Menuju Rekonsiliasi Arab Teluk
Pada awal tahun 2021, angin persaudaraan berembus di kawasan Arab Teluk. Enam negara di kawasan itu mengupayakan rekonsiliasi antara Qatar dan empat negara Arab lainnya.
Para pemimpin Arab Teluk tampak bertekad menyambut tahun baru 2021 dengan lembaran baru. Mereka terlihat ingin segera meningggalkan lembaran-lembaran hitam yang menyelimuti kawasan Arab Teluk selama 3,5 tahun, persisnya sejak Juni 2017.
Pada Juni 2017, tiga negara Arab Teluk, yaitu Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan Bahrain plus Mesir memblokade total negara tetangga mereka, Qatar. Ketiga negara Arab Teluk plus Mesir itu menuduh Qatar mendukung jaringan teroris di Timur Tengah dan belahan dunia lainnya. Qatar membantah keras tuduhan itu.
Namun, seiring perjalanan waktu, perubahan demi perubahan terjadi di kawasan Arab Teluk dan Timur Tengah yang menuntut evaluasi terhadap perpecahan di tubuh organisasi Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) itu. Seperti diketahui, GCC dibentuk tahun 1981 dengan anggota enam negara Arab Teluk: Arab Saudi, UEA, Qatar, Bahrain, Kuwait, dan Oman.
Baca juga: Konflik Koalisi Arab vs Qatar Jadi Agenda Utama Pertemuan Dewan Kerja Sama Teluk
Perpecahan di tubuh GCC ternyata justru memperlemah dan memperburuk kondisi internal GCC sendiri. Perpecahan di tubuh GCC hanya mengantarkan wilayah itu dijadikan arena rebutan pengaruh oleh negara-negara besar regional, seperti Turki, Iran, dan Israel.
Qatar, misalnya, memilih berangkulan dengan Turki dan bersahabat dengan Iran untuk menghadapi saudara-saudaranya di GCC yang telah memblokadenya lebih dari tiga tahun. Adapun UEA dan Bahrain memilih berangkulan dengan Israel melalui kesepakatan Abraham (Abraham Accord) yang dicapai bulan Agustus dan September lalu untuk menghadapi Iran, Turki, dan Qatar.
Arab Saudi pun bermain mata dengan Israel untuk menghadapi Iran dan Turki. Hal itu ditunjukkan oleh pertemuan rahasia antara Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman dan PM Israel Benjamin Netanyahu di kota Neom pada 22 November lalu.
Potensi besar
GCC seperti diacak-acak oleh negara-negara besar di kawasan. Padahal, seandainya bersatu, GCC menjadi kekuatan besar di Timur Tengah, bahkan pemain utama di kawasan itu. GCC memiliki semua kekuatan yang memungkinkan menjadi pemain besar di Timur Tengah dan bahkan di dunia. GCC berkat kekuatan sumber alam yang luar biasa, seperti minyak dan gas, telah menjadi pusat kemajuan ekonomi dan teknologi di dunia Arab saat ini.
Baca juga: Sinyal Rekonsiliasi Raja Salman kepada Emir Qatar
Kekuatan GCC ditambah lagi oleh keberhasilan mereka melakukan reformasi ekonomi melalui proyek diversifikasi ekonomi, seperti UEA, Qatar, dan Arab Saudi. UEA dan Qatar, misalnya, tidak hanya kaya minyak dan gas, tetapi juga merupakan kekuatan kelas dunia di dunia perbankan dan penerbangan komersial. Qatar memiliki Qatar Airways, sedangkan UEA mempunyai Etihad Airways serta Emirat Airlines, yang sudah dikenal sebagai maskapai penerbangan komersial terkuat di dunia. Qatar memiliki Qatar National Bank (QNB), UEA mempunyai National Bank of Abu Dhabi dan Abu Dhabi Commercial Bank yang sudah mendunia.
Sayang, mereka saling bermusuhan. Mereka seharusnya menjadi kekuatan, tetapi justru malah menjadi titik kelemahan. Mereka lalu sama-sama mengundang kekuatan regional lain untuk memperkuat posisi masing-masing.
Kini sudah mulai tercipta atmosfer di kawasan Arab Teluk yang menuju ke arah rekonsiliasi. Perubahan situasi regional dan internasional terakhir ini ikut membantu terciptanya atmosfer tersebut. Pandemi Covid-19 yang menghantam perekonomian negara-negara Arab Teluk makin menyadarkan pentingnya mereka bersatu lagi.
