Ada dua cara untuk mencopot Presiden AS Donald Trump dari jabatannya. Dua hal itu adalah melalui Amandemen ke-25 Konstitusi AS dan pemakzulan yang diikuti dengan dukungan keputusan Senat.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
WASHINGTON, RABU — Penyerbuan dan pendudukan Gedung Capitol oleh pendukung Donald Trump pada Rabu (6/1/2021) telah mendorong seruan pencopotan dirinya dari kursi kepresidenan Amerika Serikat sebelum presiden terpilih Joe Biden dilantik pada 20 Januari 2021. Trump menjadi presiden AS pertama dalam sejarah yang dimakzulkan sebanyak dua kali dalam satu periode kepemimpinan.
Ada dua cara untuk mencopot Presiden Trump dari jabatannya, yakni Amandemen ke-25 Konstitusi AS dan pemakzulan diikuti dengan dukungan Senat. Dalam skenario mana pun, Wakil Presiden Mike Pence akan mengambil alih sampai pelantikan Biden selesai digelar. Sebuah sumber yang mengetahui upaya tersebut mengatakan, telah ada beberapa diskusi awal di antara beberapa anggota kabinet dan sekutu Trump tentang penerapan Amandemen ke-25 itu.
Amandemen ke-25 membahas suksesi presiden dan ketidakmampuannya dalam menjalankan tugas-tugas hariannya. Amandemen itu diratifikasi pada 1967 dan diadopsi setelah pembunuhan Presiden John F Kennedy pada 1963. Bagian 4 dalam amandemen itu membahas situasi ketika seorang presiden tidak dapat melakukan pekerjaannya, tetapi tidak mengundurkan diri secara sukarela.
Sejumlah ahli berpendapat, para perancang Amandemen ke-25 dengan jelas menetapkan bahwa aturan itu untuk diterapkan ketika seorang presiden tidak mampu karena penyakit fisik atau mental. Beberapa pakar lain juga berpendapat bahwa aturan tersebut juga bisa berlaku secara lebih luas untuk seorang presiden yang tidak layak untuk menjabat.
Jika Amandemen ke-25 itu diberlakukan dalam masa kepresidenan Trump, itu berarti Wapres Pence dan mayoritas Kabinet Trump perlu menyatakan bahwa Trump tidak dapat melakukan tugas kepresidenan dan memecatnya. Dengan skenario itu, Pence akan mengambil alih kekuasaan.
Terkait pemakzulan, meskipun membutuhkan waktu persidangan yang cukup panjang, secara teori dapat dilakukan. Lalu, dapatkah Trump dimakzulkan dan sekaligus diberhentikan? Jawabannya adalah bisa.
Kerap kali dipahami bahwa pemakzulan semata menunjuk pada pencopotan presiden dari jabatannya. Faktanya, pemakzulan hanya mengacu pada Dewan Perwakilan Rakyat, majelis rendah Kongres AS. Lembaga itu dapat mengajukan tuntutan karena menilai seorang presiden terlibat dalam ”kejahatan atau pelanggaran ringan”. Hal ini mirip dengan dakwaan dalam kasus pidana.
Bisakah Trump dimakzulkan dan sekaligus diberhentikan? Jawabannya adalah bisa.
Saat mayoritas anggota DPR sepakat mengajukan dakwaan atau dikenal sebagai pasal pemakzulan, selanjutnya proses itu akan beralih ke Senat. Majelis tinggi itu bakal mengadakan persidangan untuk menentukan kesalahan sang presiden. Konstitusi AS mensyaratkan suara dua pertiga dari total anggota Senat untuk memvonis dan memberhentikan seorang presiden.
Sejarah
Business Insider melaporkan asal-usul pemakzulan dalam dunia politik AS berasal dari sejarah konstitusional Inggris. Proses tersebut berkembang dari abad ke-14 sebagai cara parlemen untuk meminta pertanggungjawaban para petinggi kerajaan atas tindakan publik mereka. Pemakzulan itu bervariasi dari pengadilan perdata atau pidana yang secara ketat melibatkan ”perilaku buruk pejabat publik atau penyalahgunaan, atau pelanggaran kepercayaan publik”.
Konstitusi masing-masing negara bagian di AS telah menetapkan pemakzulan untuk ”maladministrasi” atau ”korupsi” sebelum Konstitusi AS ditulis. Khawatir akan potensi penyalahgunaan kekuasaan eksekutif, para petinggi AS menganggap pemakzulan sangat penting sehingga mereka menjadikannya bagian dari konstitusi, bahkan sebelum mereka menentukan postur kepresidenan.
DPR AS telah memulai proses pemakzulan lebih dari 60 kali, tetapi kurang dari sepertiganya mencapai titik akhir pemakzulan penuh. Hanya delapan orang, dan semuanya adalah hakim federal, telah dihukum dan dicopot dari jabatannya oleh Senat. Di luar 15 hakim federal yang dimakzulkan oleh DPR, sejarah AS mencatat ada tiga presiden AS yang dimakzulkan.
Mereka adalah Andrew Johnson pada 1868, William Jefferson (Bill) Clinton pada 1998, dan Donald Trump pada 2019. Selain itu, menteri William Belknap pada 1876 dan seorang Senator, William Blount, dari Tennessee pada 1797 juga telah dimakzulkan. Hanya dalam tiga kasus, Senat telah mengambil langkah tambahan dengan melarang mereka memegang jabatan federal di masa depan. Semua kasus pelarangan itu menimpa para hakim federal yang dicopot.
Trump sebelumnya dimakzulkan oleh DPR yang dipimpin Demokrat pada Desember 2019. Pemakzulan itu digelar atas tuduhan penyalahgunaan kekuasaan dan menghalangi Kongres. Kongres kala itu berupaya mengungkap dugaan Trump menekan Ukraina untuk menyelidiki sepak terjang Biden dan putranya. Trump dibebaskan oleh Senat yang dipimpin Partai Republik pada Februari 2020.
Dalam catatan Kompas, situasi ketidakpastian sempat menyelimuti atmosfer politik di Washington DC setelah dakwaan bersejarah DPR terhadap Trump kala itu. Ia didakwa melanggar konstitusi. Namun, saat itu, muncul ketidakjelasan soal sidang di Senat.
Dalam sejumlah kesempatan, Pelosi kala itu mengaku ragu bahwa Senat—53 dari 100 kursinya diduduki Republik—akan menyidangkan Trump secara adil. Keputusan itu membuat Trump frustrasi. Trump bahkan mendesak untuk segera diadili di Senat.
Secara terbuka, McConnell dan sejumlah senator Republik kala itu juga mengindikasikan bahwa mereka tidak akan menjadi juri yang adil dalam persidangan terhadap Trump di Senat. Konstitusi AS dengan jelas menyatakan, pendakwaan adalah kewenangan DPR, sedangkan pengadilan atas dakwaan dari DPR adalah kewenangan Senat. Tidak boleh ada intervensi oleh satu lembaga terhadap lembaga lain.
Kali ini, di pengujung masa pemerintahannya, Trump kembali dihadapkan pada proses pemakzulan. Entah, di mana nanti proses itu akan berujung.... (AP/AFP/REUTERS)