Iran Lanjutkan Pengayaan Uranium di Fasilitas Nuklir, Sinyal Tekanan bagi Biden
Langkah Iran mengumumkan pengayaan uranium di fasilitas nuklir Fordow hingga 20 persen, jauh di atas ambang batas 3,67 persen dalam kesepakatan nuklir 2015, dinilai untuk menekan pemerintahan baru AS di bawah Joe Biden.
Oleh
BENNY D KOESTANTO & MH SAMSUL HADI
·5 menit baca
DUBAI, SELASA — Pemerintah Iran menyatakan, Senin (4/1/2021), memulai kembali pengayaan uranium hingga 20 persen di fasilitas nuklir bawah tanah Fordow di Provinsi Qom, Iran. Hal itu dikonfirmasi Badan Energi Atom Internasional atau IAEA. Keputusan Iran ini dinilai sebagai langkah Teheran menekan Presiden terpilih AS Joe Biden yang berencana mengaktifkan kembali kesepakatan nuklir Iran.
Namun, pengamat khawatir langkah tersebut bisa memicu konflik dengan Presiden Donald Trump dalam sisa waktu masa jabatannya hingga upacara pelantikan Biden, 20 Januari mendatang. Dalam pernyataan yang tidak lazim, Minggu (3/1/2021) malam waktu setempat, Pelaksana Tugas Menteri Pertahanan AS Christopher Miller mengungkapkan, AS mempertahankan posisi kapal induk USS Nimitz di kawasan Teluk terkait ancaman Iran terhadap pejabat AS, termasuk pada Trump secara pribadi.
Langkah Teheran dalam pengayaan uranium hingga 20 persen itu jauh melewati batas yang diperbolehkan dalam kesepakatan nuklir tahun 2015, yakni 3,67 persen. Iran sengaja melanggar kesepakatan nuklir setelah AS menarik diri secara unilateral dari kesepakatan tersebut, sekaligus menjatuhkan lagi sanksi-sanksinya kepada Teheran. Berdasarkan kesepakatan nuklir tahun 2015, Iran seharusnya dibebaskan dari sanksi-sanksi internasional.
”Beberapa menit yang lalu, proses produksi 20 persen uranium yang diperkaya telah dimulai di kompleks pengayaan Fordow,” kata Juru Bicara Pemerintah Iran, Ali Rabiei, kepada media Pemerintah Iran, Senin (4/1/2020).
Langkah Teheran tersebut diambil di tengah semakin meningkatnya ketegangan antara Iran dan AS pada hari-hari terakhir pemerintahan Presiden Trump. Langkah pengaktifan kembali pengayaan uranium itu juga menjadi salah satu dari banyak hal yang disebutkan dalam undang-undang (UU) yang disahkan oleh parlemen Iran bulan lalu.
UU tersebut merupakan respons Teheran atas pembunuhan ilmuwan nuklir terkemuka negara itu, Mohsen Fakhrizadeh. Teheran menuduh Israel sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam peristiwa itu. ”Tindakan kami sepenuhnya dapat dibatalkan setelah kepatuhan PENUH oleh SEMUA (pihak dalam kesepakatan),” kata Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif dalam cuitannya di media sosial Twitter.
Teheran menegaskan, pihaknya dapat dengan cepat membalikkan pelanggaran dalam pengayaan uranium jika sanksi AS dicabut. Hingga tulisan ini dibuat, belum ada tanggapan secara langsung oleh Pemerintah AS ataupun tim transisi Pemerintah AS terhadap pernyataan Teheran soal itu.
Namun, seorang juru bicara Departemen Luar Negeri AS menuduh Iran melakukan ”pemerasan melalui nuklir”. Ia yakin, IAEA akan mengawasi dengan ketat langkah Teheran itu. Terkait isu nuklir Iran, Presiden terpilih AS Joe Biden pernah mengatakan bahwa AS akan bergabung kembali dengan kesepakatan itu ”jika Iran melanjutkan kepatuhan ketat” terhadap pakta tersebut.
Pengaktifan kembali fasilitas uranium Iran tersebut dikonfirmasi IAEA selaku badan pengawas nuklir Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Otoritas IAEA memberitahukan hal itu dalam sebuah laporan yang ditujukan kepada para anggotanya.
”Iran hari ini memulai pengayaan uraniumnya yang telah diperkaya hingga 4,1 persen U-235 ke dalam enam kaskade sentrifugal di Pabrik Pengayaan Bahan Bakar Fordow menjadi pengayaan lebih lanjut hingga 20 persen,” kata IAEA.
IAEA menyebutkan, Teheran telah memberi tahu kepada IAEA bahwa Iran berencana melanjutkan pengayaan uraniumnya hingga 20 persen di situs Fordow. Situs pengayaan uranium Iran di Fordow itu berada di bawah sebuah gunung.
