Peristiwa pendudukan Gedung Capitol oleh para pendukung Presiden AS Donald Trump, pekan lalu, menguak standar ganda aparat keamanan AS dalam menangani kerusuhan massa di negara itu.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
Dunia tercengang kala ribuan pendukung Presiden Amerika Serikat Donald Trump menduduki Gedung Capitol, Rabu (6/1/2021). Pendudukan kantor parlemen AS itu, dan aneka tindakan yang mengikutinya, memicu perdebatan soal demokrasi, kebebasan berpendapat, hingga standar keamanan negara yang rutin mengampanyekan demokrasi di banyak negara tersebut.
Pendudukan tersebut bukan kejadian yang benar-benar spontan. Dalam penelitian Nathan P Kalmoe dan Liliana Mason dari Louisiana State University dan University of Maryland, November 2019, ditemukan bahwa hingga 16 persen pemilih AS setuju kekerasan bermotif politik. Bahkan, penelitian itu menemukan lebih dari 20 persen pemilih mendukung kekerasan jika calon mereka kalah pada Pemilihan Presiden 2020. Kondisi itu ditemukan di kalangan pemilih Demokrat, yang mencalonkan Joe Biden, ataupun Republik, yang mengusung Trump.
Kala Kalmoe dan Mason bergabung dengan sejumlah pakar lain dan membuat penelitian dengan tema sejenis, hasilnya lebih mengkhawatirkan. Pada Juni 2020, pendukung kekerasan bermotif politik naik menjadi 30 persen dan bertambah menjadi hingga 35 persen pada September 2020.
Seperti dalam penelitian 2019, hasil penelitian 2020 itu berlaku untuk Demokrat dan Republik. Pada Pemilu 2020, lebih dari 160 juta orang memilih Biden dan Trump. Jika mengambil angka terendah, yakni 20 persen berdasarkan survei 2019, berarti 32 juta warga AS menyetujui kekerasan jika calonnya kalah dalam pemilu.
Teror terencana
Dalam penyelidikan awal terkait insiden Rabu ditemukan, sejumlah pihak telah mengajak pengerahan massa ke Capitol sejak Desember 2020. Bahkan, dalam cuitan pada 20 Desember 2020, Trump secara terbuka mengajak pendukungnya mendatangi Capitol pada 6 Januari 2021. Pada hari itu, Kongres AS menggelar sidang paripurna dengan agenda tunggal pengesahan hasil Pemilu 2020 yang dimenangi Biden.
Sejumlah pendukung Trump menggunakan istilah ”Aksi Liar” untuk gerakan mereka. Istilah itu memakai kata yang dipakai Trump kala berulang kali mengajak pendukungnya ke Capitol. ”Kita akan liar,” tulis Trump pada Desember 2020.
Memanfaatkan media sosial, panggung kampanye, hingga acara resmi kenegaraan, Trump bolak-balik menuding ada kecurangan dalam Pemilu 2020. Bahkan, kala membujuk pendukungnya meninggalkan Capitol setelah pendudukan, Rabu lalu, Trump tetap menuding suaranya dicuri dan pemilu diwarnai kecurangan.
Konsultan keamanan dan mantan agen FBI, Ali Soufan, menyebut pendudukan Capitol sebagai bentuk pengabaian pada potensi teror kelompok pendukung supremasi kulit putih. Kala masih menjadi agen FBI, ia berulang kali mengingatkan potensi teror itu. Peneliti Soufan Center, Colin P Clarke, dan dosen di Georgetown University, Daniel Byman, juga menyoroti isu sejenis. ”Kami sudah memperingatkan sejak Oktober lalu,” tulis Clarke dan Byman di Foreign Policy.
Clarke dan Byman menyebut potensi ancaman pada insiden Rabu pekan lalu jelas diremehkan. Hal itu terlihat dari jumlah aparat yang menghadapi massa sebelum pendudukan terjadi. ”Lembaga keamanan sering meremehkan ancaman kelompok ekstremis anti-pemerintah dan pendukung supremasi kulit putih meski mengakui potensi bahayanya. Lembaga keamanan lebih banyak fokus pada kelompok militan jihad dibandingkan dengan kelompok ekstremis anti-pemerintah dan pendukung supremasi kulit putih,” tulis mereka.
