Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Terpilih Amerika Serikat, Joe Biden dan Kamala Harris, akan menjadi penanda baru arah negara adidaya itu selama empat tahun ke depan.
Oleh
Mahdi Muhammad
·6 menit baca
WASHINGTON, SELASA — Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Amerika Serikat terpilih, Joe Biden dan Kamala Harris, pada Rabu (20/1/2021) atau Kamis (21/1/2021) dini hari waktu Indonesia akan menjadi penanda baru arah negara adidaya itu selama empat tahun ke depan. Peralihan kekuasaan dari pasangan Donald Trump-Mike Pence dari Partai Republik kepada Biden-Harris dari Partai Republik, yang tidak mulus, penuh pergolakan, dan bahkan hingga jatuh korban jiwa, ini juga menjadi penanda baru segregasi politik yang makin tajam di antara warga AS sendiri.
Gedung Capitol, lokasi tradisional pengambilan sumpah jabatan presiden AS, yang sempat diduduki oleh massa pendukung Trump pada Rabu (6/1/2021), sudah disulap menjadi lebih berwarna. Puluhan ribu bendera terpasang di sekeliling Capitol dan di dalam kompleks National Mall yang biasanya, dalam setiap upacara pelantikan, dipenuhi tamu undangan dan bahkan warga AS sendiri.
Sehari sebelum pelantikan, tepatnya Selasa malam waktu setempat, keluarga Biden dan Harris bersama-sama akan menyalakan 400-an lampu di sekeliling kolam National Mall sebagai penghormatan terhadap lebih dari 400.000 warga AS yang meninggal dunia karena Covid-19. Pada saat yang bersamaan, lampu-lampu pada gedung-gedung bersejarah di seluruh wilayah AS, termasuk Gedung Empire State di New York, Patung Liberty, akan menyala untuk memberi penghormatan serupa.
Meskipun Capitol telah bersolek untuk pelantikan, menutupi jejak-jejak tercorengnya demokrasi AS oleh massa pendukung Trump, ketegangan masih terasa di seluruh sudut ibu kota. Puluhan ribu pasukan Garda Nasional terpaksa diturunkan untuk mencegah kekacauan, adalah jumlah terbesar yang pernah dilibatkan dalam pelantikan presiden AS.
Tak cukup hanya pasukan Garda Nasional serta 2.300-an anggota Kepolisian Capitol yang menjaga keamanan lokasi pelantikan dan sudut-sudut Kota Washington, Pentagon juga menurunkan sekitar 750 personel tambahan untuk membantu mengamankan jalannya pelantikan. Mengutip laman Politico, personel yang diturunkan Pentagon memiliki kemampuan khusus untuk menangani senjata kimia, biologis, nuklir, dan bahan peledak lainnya.
Meskipun pengamanan berlapis, bagi seorang warga, Katie Henke (40), Washington terasa gelisah. Dia sendiri mengaku khawatir dengan kondisi keamanan yang berlapis. Bahkan, untuk berjaga-jaga, Henke mengaku telah menyiapkan sebuah tas ransel yang berisi perlengkapan pribadi dan pakaian untuk kondisi darurat. Tas itu bisa disandangnya sewaktu-waktu jika seandainya Henke merasa harus meninggalkan tempat tinggalnya.
”Ini benar-benar menakutkan. Antara pandemi dan Trump, saya merasa negara kita berada pada titik lemah dan rentan. Dan, kami tahu ada kekuatan di dalam dan di luar negeri yang melihat kerentanan itu sebagai peluang untuk melakukan sesuatu,” katanya.
Kekhawatiran terjadinya sesuatu hal menjelang dan sepanjang proses pelantikan membuat Wali Kota Washington Muriel Bowser meminta penduduk untuk tetap tinggal di rumah atau menjauh dari kota pada hari pelantikan.
Dinas Rahasia AS memperketat keamanan di dalam dan di sekitar Capitol seminggu lebih awal dalam persiapan, dan pusat kota pada dasarnya diisolasi dengan jalan-jalan diblokir, pagar tinggi dipasang, dan puluhan ribu Pengawal Nasional dan petugas penegak hukum lainnya ditempatkan di sekitar area tersebut.
Sebuah kebakaran di tempat tinggal tunawisma, sekitar 1 mil (1,8 kilometer) dari lokasi pelantikan, membuat acara geladi bersih terganggu. Petugas keamanan mengevakuasi para peserta geladi bersih. ”Ini bukan latihan,” kata seorang petugas keamanan.
Peningkatan jumlah keamanan di Washington, terutama di lokasi pelantikan, tidak terlepas dari gejolak politik yang terjadi pasca-pemilihan presiden, 3 November 2020. Trump dan pendukungnya menolak hasil pemilu yang dimenangi Biden-Harris. Sejumlah pengadilan yang menyidangkan gugatan Trump atas hasil pemungutan suara, dan dimenangi Biden, ditolak. Bukti-bukti kecurangan yang diklaim dilakukan oleh Biden dan Partai Demokrat, termasuk permasalahan penggunaan hak suara melalui surat, ditolak oleh pengadilan. Bahkan, di tingkat Mahkamah Agung, dengan mayoritas hakim agung merupakan pilihan Trump, gugatannya ditolak.
