Empat ”Pendekar Muda” di Balik Rekonsiliasi Arab Teluk
Empat tokoh muda berperan besar dalam rekonsiliasi yang mengakhiri blokade total kuartet Arab atas Qatar yang berlangsung sejak Juni 2017. Siapakah mereka?
Rekonsiliasi antara Qatar dan kuartet Arab—Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Mesir—yang diumumkan dalam forum KTT Dewan Kerja Sama Teluk (GCC), Selasa (5/1/2021), di kota Al-Ula, Arab Saudi, merupakan peristiwa terpenting pada awal 2021 ini di dunia Arab dan bahkan internasional.
Peristiwa tersebut tidak hanya mengakhiri aksi blokade total kuartet Arab atas Qatar yang berlangsung sejak Juni 2017, tetapi juga mengubah peta geopolitik di kawasan Arab Teluk dan Timur Tengah.
Rekonsiliasi itu pun, yang sangat layak disebut historis, tentu tidak terlepas dari tangan-tangan bijak sejumlah pemimpin muda di kawasan Arab Teluk saat ini. Para pemimpin muda tersebut tentu menjadi tumpuan harapan sebagai pemimpin Arab masa depan yang kuat dan modern yang bisa mengubah wajah dunia Arab masa depan.
Siapakah mereka? Tentu, yang pertama adalah Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) yang baru berusia 35 tahun. MBS kelahiran Riyadh, 31 Agustus 1985. Kedua, Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al-Thani yang baru berusia 40 tahun. Sheikh Tamim kelahiran kota Doha, 3 Juni 1980. Dan ketiga, Menteri Luar Negeri Kuwait Sheikh Ahmed Nasser al-Sabah yang baru berusia 49 tahun. Ia kelahiran Kuwait City, 13 Februari 1971.
Selain tiga pemimpin muda dari kawasan Arab Teluk itu, patut ditambah pula figur muda dari Amerika Serikat, yaitu penasihat politik Presiden AS Donald Trump yang juga menantunya, Jared Kushner, yang baru berusia 39 tahun. Ia kelahiran kota Livingston, New Jersey, AS, 10 Januari 1980.
Tanpa peran empat tokoh muda itu, mustahil bisa digelar KTT GCC di kota Al-Ula yang berhasil mengeluarkan deklarasi rekonsiliasi Al-Ula. Untuk pertama kalinya pula sejak 2017, KTT GCC dihadiri Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani.
Bahkan, ada sebuah pemandangan yang sangat langka, MBS menyambut hangat Emir Qatar dengan pelukan di bandara Al-Ula. Padahal, sebelumnya, selama lebih dari tiga tahun, dua pemimpin muda itu terlibat permusuhan sengit secara politik di pentas geopolitik Timur Tengah.
Baca juga: Abraham Accord dan Pemimpin Generasi Baru Arab Teluk
Jika berbicara tentang figur MBS yang layak disebut pemain utama dalam drama rekonsiliasi Arab Teluk ini, tentu sudah sangat tidak asing lagi di kalangan media, pengamat, penguasa, dan publik. Sukses MBS memimpin acara sebesar KTT GCC di kota Al-Ula pada hari Selasa lalu semakin mengukuhkan ia sebagai raja de facto Arab Saudi saat ini.
Tampilnya MBS yang secara mengejutkan memimpin KTT GCC tersebut kini memunculkan spekulasi tentang adanya proses suksesi secara bertahap di Arab Saudi dari Raja Salman kepada putranya, MBS, yang menjabat putra mahkota sejak Juni 2017.
Dalam tradisi politik di kawasan Arab Teluk, KTT GCC selalui dipimpin oleh raja atau emir yang menjadi tuan rumah KTT GCC tersebut. Untuk pertama kalinya, KTT GCC dipimpin putra mahkota sebagai tuan rumah KTT itu, saat sang raja masih hidup. Raja Salman juga tidak diberitakan dalam keadaan sakit.
MBS selama ini sudah merupakan figur paling populer di Arab Saudi. Adalah MBS yang membawa perubahan paling revolusioner sepanjang sejarah modern negara itu, yakni sejak berdirinya negara Arab Saudi modern tahun 1932.
MBS melalui megaproyek visi Arab Saudi 2030 yang diluncurkan pada 2016 telah mengubah lanskap model kehidupan di Arab Saudi, khususnya di bidang budaya, sosial, dan ekonomi. Misalnya, diizinkannya kaum perempuan di negara itu mengemudi kendaraan, dibukanya lagi bioskop dan tempat hiburan, serta konser musik.
