Setelah 3,5 tahun dilanda konflik internal, negara-negara Arab Teluk ingin ada rekonsiliasi. Mereka perlu menemukan cara yang bisa menjaga marwah masing-masing.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Munculnya keinginan kuat negara-negara Arab Teluk untuk mewujudkan rekonsiliasi, setelah selama 3,5 tahun diwarnai konflik Qatar versus tiga negara Arab Teluk plus Mesir, jelas kabar menyejukkan pada awal 2021. Keinginan untuk rekonsiliasi itu akan diwujudkan secara formal dalam forum Konferensi Tingkat Tinggi Dewan Kerja Sama Teluk atau GCC di kota Al-Ula, Arab Saudi, Selasa (5/1/2021). Namun, muncul pertanyaan, setelah pertikaian yang sengit selama 3,5 tahun, semudah itukah rekonsiliasi di Arab Teluk terjalin?
Menilik ke belakang, konflik internal Arab Teluk itu bermula saat kantor berita resmi Qatar mengunggah pernyataan yang diklaim berasal dari pemimpin Qatar, berisi dukungan kepada kelompok Islamis dan kritikan terhadap Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pada 24 Mei 2017. Qatar menyatakan, situs web kantor beritanya diretas.
Kurang dari dua pekan kemudian, empat negara—Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, dan Mesir—memblokade Qatar. Mereka menuding Qatar sebagai sponsor terorisme. Tuduhan ini selalu dibantah Doha. Kuartet Arab itu mengeluarkan 13 tuntutan sebagai syarat pencabutan blokade. Tak satu pun dari semua tuntutan itu dipenuhi Qatar. Konflik tetap memanas.
Sejak konflik mengemuka, berbagai upaya diplomatik guna menyelesaikan perselisihan dicoba. Dari jalur diplomasi resmi hingga jalur non-diplomatik, seperti ”diplomasi sepak bola” ketika Bahrain merebut trofi Piala Teluk di Qatar, Desember 2019. Namun, semua belum membuahkan hasil. Tanpa terasa, di tengah pasungan konflik itu, kawasan Teluk Arab menjadi ajang perebutan pengaruh kekuatan regional di sekelilingnya. Qatar berangkulan dengan Turki dan bergandengan tangan dengan Iran. UEA dan Bahrain meresmikan hubungan dengan Israel. Arab Saudi tak sedrastis dua sekutunya, tetapi diketahui bermain mata dengan Israel guna menghadapi Iran-Turki.
Konstelasi politik kawasan itu ternyata mengacaukan skenario AS, yang didukung oleh Israel, untuk mengisolasi Iran. Ditambah perubahan politik di AS pasca-pemilu 3 November lalu, yang menghasilkan Joe Biden sebagai presiden terpilih dengan mengalahkan Trump, Arab Saudi mencium bakal terjadi perubahan di kawasan jika Biden jadi menghidupkan lagi kesepakatan nuklir Iran.
Dalam latar belakang geopolitik itulah keinginan rekonsiliasi di kawasan Arab Teluk muncul. Beberapa pejabat setingkat menteri luar negeri melontarkan optimisme mereka akan terwujudnya rekonsiliasi itu. Perlu kompromi dan titik temu yang bisa menjaga muruah (kehormatan atau harga diri) semua pihak yang berkonflik. Seperti ditengarai pengamat, Qatar disebut-sebut setuju mengurangi nada kritik televisi negaranya, Al Jazeera, kepada Arab Saudi. Terwujudnya rekonsiliasi akan disambut positif. Andai tak bisa mencakup semua pihak yang bersengketa, rekonsiliasi bilateral antara Arab Saudi dan Qatar pun sudah cukup melegakan.