Penyebaran Kasus Covid-19 Semakin Tinggi, Berbagai Negara Kebut Vaksinasi
Dunia terus dibayangi peningkatan dan penyebaran virus SARS-CoV-2 yang semakin meluas. Negara-negara mempercepat program vaksinasi bersamaan dengan kebijakan pembatasan sosial yang lebih ketat.
Penularan Covid-19 belum dapat diatasi. Kasus baru kembali bertambah di sejumlah negara yang sebelumnya berhasil mengendalikannya. Pengetatan dan vaksin menjadi langkah pilihan.
LONDON, SENIN — Dunia terus dibayangi dengan meluasnya penularan Covid-19 dan meningkatnya jumlah kasus. Hal itu memastikan gelombang penyebaran tidak hanya sekali atau dua kali. Untuk menjawab tantangan itu, sejumlah negara mempercepat program vaksinasi dan pada saat yang sama menerapkan kebijakan pembatasan sosial.
Berdasarkan data yang dikutip dari laman Worldometer.info, Senin (4/1/2020), kurva jumlah kasus terus memperlihatkan kenaikan. Jumlah total kasus di dunia telah mencapai 85,5 juta jiwa dan jumlah kematian telah mencapai 1,8 juta jiwa.
Amerika Serikat menjadi episentrum pandemi dengan total kasus telah melewati angka 21,1 juta. Total kematian mencapai 360.078 jiwa. Di India, yang kini tengah bersiap melaksanakan vaksinasi massal, grafik jumlah kasus terus meningkat dan kini telah mencapai 10,3 juta dan jumlah kematian nyaris mencapai 150.000 jiwa.
Baca juga: Kasus Infeksi Korona Meningkat, Perancis Berlakukan Jam Malam di 15 Wilayah
Sementara di Inggris, Perdana Menteri (PM) Boris Johnson tengah berupaya menekan laju penyebaran Covid-19 dengan pembatasan sosial warga. Jumlah kasus positif harian tidak pernah turun dari angka 50.000 kasus per hari. Selama empat hari terakhir, rata-rata kasus harian di negara ini mencapai 53.000 kasus. Total, jumlah kasus positif di negara ini mencapai 2,6 juta kasus dengan tingkat kematian mencapai 75.024 jiwa.
Di Jepang, PM Yoshihide Suga juga tengah mempertimbangkan menerapkan kembali keadaan darurat di wilayah metropolitan Tokyo menyusul lonjakan kasus Covid-19 telah membebani fasilitas kesehatan. Jika keadaan darurat ditetapkan, hal itu menandai perubahan kebijakan Suga yang selama ini menolak langkah drastis pembatasan sosial karena bakal membatasi aktivitas ekonomi.
Pengetatan itu dipertimbangkan karena meningkatnya jumlah kasus baru di Jepang. Pada 31 Desember 2020, Jepang melaporkan 4.520 kasus baru Covid-19, yang membuat Tokyo dan tiga prefektur lain yang berbatasan dengannya meminta pemerintah pusat memberlakukan status darurat. Wilayah Tokyo dan sekitarnya menyumbang sekitar separuh dari total kasus Covid-19 di Jepang yang telah mencapai 240.954 kasus.
Baca juga: Gelombang Ketiga Penularan Covid-19 Landa AS, Jumlah Kasus Tembus 10 Juta
”Pada tiga hari libur Tahun Baru kasus di metropolitan Tokyo tidak turun. Kami merasa langkah yang lebih tegas perlu diambil,” kata Suga dalam jumpa pers awal tahun 2021 di Tokyo, Senin (4/1).
Dia menyatakan, pemerintah nasional akan mempertimbangkan pemberlakuan status darurat. Namun, Suga tidak menyebutkan kapan pemerintah akan menetapkan status darurat untuk metropolitan Tokyo atau pembatasan seperti apa yang akan diambil. Media lokal menyebutkan kemungkinan status darurat itu akan diberlakukan Sabtu akhir pekan ini.
Menurut Suga, banyak kasus baru yang tidak diketahui sumbernya kemungkinan besar terkait dengan restoran. Instruksi pemerintah agar restoran tutup lebih awal, yakni pukul 20.00, seharusnya bisa efektif menekan penyebaran kasus.
Setelah dilanda gelombang ketiga penularan wabah bulan lalu, Pemerintah Jepang juga menunda program subsidi wisata selama dua minggu hingga 11 Januari 2021. Suga mengatakan, melanjutkan kembali program ”Go To Travel” akan sulit dilakukan di tengah situasi darurat.
Tidak berbeda jauh dengan Jepang, Pemerintah Korea Selatan yang sempat berhasil menekan laju penyebaran kasus Covid-19 kini memperluas kebijakan pembatasan sosial dengan melarang pertemuan pribadi lebih dari empat orang dan memperpanjang aturan jarak sosial, termasuk pembatasan sosial di restoran, kafe, dan tempat umum lainnya. Kebijakan itu dikeluarkan setelah jumlah kasus harian meningkat kembali menjadi lebih dari 1.000 kasus selama empat hari berturut-turut.
Baca juga: Korsel Kekurangan Tempat Tidur Pasien Korona
Badan Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Korea (KDCA) menyebutkan, terjadi 1.020 kasus Covid-19 baru pada Minggu (3/1) malam yang menyebabkan pemerintah mengeluarkan kebijakan itu. Lebih dari 60 persen kasus berasal dari Seoul, Provinsi Gyeonggi, dan kota Incheon, dengan wabah kluster massal berpusat di sekitar panti jompo dan penjara.
