Tahun 2021 menjadi babak baru dalam perang global melawan Covid-19. Upaya para peneliti dunia berbulan-bulan mengembangkan vaksin kini sudah mulai terlihat hasilnya dan menjadi tambahan amunisi pengendalian pandemi.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·5 menit baca
Dengan total kasus Covid-19 global mencapai 93,3 juta dan kasus meninggal dua juta per 15 Januari 2021, kehadiran vaksin bak cahaya di ujung lorong yang menumbuhkan optimisme. Sejumlah negara telah mengeluarkan izin penggunaan darurat beberapa vaksin Covid-19 yang selesai diuji klinis fase III. Sebagian orang pun beranggapan bahwa vaksin bisa menyelesaikan pandemi dan memulihkan ekonomi.
Satu hal yang selalu harus diingat adalah bahwa vaksin saja bukanlah peluru perak yang bisa menghentikan pandemi. Respons pandemi Covid-19 memerlukan solusi berlapis yang komprehensif, dan vaksin hanyalah salah satunya. Tanpa dibarengi jumlah tes yang masif, pelacakan kasus yang agresif, dan isolasi serta penggunaan masker, jaga jarak, dan cuci tangan yang disiplin, pemberian izin darurat penggunaan vaksin Covid-19 terlihat seperti langkah putus asa negara dalam mengendalikan pandemi.
Our World in Data mencatat, hingga 12 Januari 2021 sebanyak 29,4 juta dosis vaksin Covid-19 telah diberikan di seluruh dunia. Sekitar sepertiga dari jumlah itu, yaitu 10 juta dosis vaksin, telah diberikan di China, disusul oleh Amerika Serikat dengan 9,3 juta dosis. Adapun Inggris yang telah melakukan vaksinasi Covid-19 sejak 8 Desember 2020 telah memberikan 2,8 juta dosis vaksin hingga 11 Januari 2021.
Empat negara berikutnya dengan jumlah vaksin Covid-19 terbanyak yang sudah diberikan adalah Israel (1,93 juta dosis), Uni Emirat Arab (1,39 juta dosis), Italia (800.730 dosis), dan Rusia (800.000 dosis).
Salah satu vaksin Covid-19 yang sudah dipakai adalah CoronaVac yang dikembangkan oleh perusahaan China, Sinovac Biotech Ltd. Indonesia menjadi negara pertama di luar China yang memberikan izin penggunaan darurat CoronaVac. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan vaksin itu aman dan memiliki efikasi sebesar 65,3 persen berdasarkan uji klinis di Bandung, Jawa Barat. Vaksin tersebut diberikan dua dosis dengan interval pemberian dua minggu.
Pada Kamis (14/1/2021), Turki menyusul Indonesia menggelar vaksinasi pada tenaga kesehatan dengan CoronaVac. Filipina dan Thailand dikabarkan kemungkinan juga memberikan izin penggunaan darurat CoronaVac, Februari nanti.
Berbeda dengan vaksin Covid-19 dari Pfizer-BioNTech dan Moderna yang menggunakan teknik terkini, messenger-RNA (mRNA), CoronaVac dikembangkan melalui teknik yang lebih “tradisional,” yakni dengan teknik inaktivasi virus. “CoronaVac menggunakan metode yang lebih \'tradisional\' yang telah berhasil pada vaksin lain, seperti vaksin rabies,” kata Associate Professor Luo Dahai dari Nanyang Technological University seperti dikutip BBC, Kamis (14/1).
“Vaksin mRNA adalah teknik pengembangan vaksin baru yang belum memiliki contoh berhasil ketika dipakai di masyarakat,” ujar Luo.
Metode inaktivasi
Vaksin Covid-19 dengan teknik ini dikembangkan dari virus korona yang dimatikan atau dilemahkan sehingga virus korona tidak bisa bereplikasi ketika vaksin itu disuntikkan ke tubuh manusia. Ketika disuntikkan ke tubuh manusia, vaksin tersebut akan memicu respons kekebalan tubuh.
Metode inaktivasi sudah digunakan lebih dari satu abad. Jonas Edward Salk menggunakan cara ini untuk mengembangkan vaksin polio pada tahun 1950-an. Cara ini juga menjadi basis pengembangan vaksin rabies dan hepatitis A.
Untuk membuat CoronaVac, para peneliti di Sinovac memulai dengan mengumpulkan sampel virus korona dari pasien di China, Inggris, Italia, Spanyol, dan Swiss. Sampel virus dari China akhirnya digunakan sebagai basis pengembangan vaksin mereka. Para peneliti lalu membiakkan virus itu di sel ginjal monyet sebelum kemudian mematikan dan memprosesnya menjadi vaksin.
