Saat Musim Lesu akibat Pandemi Pun, Seekor Tuna Dihargai Rp 2,8 Miliar
Lelang tahunan tuna pada Tahun Baru ini di Jepang berakhir pada Selasa (5/1/2021) tanpa perang penawaran yang mencengangkan. Si ”Raja Tuna” di negara itu memilih menahan tawaran tertinggi untuk mendapatkan ikan terbaik.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·5 menit baca
Suasana hiruk pikuk tidak tersaji dalam forum lelang tuna Tahun Baru di Tokyo, Jepang, tahun ini. Lain dari tahun-tahun sebelumnya, suasana pandemi saat ini memengaruhi minat ”Raja Tuna”—sebutan untuk Kiyoshi Kimura—untuk menawar dengan harga terbaik atas tuna yang disodorkan. Selain itu, permintaan pasar secara umum atas produk-produk makanan berbahan dasar tuna khas Jepang memang tengah lesu.
Lelang tuna Tahun Baru tahunan Tokyo berakhir pada Selasa (5/1/2021) tanpa perang penawaran yang mencengangkan. Si ”Raja Tuna” negara itu memilih menahan tawaran tertinggi untuk mendapatkan ikan terbaik. Alasannya, pandemi telah memengaruhi industri restoran dan permintaan konsumen turun.
Ikan termahal tahun ini, yakni tuna sirip biru seberat 208 kilogram yang ditangkap dari wilayah utara Aomori, Jepang—wilayah ini terkenal dengan kualitas tunanya—dibeli oleh penawar lain. Harganya hanya 20,84 juta yen atau sekitar 202.000 dollar AS (Rp 2,8 miliar). Melihat angka rupiahnya, harga itu terlihat fantastis. Namun, dibandingkan dengan tuna terbaik tahun lalu, angka itu tak seberapa. Tuna terbaik tahun lalu, seekor tuna sirip biru seberat 276 kilogram, dihargai 1,8 juta dollar AS atau sekitar Rp 25 miliar.
Pada 2018 bahkan harganya lebih tinggi. Sang Raja Tuna Kimura rela membayar tuna sirip biru seberat 278 kilogram seharga 3,1 juta dollar AS atau sekitar Rp 43 miliar.
Tuna termahal tahun ini diperoleh bersama oleh penggrosir bernama Yukitaka Yamaguchi. Media lokal di Jepang menyebutkan, Yamaguchi kerap kali menjadi tamu pada acara televisi yang memasok restoran sushi top dan bisnis makanan utama.
Aturan protokol kesehatan diterapkan secara ketat pada lelang tahun ini. Para pedagang grosir ikan mengenakan masker penutup mulut dan hidung serta mencuci tangan mereka lebih dulu saat memeriksa tekstur daging ekor dari tuna segar dan beku. Mereka menyentuh, mencium, dan terkadang mencicipi potongannya secara saksama. Penonton atau warga umum kali ini tidak diizinkan menghadiri acara tersebut.
Menahan diri
Kimura, seorang pengusaha jaringan restoran sushi Kimura Corporation, mengaku sengaja menahan diri tahun ini. ”Amukan” pandemi Covid-19 dikatakannya telah menyebabkan begitu banyak penderitaan bagi restoran dan bisnis lainnya.
”Saya tidak mengajukan tawaran tertinggi tahun ini karena ini saatnya untuk mengendalikan diri,” kata Kimura kepada wartawan yang berkumpul untuk menemuinya setelah lelang dini hari di pasar ikan Toyosu itu. ”Saya pikir tidak pantas untuk merayakan kemeriahan kali ini.”
Kimura biasanya menggunakan momen pembeliannya untuk menarik liputan berita nasional tentang dirinya dan jaringan sushi-nya yang sukses. Setelah memenangi ”perang” penawaran tahunan itu, ia menampilkan semacam atraksi kuliner. Dia akan mengiris ikan dengan pisau layaknya pedang, membuat sushi, dan menyajikannya kepada pelanggan tanpa biaya tambahan. Semua disajikan di depan para jurnalis televisi yang mengerubunginya.