Sambil menunggu hasil penyelidikan aparat, Soufan, Clarke, dan Byman termasuk warga AS yang cenderung menganggap pendudukan Capitol sebagai terorisme.
Sementara Biden dan sejumlah pihak mempertanyakan standar ganda yang cenderung rasis dalam penanganan massa pendukung Trump. Biden mengaku diprotes cucunya atas minimnya aparat di Capitol pada Rabu pekan lalu. Cucu Biden membandingkan dengan aparat dalam jumlah besar dan bersenjata kala menghadapi pengunjuk rasa kulit hitam.
Pemberangusan
Aparat AS memang sudah mulai menyelidiki pendudukan itu. Sementara perusahaan dan warga AS memutuskan memberangus Trump dan para pendukungnya di dunia maya. Sejumlah pendukung Trump dipecat setelah ketahuan ikut hadir di Capitol.
Bahkan, ada penerbit batal menerbitkan buku Josh Hawley, salah satu dari 11 senator Republikan yang menolak mengakui hasil pemilu. Koran The New York Times memajang fotonya dan 141 senator serta anggota DPR Republikan yang menolak menetapkan hasil pemilu lewat sidang paripurna Kongres AS, 6 Januari lalu.
Di dunia maya, Google dan Apple melarang pelantar diskusi dunia maya yang ramai dipakai pendukung Trump, Parler, diunduh di Android dan iPhone. Akun media sosial pendukung Trump juga ditangguhkan sementara.
Sementara akun media sosial Trump ditangguhkan selamanya. Trump menjadi kepala negara pertama yang dilarang memakai layanan Facebook dan Twitter. Penangguhan dilakukan dengan alasan Trump memanfaatkan media sosial untuk menghasut. Meski belum ada hasil penyelidikan berkekuatan hukum, sejumlah pihak menuding pernyataan-pernyataan Trump di media sosial memicu pendudukan Capitol. ”Di mana kebebasan berpendapat?” kata anak Trump, Donald Trump Jr, selepas Facebook dan Twitter mengumumkan penangguhan permanen terhadap Trump.
Tokoh oposisi Rusia, Alexander Navalny, ikut memprotes pemberangusan terhadap Trump. Ia khawatir keputusan perusahaan-perusahaan teknologi AS itu disalahgunakan para tiran dan penguasa antidemokrasi di sejumlah negara lain. Apalagi, perusahaan-perusahaan itu tidak mengumumkan dengan jelas bagaimana keputusan diambil dan mekanisme sanggahannya.
Navalny juga merujuk fakta kepala negara dan kepala pemerintahan negara lain tidak dilarang menggunakan layanan media sosial yang disediakan perusahaan AS. Padahal, para kepala negara dan kepala pemerintahan itu juga kerap dituding menyebarkan kebohongan.
Ia juga mengulangi kerisauan yang lama diungkap berbagai pihak bahwa Facebook dan Twitter dinilai tidak bertindak nyata terhadap upaya propaganda sejumlah negara di media sosial. Rusia, China, hingga Arab Saudi kerap dituding memanfaatkan pasukan dunia maya yang bertugas menyebarkan informasi palsu di dunia maya.
Sepanjang 2020, berbagai pihak mendesak Facebook dan Twitter bersikap atas penggunaan pelantar mereka sebagai sarana penebar kebohongan dan kebencian. Beberapa pihak menunda beriklan di pelantar-pelantar itu demi meningkatkan desakan pada Facebook dan Twitter. Kala itu, kedua perusahaan AS itu bergeming.
Pemberangusan terhadap Trump dan pendukungnya memicu pertanyaan tentang kebebasan berpendapat. Haruskah kebebasan berpendapat dipertahankan jika kebebasan itu dipakai untuk menyebar kebencian, menghasut kekerasan, dan menyiarkan kebohongan? (AP/REUTERS)