PM Chung Sye-kyun menyerukan upaya habis-habisan untuk mempersiapkan program vaksinasi. Korsel akan memulai melakukan vaksinasi pada Februari. ”KDCA harus benar-benar siap untuk seluruh proses saat vaksin tiba—distribusi, penyimpanan, inokulasi dan tindak lanjut,” kata Chung.
Vaksinasi dikebut
Terkait vaksinasi, Inggris menjadi negara pertama yang menggelar vaksinasi massal warga menggunakan vaksin hasil pengembangan AstraZeneca-Universitas Oxford, Senin (4/1). Vaksinasi buatan perusahaan dan lembaga asal Inggris itu dinilai murah dan mudah didistribusikan.
Adalah Brian Pinker (82), seorang pasien cuci darah, yang mendapat suntikan pertama vaksin Oxford-AstraZeneca tersebut. ”Saya sangat senang mendapatkan vaksin Covid-19 hari ini dan sangat bangga karena vaksin itu ditemukan di Oxford,” kata Pinker, pensiunan manajer pemeliharaan yang tengah menanti merayakan ulang tahun pernikahannya yang ke-48 dengan istrinya, Shirley, Februari nanti.
Enam rumah sakit di Inggris siap memberikan 530.000 dosis pertama. Program vaksinasi ini akan diperluas ke ratusan lokasi layanan vaksinasi di seluruh Inggris dalam beberapa hari ke depan. Pemerintah berharap bisa memberikan puluhan juta dosis vaksin pada beberapa bulan ke depan.
”Ini momen penting dalam perjuangan kami melawan virus korona. Saya harap ini juga mengembuskan harapan bagi semua orang bahwa akhir dari pandemi sudah terlihat,” kata Menteri Kesehatan Inggris Matt Hancock dalam pernyataan tertulisnya.
Baca juga: Inggris Mulai Gunakan Vaksin Covid-19 dari AstraZeneca-Oxford
Inggris mulai memvaksinasi warganya dengan suntikan vaksin Covid-19 yang dikembangkan oleh Universitas Oxford dan AstraZeneca pada hari Senin kemarin. Pejabat setempat menggembar-gemborkan ”kemenangan” ilmiah yang menempatkan negara itu di garda depan Barat dalam vaksinasi melawan virus.
Pemerintahan PM Johnson telah mengamankan 100 juta dosis vaksin Oxford-AstraZeneca, yang dinilai lebih mudah disimpan dan didistribusikan dibandingkan dengan vaksin Pfizer-BioNTech. Sebanyak enam rumah sakit di negara ini mengelola sekitar 530.000 dosis petama vaksin buatan ”dalam negeri” itu untuk digunakan oleh warganya.
Sementara di Beijing, China, sekitar 73.000 orang telah menerima dosis pertama vaksin yang dikembangkan raksasa farmasi Sinopharm, yang telah mendapat persetujuan bersyarat dari otoritas kesehatan negara itu untuk disuntikkan kepada warga. Pemerintah China berkejaran dengan waktu untuk membebaskan warganya melakukan perjalanan menjelang Tahun Baru China, Februari 2021.
Seorang pria bermarga Gu, pekerja katering berusia 30-an, mengatakan kepada AFP bahwa dirinya ingin divaksin untuk ketenangan pikiran. ”Saya yakin efek samping apa pun akan dapat dikendalikan,” katanya.
Baca juga: Thailand dan Singapura Perketat Pembatasan
Pemerintah Thailand, Februari, akan menerima 200.000 vaksin Covid-19 pertama dari Sinovac Biotech, China, dari total 2 juta dosis yang dipesan. Thailand juga berencana memproduksi vaksin AstraZeneca di dalam negeri hingga 200 juta dosis per tahun.
Pelonggaran
Pemerintah Singapura tengah mempertimbangkan untuk melonggarkan pembatasan perjalanan bagi orang-orang yang disuntik vaksin Covid-19, termasuk bagi mereka yang berencana mengunjungi Singapura untuk Forum Ekonomi Dunia (WEF), Mei nanti.
Sebagian besar pusat bisnis dan pariwisata Asia Tenggara melarang perjalanan rekreasi karena pandemi. Mereka memiliki perjanjian bisnis dan perjalanan resmi yang terbatas dengan negara-negara tertentu. Sebagian besar penduduk yang kembali harus mengisolasi diri di hotel yang ditentukan atau di rumah hingga dua minggu.
Baca juga: Wajah Wisata Singapura Saat Pandemi
”Jika ada bukti yang jelas bahwa risiko penularan dapat diturunkan secara signifikan (dengan vaksin), kami pasti akan mempertimbangkan beberapa relaksasi untuk rezim SHN (pemberitahuan tinggal di rumah) untuk pelancong yang divaksinasi,” kata Wakil Kepala Gugus Tugas Covid-19 Pemerintah Singapura Lawrence Wong.
Wong mengatakan, pembatasan juga dapat ditinjau untuk pelancong yang divaksinasi untuk WEF, yang biasanya menarik ribuan politisi, pebisnis, dan selebritas dari seluruh dunia. Pertemuan tahunan WEF dipindahkan dari tempat asalnya di Davos, Swiss, karena kekhawatiran virus di Eropa. (AFP/AP/REUTERS)