”Ini yang terbaik,” kata Kimura kepada wartawan setelah lelang menjelang fajar pada tahun lalu. ”Iya, mahal, kan? Saya ingin pelanggan kami makan sajian yang sangat enak tahun ini juga.”
Lewat atraksinya, Kimura menjadikan diri dan bisnisnya menjadi perhatian utama dalam berita nasional Jepang dan internasional. Tahun lalu menandai lelang tradisional itu digelar di pasar baru di kawasan bernama Toyosu. Pasar Tsukiji, yang terkenal di dunia dan sudah lama menjadi obyek wisata populer di daerah yang padat dengan restoran dan toko, ditutup pada 2018.
Usulan kuota
Jepang telah mengusulkan untuk menaikkan kuota tangkapannya untuk tuna sirip biru Pasifik. Tuna sirip biru Pasifik adalah jenis ikan yang sangat dihargai untuk bahan sushi dan sashimi sehingga populasinya saat ini diperkirakan sudah kurang dari 5 persen ukuran historis. Usulan Jepang itu disampaikan dalam pertemuan negara-negara yang mengelola sumber daya tuna sirip biru Pasifik pada Oktober tahun lalu.
Sedikit peningkatan dalam hal populasi pemijahan ikan telah meningkatkan keyakinan bahwa populasi tuna jenis itu dapat pulih dari penangkapan berlebihan selama beberapa dekade. Namun, para ahli konservasi mengatakan bahwa meningkatkan batas tangkapan yang terlalu cepat dapat membatalkan kemajuan pemulihan spesies tersebut.
Lembaga Pew Charitable Trusts dalam laporannya, tahun lalu, menyebutkan, peningkatan panen ikan semacam itu juga dapat mendorong harga lebih rendah sehingga membuat industri ini kurang menguntungkan dalam jangka panjang. Laporan bertajuk ”Netting Billions 2020: A Global Tuna Valuation” itu mengungkapkan, nilai pasar tujuh spesies tuna, termasuk sirip biru, mencapai 40,8 miliar dollar AS pada 2018. Meskipun tangkapan meningkat, nilai itu turun dari angka 41,6 miliar dollar AS pada 2012.
”Hanya karena meningkatkan tangkapan itu berkelanjutan, bukan berarti bahwa hal itu adalah hal yang benar untuk dilakukan,” kata Grantly Galland, peneliti di lembaga Pew.
Galland mengungkapkan, harga sebagian besar spesies tuna telah turun karena kelebihan pasokan ikan yang ditangkap. Negara-negara yang berpartisipasi dalam pengelolaan sirip biru Pasifik berkomitmen pada 2017 untuk mengurangi tangkapan mereka guna membantu mengembalikan spesies tersebut menjadi 20 persen dari ukuran historisnya pada tahun 2034. Jepang memainkan peran penting dalam kelangsungan hidup spesies tersebut bukan hanya karena serapan yang besar terhadap ikan.
Hampir seluruh tuna sirip biru Pasifik bertelur di laut dekat Jepang dan Korea. Nelayan Jepang juga menangkap tuna kecil untuk dibudidayakan hingga dewasa meski jumlah nelayan tradisional di negara itu telah menurun dalam beberapa tahun terakhir. Generasi muda Jepang cenderung memilih untuk tidak terlibat dalam pekerjaan yang dinilai berbahaya dan sulit tersebut.
Data terbaru menunjukkan, biomassa stok pemijahan sirip biru Pasifik, sebuah indikator kemampuan ikan untuk bereproduksi pada tingkat yang berkelanjutan, meningkat menjadi sekitar 28.000 metrik ton pada 2018 dari 10.837 metrik ton pada 2010. Namun, jumlah itu masih kalah dibandingkan dengan posisi serupa pada 1995, saat jumlahnya mencapai 62.784 metrik ton. (AFP/AP/REUTERS)