Sinovac mulai mengembangkan CoronaVac pada Januari 2020. Pada Juni 2020, Sinovac memulai uji klinis fase I dan II dengan 743 partisipan untuk melihat aspek keamanan CoronaVac. Hasilnya, tidak ditemukan efek samping parah. Hasil detail uji klinis itu dipublikasikan di jurnal kesehatan The Lancet pada November 2020 yang memperlihatkan calon vaksin Covid-19 ini mampu memicu antibodi yang cukup.
Pada Juli 2020, Sinovac memulai uji klinis fase III di Brasil, kemudian juga di Indonesia dan Turki. Uji klinis digelar di luar China karena pada saat itu kasus aktif Covid-19 di China sudah mulai jauh berkurang.
Ketika CoronaVac baru diuji klinis fase III, pada bulan itu pemerintah China telah memberikan izin penggunaan darurat CoronaVac. Pada Oktober, otoritas kesehatan Kota Jiaxing mengumumkan telah memberikan CoronaVac kepada warga dengan pekerjaan berisiko, termasuk tenaga kesehatan, pengawas pelabuhan, dan pegawai pemerintah lainnya.
Akhir Desember 2020, Turki mengumumkan hasil awal uji klinis fase III CoronaVac menunjukkan efikasi 91,25 persen dari sejumlah kecil partisipan, jauh lebih tinggi dari perkiraan efikasi di Brasil yang disebutkan hanya di atas 50 persen.
Pada 7 Januari 2021, otoritas kesehatan di Negara Bagian Sao Paulo, Brasil menyebutkan bahwa efikasi CoronaVac yang diuji klinis di sana sebesar 78 persen. Disebutkan pula, CoronaVac mencegah partisipan dari mengalami infeksi Covid-19 yang serius dan komplikasi sedang.
Sayangnya, Direktur Butantan Institute Dimas Covas yang melakukan uji klinis tidak memberikan data rinci tentang studi mereka, termasuk berapa partisipan dari setiap kelompok pengujian yang tertular Covid-19.
Pada 13 Januari 2021, Butantan Institute menambahkan bahwa efikasi keseluruhan CoronaVac adalah 50,4 persen atau tipis di atas garis batas yang disyaratkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bagi vaksin yang efektif untuk digunakan. Fakta itu bisa berimplikasi signifikan bagi diplomasi vaksin China. Setidaknya 10 negara telah memesan 380 juta dosis CoronaVac.
CoronaVac, yang dikembangkan dengan teknik inaktivasi virus, memiliki kelebihan dibandingkan vaksin Covid-19 dengan mRNA, yaitu bisa disimpan pada lemari es standar dengan suhu 2-8 derajat celsius. Ini akan memudahkan penyimpanan dan pendistribusian, terutama di negara-negara dengan infrastruktur rantai dingin yang terbatas. Hal itu berbeda dengan vaksin Covid-19 mRNA dari Pfizer-BioNTech dan Moderna yang harus disimpan dalam suhu -70 derajat celsius dan -20 derajat celsius.
Namun, sejumlah pakar menyebut bahwa proses inaktivasi membuat potensi khasiat vaksin rendah, ditandai dengan efikasi yang rendah, sehingga respons kekebalan tubuh yang dipicunya tidak berlangsung lama. Ini berarti negara yang menggunakan vaksin ini butuh waktu lebih lama untuk mencapai kekebalan kelompok yang cukup.
“Ini salah satu alasan Amerika dan Eropa tidak memilih teknologi lama ini,” kata John Moore, ahli vaksin dari Cornell University, seperti dikutip New York Times, 13 Januari 2021. “Mobil Model T Ford mungkin bisa membawa kita dari Wuhan ke Beijing, tetapi saya lebih memilih Tesla.”
Dengan penyebaran strain baru virus korona yang cepat, Epidemiolog dari Griffith University, Australia, Dicky Budiman menilai bahwa masalah ini lebih bisa dijawab oleh vaksin Covid-19 dengan teknik mRNA dibandingkan vaksin Covid-19 dengan teknik inaktivasi.
Dicky menambahkan, ketika izin darurat vaksinasi sudah diberikan bukan berarti proses pengembangan vaksin telah selesai. Ada banyak pertanyaan yang masih harus dijawab seputar vaksin Covid-19. Begitu pula ketika vaksinasi sudah dilakukan tidak berarti pandemi akan segera berakhir. “Belum ada pandemi yang selesai dengan vaksinasi,” katanya.
Oleh karena itu, publik sebaiknya bijak mengelola ekspektasi. Meski vaksinasi sudah digelar, jika protokol kesehatan sederhana tak dijalankan, begitu pula tes, lacak, dan isolasi tidak serius dilakukan, pandemi akan berlangsung lama.