Langkah Trump yang Berbahaya di Arktika
Presiden AS Donald Trump mengizinkan lelang konsesi lahan tambang minyak dan gas di Kawasan Perlindungan Suaka Nasional Arktik. Muncul kekhawatiran bahwa kerusakan habitat flora, fauna, dan iklim pun di depan mata.
Kurang dari sebulan sebelum lengser dari jabatannya, Presiden AS Donald Trump memutuskan membuka peluang pengeboran minyak dan gas di wilayah Arktika. Trump mengizinkan Biro Pengelolaan Lahan (BLM) AS melelang hak konsesi pengeboran minyak dan gas bumi pada lahan Kawasan Perlindungan Suaka Nasional Arktika, timur laut Alaska.
Semula, lahan yang dibebaskan untuk pengeboran minyak dan gas seluas kira-kira setengah juta hektar. Namun, luasan itu kemudian diubah menjadi hanya separuhnya atau sekitar 250.000 hektar. Mengutip data Badan Informasi Energi AS, lokasi konsesi lahan mengandung sekitar 10,5 miliar barel minyak. Apabila produksinya digenjot maksimal, ada peluang lokasi itu mengandung minyak hingga 16 miliar barel.
Salah satu yang mendorong Trump untuk membuka peluang konsesi lahan pengeboran minyak dan gas di kawasan yang dilindungi itu adalah Lisa Murkowski, senator asal Alaska. Sejak tahun 2017, Murkowski mendorong Kongres membuka kawasan yang dilindungi itu untuk pengembangan minyak dan gas sebagai bagian dari Undang-Undang Pajak.
Baca Juga: Siberia dan Kegentingan Lingkungan Dunia
Murkowski, yang kini mendorong Trump untuk lengser karena peristiwa penyerbuan Gedung Capitol, mengatakan bahwa pemberian konsesi lahan bagi pengeboran minyak dan gas itu mungkin tidak akan menguntungkan saat ini. Namun, di masa depan, kata dia, hal itu akan menguntungkan warga Alaska.
Upaya penduduk asli dan pegiat lingkungan menghalangi pemberian konsesi lahan yang berujung pada pengeboran dan kemungkinan perusakan lingkungan pun gagal. Hakim Federal Sharon Gleason memutuskan pelelangan itu bisa dilanjutkan. Dalam putusannya, Gleason menyatakan, warga asli dan pegiat lingkungan gagal memperlihatkan bukti bahwa pelelangan itu akan memberi dampak yang tidak bisa diperbaiki.
Menteri Lingkungan dan Perubahan Iklim Kanada Jonathan Wilkinson dalam pernyataannya juga menyuarakan ”keprihatinan serius” tentang dampak kemungkinan pengembangan minyak dan gas pada kawanan karibu landak yang berkeliaran di timur laut Alaska dan barat laut Kanada.
Lingkaran Arktika
Kawasan Perlindungan Suaka Nasional Arktika yang terletak di timur laut Alaska adalah bagian dari sistem perlindungan kawasan dan satwa atau fauna National Refuge System, yang diinisiasi oleh Presiden Theodore F Roosevelt tahun 1903. Sistem ini pertama kali diterapkan dalam pengembangan Pulau Pelican di Florida dan terus berlanjut hingga terbentuk 53 kawasan hingga saat ini, termasuk ANWR yang masuk dalam sistem perlindungan kawasan ini ketika AS dipimpin oleh Presiden Jimmy Carter.
Para pegiat lingkungan melihat kawasan seluas 7,7 juta hektar ini sebagai jantung biologis. ANWR adalah tempat perlindungan (sanctuary), tempat berkembang biak dan habitat karibu atau rusa kutub dan beruang kutub, serta habitat penting bagi lebih dari 200 spesies lainnya, termasuk angsa salju dan burung.
Baca Juga: Kerusakan Ozon Memanaskan Arktik Dua Kali Lipat
Laman National Geographic menyebutkan, perusahaan yang telah memenangi konsesi lahan bisa mulai melakukan uji seismik sehari setelah pelantikan Joe Biden sebagai Presiden AS. Uji seismik sendiri dikhawatirkan bisa mengganggu musim kawin beruang kutub, salah satu spesies yang paling terancam. Penggunaan peralatan berat dan alat transportasi yang banyak pun bisa merusak kawasan tundra yang rapuh.
Tak hanya menjadi habitat ratusan flora dan fauna, kawasan itu adalah tempat tinggal bagi masyarakat asli Alaska, dengan kehidupan yang dekat dengan alam dan lingkungan sekitar, termasuk budaya berburu paus dan rusa kutub. ”Penduduk asli melihat segala sesuatu saling bergantung, saling terkait, dan memiliki hubungan timbal balik yang erat,” kata Ilarion Merculoief, salah satu tokoh masyarakat adat di Alaska.
Perubahan iklim
Rencana Trump untuk membuka lahan konsesi di Arktika berselang enam bulan setelah sebuah studi menyebutkan bahwa suhu udara di Kutub Utara menghangat. Bahkan, suhu udara di kawasan ini cenderung lebih panas dibandingkan dengan ratusan tahun sebelumnya.
Kondisi itu ditambah dengan adanya kebakaran hutan yang menghanguskan lebih dari 1 juta hektar lahan di Siberia, tumpahan minyak di laut yang memberi dampak signifikan terhadap peningkatan suhu udara di kawasan ini. Data tim internasional yang meneliti kenaikan suhu di Siberia dan kawasan Arktika menyebutkan, suhu mencapai puncaknya pada pertengahan Januari lalu. Suhu di kawasan pada saat itu mencapai 38 derajat celsius. Secara keseluruhan, suhu di kedua kawasan ini naik 5 derajat sepanjang Januari-Juni 2020.