Tak pelak lagi, MBS melalui proyek visi Arab Saudi 2030 itu meraih popularitas yang luar biasa, baik di Arab Saudi maupun di pentas internasional. Meski demikian, figur MBS tidak terlepas pula dari isu-isu kontroversial yang semakin menambah popularitasnya.
Kisah pertemanan khusus MBS dengan Kushner menjadi sumber utama merebaknya isu atau peristiwa kontroversial itu, di mana MBS sering disebut ikut andil dalam melahirkannya. Isu atau peristiwa kontroversial tersebut dengan segala kekurangan dan kelebihannya telah mengubah jalannya sejarah di Timur Tengah.
Proposal damai AS di Timur Tengah yang dikenal dengan sebutan Transaksi Abad Ini (Deal of the Century) dan pembukaan hubungan resmi Israel dengan Uni Emirat Arab pada Agustus 2020, Bahrain pada September 2020, Sudan pada Oktober 2020, dan Maroko pada Desember 2020 yang dikenal dengan Abraham Accord adalah contoh isu serta peristiwa kontroversial itu.
Transaksi Abad Ini yang diumumkan oleh Presiden Trump pada Januari 2020 gagal terealisasi karena ditolak keras oleh Palestina dan masyarakat internasional.
MBS diduga kuat ikut mendukung proposal damai Transaksi Abad Ini karena sebelum proposal damai itu diumumkan secara resmi, Kushner sering melakukan pertemuan khusus dengan MBS di Riyadh dan kota lain di Arab Saudi.
Baca juga: Isu Geopolitik dalam Hubungan Resmi Israel-UEA
MBS lantaran pertemanannya dengan Jared Kushner juga disinyalir ikut mendukung tercapainya Abraham Accord. Bentuk dukungan Arab Saudi atas Abraham Accord itu di antaranya Riyadh mengizinkan wilayah udaranya digunakan maskapai penerbangan komersial Israel yang akan menuju UEA dan Bahrain serta sebaliknya. Arab Saudi juga mengizinkan pesawat komersial UEA dan Bahrain menuju Israel dan sebaliknya menggunakan wilayah udaranya.
Bahkan, diberitakan pula, MBS telah bertemu secara rahasia dengan PM Israel Benjamin Netanyahu di kota Neom pada 22 November 2020.
Sementara Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani, yang merupakan figur utama kedua di balik rekonsiliasi Arab Teluk itu, juga merupakan figur kunci di pentas politik kawasan Arab Teluk dan Timur Tengah. Sheikh Tamim yang menggantikan ayahnya sebagai emir Qatar pada 25 Juni 2013 telah membawa Qatar semakin maju di bawah kepemimpinannya.
Popularitas Sheikh Tamim di mata publik Qatar semakin kuat karena dianggap mampu menjaga eksistensi negeri Qatar di tengah blokade total kuartet Arab sejak Juni 2017. Bahkan, ia dianggap tidak memberi konsesi besar dalam mencapai transaksi rekonsiliasi dengan kuartet Arab.
Figur penting lain di balik drama rekonsiliasi Arab Teluk itu adalah Menlu Kuwait Sheikh Ahmed Nasser al-Sabah yang baru menjabat Menlu Kuwait pada 17 Desember 2019.
Pasca-Sheikh Ahmed Nasser menjabat menteri luar negeri, diplomasi Kuwait tampak semakin dinamis. Puncaknya adalah tercapainya rekonsiliasi Arab Teluk dengan mediasi Kuwait.
Sheikh Ahmed Nasser melakukan diplomasi ulang alik ke Riyadh, Abu Dhabi, Doha, Manama, dan Kairo. Pada Jumat, 1 Januari 2021, Sheikh Ahmed Nassser menemui Raja Salman dan Sultan Oman Haitham bin Tarik.
Sebelumnya, pada 30 dan 31 Desember 2020, Sheikh Ahmed Nasser menemui Presiden UEA Khalifa bin Zayed al-Nahyan, Emir Qatar, dan Raja Bahrain Sheikh Hamad bin Isa al-Khalifa.
Figur keempat yang berandil besar dalam mewujudkan rekonsiliasi Arab Teluk adalah Kushner. Ia turut hadir dalam forum KTT GCC di kota Al-Ula.
Kushner berkat pertemanannya dengan MBS diyakini berhasil meyakinkan putra mahkota Arab Saudi itu agar bersedia melakukan rekonsiliasi dengan Qatar. Kushner telah menemui MBS dan juga Sheikh Tamim pada 2 Desember lalu.
Kisah Kushner dan MBS ibarat kisah kemitraan dalam merancang isu-isu strategis di Timur Tengah, mulai isu proposal damai Transaksi Abad Ini, Abraham Accord, hingga rekonsiliasi Arab Teluk.