Militer menuduh ada duplikasi nama dalam daftar pemilih. Namun, komisi pemilu menyatakan pemilu berlangsung jujur, adil, bebas, kredibel, dan merefleksikan amanat rakyat. Meski membantah tuduhan pemilu curang, komisi pemilu mengakui ada "cacat" dalam daftar pemilih pada pemilu sebelumnya dan saat ini masih menyelidiki 287 keluhan.
Pemilu November itu merupakan pemilu demokratis kedua Myanmar sejak keluar dari kekuasaan diktator militer selama 49 tahun. Dengan memenangi pemilu, pemerintahan Aung San Suu Kyi akan berlanjut hingga lima tahun ke depan. Anggota-anggota parlemen yang terpilih akan mulai bersidang di parlemen, 1 Februari mendatang.
Hapus konstitusi
Sebagai arsitek konstitusi Myanmar tahun 2008, militer Myanmar yang disebut Tatmadaw, menganggap mereka sebagai penjaga persatuan nasional dan konstitusi. Militer juga masih memegang peran kuat dalam sistem politik Myanmar karena memiliki jatah 25 persen kuota kursi parlemen dan masih menguasai pertahanan keamanan, kementerian dalam negeri dan perbatasan.
Kolumnis, San Yu Kyaw, menilai ambisi politik para pemimpin militer belum tercapai sehingga membuat mereka mengeluarkan tuduhan pemilu curang. Bagi militer, pembagian kekuasaan dengan pemerintahan sipil tidak cukup. Konstitusi membuat militer sulit untuk ikut campur dalam pemerintahan.
Militer hanya akan bisa mengambil alih kekuasaan jika ada situasi ekstrem atau krisis politik yang menyebabkan perpecahan persatuan dan solidaritas nasional. Namun, pengambilalihan kekuasaan itu pun hanya bisa dilakukan jika negara dalam kondisi darurat dan kondisi darurat hanya bisa dinyatakan oleh presiden dari sipil. Jika hendak mengambil alih kekuasaan dengan paksaan, konstitusi yang mereka buat sendiri akan terlanggar.
Pengamat politik di Yangon dan mantan tahanan politik Myanmar, Khin Maung Zaw, menilai militer menunjukkan gelagat hendak mencampuri politik. "Di satu sisi militer menolak hasil pemilu dan pemerintah NLD dan di saat yang sama mereka mau menggalang dukungan rakyat untuk menghapus konstitusi," ujarnya. (REUTERS/AFP/AP/LUK)