Kebakaran hutan yang terjadi di Siberia mengakibatkan terlepasnya sekitar 56 juta ton karbon dioksida ke udara. Jumlah lepasan karbon dioksida Siberia ini setara dengan karbon dioksida tahunan dua negara, Swiss dan Norwegia.
Andrew Ciavarella, peneliti asal Kantor Meteorologi Inggris yang memimpin tim peneliti internasional, mengatakan bahwa temuan itu mengejutkan sekaligus mengkhawatirkan. Kenaikan suhu setinggi itu seharusnya hanya bisa terjadi dalam kurun 80.000 tahun sekali dengan catatan suhu udara di Bumi mengalami kenaikan 1 derajat celsius lebih hangat jika menggunakan patokan suhu udara pada zaman praindustri.
”Penelitian ini adalah bukti lebih lanjut dari sering terjadinya suhu ekstrem yang dapat kita perkirakan di seluruh dunia dalam pemanasan iklim global,” kata Ciavarella.
Baca Juga: Mengatasi Perubahan Iklim, Mencegah Pandemi
Kenaikan suhu itu berakibat pada berkurangnya luasan gunung es dan salju abadi yang menyelimuti wilayah Artic. Lembaga Pusat Data Es dan Salju Nasional (NSIDC) Universitas Boulder Colorado mengatakan, selama 30 tahun terakhir, suhu di Kutub Utara telah mengalami kenaikan dua kali lipat. Dampak naiknya suhu di kawasan ini adalah menyusutnya lapisan es laut terapung di Samudra Arktika, terutama pada musim panas; tutupan salju dan es yang mencair, termasuk gletser di Alaska, Greenland, dan bagian utara Kanada.
Selain itu, tanah beku di Arktik, yang dikenal sebagai permafrost, memanas dan di banyak daerah mencair. Ilmuwan pertama kali mulai melihat bukti perubahan iklim Arktik pada 1980-an. Sejak itu, perubahan menjadi lebih nyata.
Akhir Juli lalu, sekitar 40 persen dari Lapisan Es Milne yang berusia 4.000 tahun di tepi barat laut Pulau Ellesmere terbawa ke laut. Kanada tidak memiliki lapisan es utuh lagi. Lapisan es di Teluk St Patrick juga telah benar-benar lenyap.
Data NSIDC menunjukkan, luasan lapisan es di Laut Arktik kemungkinan telah mencapai titik terendah, yaitu 3,74 juta kilometer persegi. Kondisi per 15 September 2020 itu adalah luasan paling kecil kedua selama 42 tahun terakhir.
”Ini adalah tahun yang ’gila’ di utara, dengan luas lapisan es terendah dan panas yang sudah mencapai 100 derajat fahrenheit. Tahun 2020 bisa dimaknai sebagai tahun dengan penyusutan luasan es di Laut Arktika yang paling cepat. Kita semua tengah melihat Laut Arktika tanpa lapisan es,” kata Direktur NSIDC Mark Serreze.
Selama seabad terakhir telah terjadi kenaikan permukaan air laut antara 4 hingga 8 inci atau 10-20 sentimeter. Menyusutnya luasan lapisan es di Arktika diperkirakan akan membuat kenaikan permukaan air laut setinggi 23 inci atau hampir 60 sentimeter pada 2100, yang berujung pada hilangnya kota-kota di tepi laut dan negara-negara kepulauan kecil.
Kristin Monsell, direktur pada lembaga Center for Biological Diversity di Arizona, AS, seperti dikutip dari laman BBC mengatakan, tanpa aktivitas pengeboran minyak dan gas, kondisi di Arktika sudah sangat buruk. Rencana Pemerintah AS, khususnya Trump, yang memberikan izin konsesi lahan bagi industri minyak dan gas untuk beraktivitas di kawasan itu semakin menghancurkan habitat satwa liar.
”Kawasan itu adalah tempat tinggal dan berlindung beruang kutub dan karibu landak. Polusi suara, polusi udara, perusakan habitat, dan tumpahan minyak akan menyebabkan kerusakan iklim yang lebih parah,” kata Monsell.
Baca Juga: Suhu Global Mendekati Ambang Kritis
Kekhawatiran serupa disampaikan ahli lingkungan Universitas Columbia, Natalie Boelman. ANWR dan lingkungan Arktika, menurut dia, adalah tempat pembibitan besar untuk spesies burung. ”Jika Anda pergi ke sana pada musim semi, setiap genangan kecil, meski hanya setengah meter kali setengah meter, Anda tidak akan bisa melihat air di dalamnya. Ceruk kecil itu tertutup bebek dan angsa,” kata Boelman, dikutip dari laman BBC.
Dampak-dampak itulah yang menjadi kekhawatiran warga, termasuk Komite Pengarah Gwich’in, yang mewakili penduduk asli Gwich’in di timur laut Alaska dan barat laut Kanada. Pengurangan luasan lahan konsesi tetap akan memberikan dampak negatif bagi kehidupan flora, fauna, dan masyarakat yang tinggal di kawasan dan bahkan dunia secara keseluruhan.
”Gangguan apa pun terhadap kawasan itu merupakan serangan langsung terhadap cara hidup Gwich’in dan orang Gwich’in,” ujar Bernadette Demientieff, Direktur eksekutif Komite Pengarah Gwich’in. (REUTERS)