Pebisnis Jepang Tuntut Suga Gandakan Target Energi Terbarukan
Jepang menargetkan 24 persen dari total energinya pada 2030 berasal dari sumber energi terbarukan. Sumber-sumber energi itu berasal dari tenaga surya, angin, dan energi terbarukan lainnya.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
TOKYO, SENIN — Sejumlah perusahaan besar Jepang, mulai dari Sony, Panasonic hingga Nissan, pada Senin (18/1/2021) mendesak Pemerintah Jepang membuat target energi terbarukan lebih ambisius, yakni dua kali lipat, tahun 2030. Misi energi terbarukan jangka pendek Jepang telah lama dikritik karena tertinggal sekalipun Perdana Menteri Yoshihide Suga tahun lalu menetapkan batas waktu 2050 bagi Jepang untuk benar-benar netral karbon.
Jepang saat ini menargetkan 24 persen dari total pemenuhan energinya tahun 2030 berasal dari energi terbarukan. Sumber-sumber energi itu berasal dari tenaga surya, angin, dan energi terbarukan lainnya. Target itu ditetapkan tiga tahun lalu dan akan segera dinilai kembali saat pemerintah merevisi strategi energinya.
Sekelompok 92 perusahaan yang dikenal sebagai Japan Climate Initiative pada awal pekan ini mendesak Pemerintah Jepang untuk menggandakan target total pemenuhan energi via energi terbaru itu menjadi 40-50 persen. Banyak perusahaan terbesar di Jepang menandatangani petisi. Selain perusahaan di atas, ikut bergabung juga manajemen Fujifilm hingga Toshiba.
Di luar perusahaan teknologi dan otomotif, perusahaan-perusahaan asuransi, makanan, dan minuman juga ada di dalam daftar. ”Agar Jepang dapat memenuhi tanggung jawabnya untuk menjadi salah satu pemimpin dalam upaya global (melawan perubahan iklim), target tersebut harus jauh lebih ambisius,” kata mereka dalam sebuah pernyataan.
”Target yang ambisius akan merangsang penyebaran energi terbarukan, dan perusahaan Jepang akan dapat memainkan peran yang lebih besar dalam lingkungan bisnis global, di mana dekarbonisasi semakin cepat.”
Penggunaan energi terbarukan Jepang baru mencapai sekitar 17 persen pada 2017. Sejumlah proyeksi menyatakan, negara itu telah mencapai target penggunaan energi terbarukan untuk tahun 2030 itu pada tahun lalu.
Penggunaan energi terbarukan Jepang baru sekitar 17 persen pada 2017. Sejumlah proyeksi menyatakan, negara itu telah mencapai target penggunaan energi terbarukan untuk tahun 2030 itu pada tahun lalu. Hal itu terutama dipengaruhi oleh kombinasi pertumbuhan di sektor energi hijau dan penurunan permintaan atas energi terkait pandemi Covid-19.
Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun 2019 menunjukkan, Jepang telah berinvestasi senilai 16,5 miliar dollar AS untuk energi terbarukan pada 2019 itu. Hal itu menjadikan negara itu sebagai investor terbesar keempat di dunia di sektor itu. Namun, laporan itu juga menunjukkan bahwa nilai investasi itu masih jauh di bawah nilai investasi asal China, Amerika Serikat, dan Eropa.
Akan tetapi, hingga kini juga Jepang masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil. Kondisi itu terjadi, bahkan, setelah muncul kemarahan publik atas kerusakan reaktor nuklirnya di Fukushima tahun 2011 lalu. Jepang lalu berjuang untuk mengurangi emisi karbon sejak bencana tersebut. Sepertiga dari total pembangkit listrik disuplai oleh batubara sebagai bahan bakarnya dan hampir 40 persen oleh pembangkit listrik tenaga LNG.
Ketika Suga menyatakan pada bulan Oktober lalu soal target Jepang akan netral karbon pada tahun 2050, dia menjadi Perdana Menteri Jepang pertama yang menetapkan garis waktu tertentu dalam upaya negara tersebut untuk menjadi negara bebas emisi karbon. Namun, menurut Japan Times, ambisi itu masih terlalu tinggi. Dunia perlahan-lahan mengambil langkah konkret untuk mengatasi krisis iklim. Jepang didorong untuk mengejar ketertinggalannya dari negara lain.
Jepang rentan terhadap perubahan iklim seperti negara lain di dunia. Musim topan 2019 adalah yang paling merugikan dalam catatan, diikuti oleh kondisi yang mirip setahun sebelumnya. Gelombang panas yang menyengat juga membuat ribuan orang dirawat di rumah sakit di seluruh Jepang pada 2018 dan 2019, sementara rekor curah hujan pada periode itu memaksa jutaan orang mengungsi dari rumah mereka.
”Topan yang seharusnya (menghantam) hanya sekali dalam 100 tahun tampaknya melanda Jepang setiap tahun,” kata Soma Kondo, juru bicara Climate Youth Japan. ”Saya pikir lebih banyak kerusakan akan membuat semua negara khawatir tentang pemanasan global.”
Banyak dari aspek perubahan iklim bukan lagi proyeksi, melainkan kenyataan. Pada tahun 2018, Kementerian Lingkungan Hidup Jepang melaporkan bahwa suhu tahunan yang tercatat di Jepang meningkat lebih cepat daripada rata-rata global. Satu kali dalam lima tahun secara rata-rata Jepang juga mengalami gelombang panas. Laporan tersebut juga mencatat lebih banyak jumlah hujan lebat harian, lebih sedikit hari hujan secara keseluruhan, dan pengurangan kedalaman salju sekitar 13 persen per dekade. (AFP)