”Proses injeksi gas ke sentrifugal telah dimulai beberapa jam lalu dan produk pertama gas uranium hexafluoride (UF6) akan tersedia dalam beberapa jam,” kata Rabiei dalam pernyataannya, Senin (4/1).
Iran sebelumnya telah melanggar ambang batas maksimal 3,67 persen dalam program pengayaan uraniumnya. Namun, saat itu pengayaan yang dilakukan hanya naik menjadi 4,5 persen, atau masih jauh di bawah level 20 persen, bahkan level 90 persen yang dibutuhkan untuk mengembangkan persenjataan nuklir.
Namun Badan intelijen AS dan IAEA yakin Iran memiliki kerahasiaan atas program nuklirnya. Program senjata nuklir terkoordinasi Iran itu dipercaya dihentikan pada tahun 2003. Namun Iran menyangkal pernah memilikinya.
Respons keras
Langkah Teheran itu mengundang respons keras dari sejumlah pihak. Di Brussel, juru bicara Komisi Uni Eropa mengatakan bahwa ”langkah Iran itu sekiranya benar, bakal menjadi sebuah penyimpangan yang cukup besar atas komitmen Iran".
Di Jerusalem, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan, Teheran tengah berupaya mengembangkan senjata nuklir. Ia menambahkan, program nuklir Iran semata terkait dengan program pengembangan nuklir untuk bidang militer sehingga dapat membahayakan negara lain.
Netanyahu pun bersikukuh Israel tidak akan pernah membiarkan Teheran melanjutkan langkah-langkah pengembangan nuklir. ”Israel tidak akan mengizinkan Iran memproduksi senjata nuklir,” katanya.
Langkah Teheran dinilai dapat menghambat upaya menyelamatkan pakta nuklir. Pelanggaran Iran dinilai semakin mengkhawatirkan beberapa pihak yang terlibat dalam kesepakatan itu. Kesepakatan nuklir Iran ditandatangani pada tahun 2015 oleh Iran dan enam negara kekuatan utama dunia (AS, China, Inggris, Perancis, Rusia, dan Jerman), yang dikenal dengan sebutan Kelompok ”P5+1”.
Ancaman eskalasi
Merujuk pada kesepakatan, para pihak yang berhadapan dengan Teheran telah mendesak Iran agar bertindak secara bertanggung jawab atas program nuklirnya. Muncul penilaian bahwa langkah terbaru Iran itu semata bagian dari upaya Teheran menekan Presiden terpilih Biden terkait negosiasi ulang kesepakatan nuklir.
Meski demikian, tetap muncul kekhawatiran bahwa konflik bisa saja meletus saat AS masih di bawah kendali pemerintahan Trump, yang menjadi komandan tertinggi militer negaranya. Vipin Narang, pakar strategi nuklir di Massachusetts Institute of Technology, mengatakan, risiko AS melancarkan aksi militer terkait Iran masih rendah. Namun, ia mengingatkan, Trump menjadi lebih tidak bisa terprediksi di tengah kemarahannya akibat kekalahan dalam pemilu.
”Andai saya dalam posisi Iran, saya akan berpikir bisa saja Trump begitu marah terkait hasil pemilu, lalu bisa saja akan bereaksi berlebihan terhadap provokasi sekecil apa pun,” ujar Narang.
Corey Hinderstein, yang fokus pada implementasi kesepakatan nuklir Iran tahun 2015 saat bertugas di Departemen Energi AS, menyebutkan bahwa Iran sepertinya ingin tetap fokus pada kesepakatan yang sudah ada dan tidak berharap Biden melebarkan cakupan kesepakatan dalam diplomasi berikutnya.
Jack Sullivan, yang bakal menjabat Penasihat Keamanan Nasional AS di bawah pemerintahan Biden, mengungkapkan dalam wawancara dengan CNN, Minggu, pemerintahan Biden pada akhirnya ingin memastikan adanya pembatasan kapabilitas rudal balistik Iran.
”Saya pikir, Iran mengambil langkah ini untuk memberi sinyal bahwa mereka berada dalam posisi untuk secara cepat meningkatkan aktivitas-aktivitas nuklirnya, sekaligus—menurut saya—mereka percaya bahwa mereka ingin membatasi negosiasi saat pemerintahan baru AS mulai bertugas,” kata Hinderstein, yang kini menjadi Wakil Presiden Nuclear Threat Initiative.
”Sayangnya, kita tidak memiliki pemahaman yang sangat jelas tentang apa saja yang bisa memengaruhi keputusan pemerintahan Trump di sisa masa jabatan. Jika dapat memilih, mereka bisa melihat (perkembangan di Iran) ini sebagai eskalasi yang signifikan,” kata Hinderstein. (AFP/REUTERS)