Bukan China, Justru Rusia di Balik Serangan Siber ke AS
Aksi-aksi peretasan diduga kuat sebagai bagian dari strategi intelijen Rusia, khususnya dalam mendapatkan informasi tentang AS. Aksi itu juga diduga sebagai aksi spionase Rusia terhadap kepentingan AS.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
WASHINGTON, SELASA — Badan-badan keamanan nasional terkemuka Amerika Serikat mengonfirmasi pada Selasa (5/1/2021) bahwa Rusia patut diduga harus bertanggung jawab atas peretasan besar-besaran departemen dan perusahaan Pemerintah AS. Konfirmasi ini sekaligus menolak klaim Presiden AS Donald Trump yang menyatakan bahwa China mungkin yang harus disalahkan dalam aksi peretasan itu.
Pernyataan bersama yang langka tersebut mewakili upaya formal pertama Pemerintah AS untuk menetapkan pihak yang bertanggung jawab atas pelanggaran di beberapa lembaga dan untuk menetapkan kemungkinan motif operasi dalam aksi-aksi itu. Aksi-aksi peretasan tersebut diduga kuat sebagai bagian dari strategi intelijen Rusia, khususnya dalam mendapatkan informasi tentang AS melalui data yang dikumpulkan. Aksi itu juga diduga sebagai aksi spionase Rusia terhadap AS.
Badan-badan tersebut menjelaskan sekaligus mengingatkan bahwa operasi itu sedang berlangsung dan mengindikasikan perburuan ancaman baru serupa atau setipe pada kepentingan-kepentingan AS belum berakhir. ”Ini adalah hal serius yang akan membutuhkan upaya berkelanjutan dan ketekunan untuk memulihkannya,” demikian pernyataan bersama Biro Investigasi Federal (FBI), Badan Keamanan Nasional, Kantor Direktur Intelijen Nasional, serta Badan Keamanan Siber dan Infrastruktur AS.
Tidak diperoleh kejelasan terkait kenapa waktu pernyataan bersama itu baru dirilis saat ini, khususnya di masa akhir pemerintahan Presiden Trump. Pernyataan itu sudah disampaikan secara langsung kepada para anggota Kongres AS. Secara tidak langsung kondisi itu juga menuntut Gedung Putih untuk menjelaskan kepada publik, minimal meneruskan informasi terkait hal tersebut.
Pada bulan lalu, The Associated Press (AP) melaporkan bahwa para pejabat di Gedung Putih telah bersiap untuk mengungkapkan bahwa Rusia adalah ”aktor utama” dalam peretasan tersebut. Namun, hal itu rupanya urung dilakukan, hanya beberapa saat sebelum pengungkapan bakal diumumkan. Pada hari laporan AP diturunkan, yakni 19 Desember 2020, Trump melalui Twitter mengatakan bahwa peretasan siber jauh lebih besar di media massa yang memberitakan berita palsu. Trump pun menilai China yang patut disalahkan terkait upaya-upaya peretasan pada lembaga dan kepentingan AS.
Senator Mark Warner, Wakil Ketua Komite Intelijen Senat dari Demokrat, menyesali pernyataan yang terlambat itu. Ia menilai Pemerintah AS membuang waktu atas sesuatu yang penting yang seharusnya dinyatakan tiga pekan lalu. Padahal, hal itu adalah gangguan yang besar bagi Pemerintah AS. Dia berharap ada peringatan yang harus disampaikan pada Rusia, sekalipun Moskwa membantah terlibat dalam aksi-aksi peretasan itu.
Dinamika peretasan itu akan menjadi tanggung jawab pemerintahan baru AS di bawah kendali Presiden Joe Biden.
Dinamika peretasan itu akan menjadi tanggung jawab pemerintahan baru AS di bawah kendali Presiden Joe Biden. Biden mengatakan, pemerintahannya akan membebankan ”biaya substansial” pada negara-negara yang bertanggung jawab atas peretasan Pemerintah AS. Namun, tidak jelas apakah respons AS dalam kasus ini akan melibatkan sanksi, penuntutan, operasi siber ofensif, atau kombinasi dari opsi tersebut.
Upaya peretasan terhadap lembaga dan kepentingan AS dinilai sangat besar terkait skalanya. Para peretas berupaya masuk, mengintai, dan meretas lembaga pemerintah, kontraktor pertahanan, dan perusahaan telekomunikasi setidaknya selama tujuh bulan hingga diketahui oleh AS. Para ahli mengatakan, waktu selama itu memberi agen asing cukup kesempatan untuk mengumpulkan data yang bisa sangat merusak keamanan nasional AS. Namun, ruang lingkup pelanggaran dan informasi apa yang dicari tidak diketahui atau tidak diungkapkan kepada publik.
Diperkirakan, jaringan telekomunikasi 18.000 lembaga di AS telah terinfeksi oleh kode berbahaya yang berasal dari perusahaan Austin, Texas, bernama SolarWinds.
Departemen Keuangan dan Perdagangan AS termasuk di antara badan-badan yang diketahui tertembus. Senator Ron Wyden, senator Demokrat dari Oregon, mengungkapkan, lusinan akun surel Departemen Keuangan telah diretas. Para peretas juga dikatakan membobol sistem yang digunakan oleh pejabat tinggi departemen itu.
Seorang eksekutif senior dari perusahaan keamanan siber yang menemukan malware, FireEye, yakni Chales Carmakal, mengatakan, bulan lalu bahwa ”lusinan target bernilai sangat tinggi” telah disusupi oleh peretas elite yang didukung sebuah negara. Namun, Carmakal tidak mau menyebutkan targetnya. Hal yang sama dikatakan Microsoft. Microsoft mengungkapkan, pihaknya telah mengidentifikasi lebih dari 40 target pemerintah dan swasta yang menjadi sasaran peretasan, sebagian besar di AS.
Microsoft, dalam sebuah unggahan blog, pekan lalu, menyatakan peretas yang terkait dengan gangguan lembaga pemerintah dan perusahaan menyelinap lebih jauh ke dalam sistem daripada yang diperkirakan sebelumnya. Peretas berupaya dan berhasil melihat beberapa kode yang mendasari perangkat lunak perusahaan, tetapi tidak dapat membuat perubahan apa pun. Soal apa dan sejauh mana target yang terkena dampak, hal itu masih belum diketahui.
Para pejabat AS, termasuk Jaksa Agung William Barr dan Menteri Luar Negeri Mike Pompeo, serta pakar keamanan siber sebelumnya mengatakan, Rusia yang harus disalahkan. Namun, Trump justru dinilai telah melanggar konsensus dalam pemerintahannya sendiri. Ia mengatakan media massa takut membahas kemungkinan bahwa China yang mungkin berada di balik aksi-aksi peretasan itu. Selama masa jabatannya, Trump menolak menyalahkan Moskwa atas operasi-operasi di dunia maya. (AP/REUTERS)