Perundingan damai untuk Afghanistan kembali dilanjutkan. Namun pembicaraan yang dilakukan oleh pemerintah Afghanistan dan Taliban itu bakal alot.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
ISLAMABAD, SELASA -- Tim perunding dari pemerintah Afghanistan dan Taliban akan segera bertemu kembali untuk mencari solusi mengakhiri konflik berkepanjangan di tengah-tengah gejolak kekerasan yang masih saja terjadi. Proses perundingan diperkirakan tidak akan mudah dan membutuhkan waktu lama karena kedua pihak masih menanti posisi pemerintahan Presiden Amerika Serikat terpilih, Joe Biden.
Perundingan intra-Afghanistan itu rencananya dimulai lagi, Selasa (5/1/2021). Meski akan butuh waktu lama, salah satu anggota tim perunding dari pemerintah Afghanistan, Nader Nadery, optimis akan ada beberapa masalah yang mudah diselesaikan karena kedua pihak memiliki beberapa item yang sama dalam agenda. "Tetapi gejolak kekerasan yang masih terjadi dikhawatirkan akan mengganggu proses perundingan," ujarnya.
Salah satu perkara yang kemungkinan akan pelik adalah soal kesepakatan pembagian kekuasaan. Pemerintah Afghanistan kemungkinan tidak akan mau berbagi kekuasaan dengan Taliban. Di sisi lain, Taliban juga diduga tidak akan fleksibel menentukan siapa yang akan masuk di pemerintahan transisi.
Selain itu, pemerintah Afghanistan menghendaki keduanya membahas gencatan senjata terlebih dahulu sebelum membahas isu-isu lain. Sementara, Taliban menginginkan pembahasan pembagian kekuasaan terlebih dahulu. Ada juga masalah pada rencana perlucutan senjata Taliban dan kelompok-kelompok milisi yang setia pada Taliban. "Kami siap kembali berunding dan salah satu agendanya gencatan senjata," kata juru bicara Taliban, Mohammad Naeem.
Kedua belah pihak juga harus membahas mengenai upaya menjaga hak-hak minoritas dan perempuan serta membuat beberapa perubahan konstitusi. Taliban menuntut agar setiap hak sesuai dengan ajaran Islam. Salah satu anggota tim perunding Taliban, Anas Haqqani, bulan lalu sempat menulis di twitter tentang keberatannya pada perubahan progresif di Afghanistan yang disebutnya nilai-nilai Barat. Ia menulis apapun yang tidak sesuai ajaran Islam dan budaya Afghanistan harus dihilangkan.
Impian damai
Bagi rakyat Afghanistan, perdamaian bagaikan impian yang sulit terwujud. Shahzia Ahmadi (32), guru dan ibu empat anak, mengaku tidak bisa membiarkan anaknya pergi kemana-mana karena takut diculik. Banyak kelompok penculik berkeliaran yang biasanya menuntut uang tebusan antara 50 dollar AS dan 50.000 dollar AS.
Ahmad Zia (38), pemilik toko, juga selalu menutup tokonya jam 8 malam karena takut dengan gerombolan bersenjata. "Sepanjang hidup saya, belum pernah merasakan damai. Saya juga tidak tahu masa depan negeri ini akan seperti apa," ujarnya.
Tingkat kejahatan yang tinggi dan serangan bersenjata yang terus terjadi, kata Mohammed Sharif (38), membuat warga pesimis. "Semoga perundingan itu ada hasilnya karena kami sudah tidak tahan dengan kondisi seperti ini," ujarnya.
Pemerintah dan Taliban saling tuduh sebagai pelaku pembunuhan aktivis, wartawan, hakim, dan pengacara. Taliban membantah tuduhan pemerintah dan menuding pasukan AS yang justru menyerang markas-markas Taliban. Mantan penasihat pemerintah, Farhadi, menilai gejolak-gejolak kekerasan ini akan mengganggu proses perdamaian.
Semua pihak juga dikatakan sebenarnya enggan berunding seperti kelompok garis keras Taliban. Para panglima perang juga tidak mau melucuti senjatanya. Para pejabat pemerintah yang korup juga mau mempertahankan kekayaan mereka. Pemerintah pun enggan berbagi kekuasaan.
Kedua pihak saling tidak percaya. Salah satu pejabat Taliban pernah mengatakan pihaknya tidak yakin pemerintah mau berdamai dan tetap mau ada di posisi status quo dan mempertahankan kekuasaan. "Gencatan senjata akan terwujud hanya jika Taliban yakin pemerintah tulus mau berdamai," ujarnya. (AP)