Puncak penolakan Trump adalah ketika dia menghasut massa pendukungnya yang berkumpul di halaman Gedung Capitol untuk mencoba menghentikan pengesahan hasil Dewan Elektoral oleh Senat. Penyerbuan dan pendudukan oleh massa Trump terhadap Gedung Capitol menghentikan pengesahan kemenangan Biden. Namun, hal itu hanya sementara. Ketua Senat, yang dijabat Wapres Pence, kemudian mengesahkan kemenangan Dewan Elektoral bagi Biden dan sekaligus memastikan pria yang akan berusia 77 tahun pada tahun ini menjadi Presiden ke-46 AS.
Tindakan Trump sendiri berakibat pemakzulan kedua baginya selama menjabat sebagai presiden, setelah pemakzulan pertama pada Desember 2019. Berbeda dengan pemakzulan pertama, pemakzulan kali ini didukung sebagian anggota Partai Republik, termasuk senator senior dan berpengaruh di Senat, Mitch McConnell.
Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab mengatakan, terpilihnya dan dilantiknya Biden memperlihatkan bahwa demokrasi tidak boleh terganggu dengan kelompok minoritas yang mendewakan kekerasan. ”Berlanjutnya kegiatan di Gedung Capitol untuk mengesahkan kemenangan Biden merupakan pesan yang esensial bahwa keinginan demokratis rakyat AS tidak dapat ditantang oleh kekerasan minoritas,” kata Raab.
Meskipun ketegangan meningkat, Wakil Presiden AS terpilih, Kamala Harris, menyatakan, dia menantikan hari pelantikan itu. ”Saya akan berjalan ke sana, ke momen itu, dengan bangga, dengan kepala terangkat dan bahu saya ke belakang,” kata Harris di sela-sela kegiatan di sebuah bank makanan.
Multilateralisme
Anthony Blinken, calon yang dipilih Biden untuk menempati posisi Menteri Luar Negeri, menyatakan, pembaruan aliansi dan menormalisasi hubungan dengan sejumlah negara sekutu menjadi penting pasca-Trump. ”Kami dapat merevitalisasi aliansi inti kami, kekuatan pengaruh AS akan berlipat ganda di seluruh dunia. Bekerja bersama-sama, AS akan berada pada posisi yang jauh lebih baik melawan ancaman yang ditimbulkan oleh Rusia, Iran, dan Korea Utara,” kata Blinken.
Wakil Blinken di Departemen Luar Negeri Wendy Sherman mengakui, pemerintahan Biden harus bekerja ekstra keras untuk memulihkan pandangan negara-negara lain, termasuk negara sekutunya, terhadap kemampuan AS sebagai ”aktor utama” politik global, termasuk dalam menghadapi Iran.
”Kami akan bekerja keras dalam hal ini karena kami telah kehilangan kredibilitas. Kami dipandang lebih lemah setelah Trump,” kata Sherman. Salah satu prioritas utama dalam kabinet Biden adalah membawa Iran kembali ke meja perundingan dan mematuhi kesepakatan JCPOA atau Rencana Aksi Komprehensif Bersama 2015 dengan menawarkan sejumlah keringanan sanksi kepada negara itu dan imbalan soal pembatasan bahan, perlengkapan, dan proses pengayaan nuklirnya.
Revitaliasi aliansi seperti yang diutarakan Blinken dan Sherman disepakati oleh analis senior CSIS, Anthony H Cordesman, khususnya dengan Uni Eropa dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Menurut Cordesman, diplomasi perisakan yang dijalankan Trump dan Mike Pompeo karena keengganan negara-negara Eropa membelanjakan anggaran lebih besar untuk peningkatan kemampuan militernya, gaya Trump dalam berhubungan dengan Eropa dan NATO harus segera diakhiri.
”Keterlibatan AS dalam NATO sejak 1960-an dan kemunduran yang terjadi hanya dalam waktu empat tahun harus segera diakhiri. Waktu yang lama untuk membangun kepercayaan dan keyakinan bersama dan diakhiri hanya dalam waktu empat tahun harus diakhiri secepatnya,” kata Cordesman.
Tentang Iran, Cordesman sepakat bahwa membawa Iran ke meja perundingan adalah cara agar semua pihak mendapatkan hasil yang positif. Kebijakan garis keras duet Trump-Pompeo dalam menghadapi Iran, menurut Cordesman, membuat Iran bersikap lebih ekstrem. ”Iran yang ’moderat’ mungkin tidak semoderat yang dibayangkan dan diinginkan. Namun, hal itu lebih baik ketimbang Iran yang ekstrem,” kata Cordesman.
Sekretaris Jenderal NATO Jens Stoltenberg pun berharap untuk bekerja sama dengan Biden dan kabinetnya. ”Presiden terpilih sangat berkomitmen untuk kerja sama trans-atlantik, dengan NATO. Saya tahu bahwa dia sangat mendukung gagasan untuk lebih memperkuat kerja sama Amerika Utara dan Eropa,” kata Stoltenberg. (AP/AFP/Reuters)