Baca juga: Dunia Arab Butuh Solusi ”Out of Box”
Dalam membahas tantangan kesehatan akibat pandemi Covid-19, mereka bisa melupakan konflik politik dan bersedia duduk bersama mendiskusikan solusi menghadapi pandemi. Forum dialog virtual yang sering diadakan GCC untuk membahas pandemi Covid-19 selalu dihadiri delegasi Qatar, Arab Saudi, UEA, Kuwait, Oman, dan Bahrain. Rekonsiliasi di tubuh GCC sesungguhnya dimulai melalui pintu kesehatan akibat pandemi Covid-19.
Dalam konteks politik internasional, kemenangan kandidat Partai Demokrat Joe Biden dalam Pemilu Presiden AS, 3 November lalu, juga mendorong negara-negara Arab Teluk berpikir tentang pentingnya rekonsiliasi. Seperti diketahui, Biden sudah menyampaikan keinginannya menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran tahun 2015, yang juga disebut Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA). Ketika tercapai JCPOA, Juli 2015, Biden saat itu menjabat Wakil Presiden AS.
Arab Saudi, UEA, dan Bahrain menginginkan AS merundingkan kembali isu nuklir Iran dengan Teheran dengan lebih memperhatikan kepentingan negara-negara Arab Teluk itu. Bahkan, negara-negara Arab Teluk ingin terlibat langsung dalam perundingan mendatang tentang isu nuklir Iran.
Baca juga: Abraham Accord dan Pemimpin Generasi Baru Arab Teluk
Namun, aspirasi negara-negara Arab Teluk tersebut bisa lemah di mata AS jika mereka tetap terpecah belah. Sebaliknya, jika mereka bersatu, daya tawar-menawar mereka dengan AS bakal makin kuat. Presiden Donald Trump sebelum meninggalkan Gedung Putih, 20 Januari, juga menekan negara-negara Arab Teluk melakukan rekonsiliasi.
Kunjungan Penasihat Politik Presiden Trump, yang juga menantunya, Jared Kushner, berkunjung ke Qatar dan Arab Saudi pada 2 Desember lalu untuk membujuk agar dua negara itu melakukan rekonsiliasi, sekaligus menunjukkan keinginan serius Trump agar ada rekonsiliasi di kawasan Arab Teluk.
Misi Arab Saudi
Dalam konteks perkembangan tersebut, Arab Saudi kini berkepentingan dilakukan rekonsiliasi di tubuh GCC. Negara itu ingin kembali memimpin GCC saat rekonsiliasi di tubuh GCC terwujud nanti. Jika semua skenario itu terwujud, Arab Saudi akan memiliki daya tawar-menawar kuat untuk bisa memengaruhi kebijakan AS dalam menghadapi Iran. Apalagi, Riyadh sudah mengantongi kartu Israel lewat pertemuan rahasia MBS-Netanyahu, 22 November lalu, di kota Neom. Sudah rahasia umum, suatu negara bila ingin mempunyai pengaruh kuat di Washington DC harus lewat pintu Israel karena kekuatan lobi Yahudi di AS.
Para pemimpin Arab Teluk telah mencanangkan forum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) GCC di Riyadh, Selasa (5/1) besok, sebagai momentum pengumuman deklarasi rekonsiliasi. Manuver yang dilakukan sejumlah pemimpin Arab Teluk terakhir ini cukup menjanjikan akan suksesnya proses rekonsiliasi tersebut.
Emir Kuwait, Sheikh Nawaf al-Ahmad al-Jaber al-Sabah, Jumat (1/1/2021), mengirim Menlu Kuwait Sheikh Ahmed Nasser al-Sabah untuk menyampaikan surat kepada Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud dan Sultan Oman, Haitham bin Tarik. Menurut kantor berita Kuwait, KUNA, isi surat tersebut membahas isu rekonsiliasi di kawasan Arab Teluk.
Sebelumnya, Rabu dan Kamis (30-31/12), Emir Kuwait juga mengirimkan surat kepada Presiden UEA Khalifa bin Zayed al-Nahyan, dan Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad al-Thani, serta Raja Bahrain Sheikh Hamad bin Isa al-Khalifa, membahas pentingnya rekonsiliasi saat ini. Sheikh Nawaf al-Ahmad, Jumat. menegaskan, KTT GCC di Riyadh akan memperkuat semangat solidaritas Arab dan Teluk menghadapi tantangan di kawasan. Seperti diketahui, Kuwait selama ini memainkan peran sebagai mediator antara Qatar dan negara kuartet Arab (Arab Saudi, UEA, Bahrain dan Mesir).
Baca juga: Qatar Bertahan dari Blokade, Qatar Kian Mandiri
Kementerian Luar Negeri Mesir dalam keterangan pers, Kamis (31/12), menegaskan dukungan terhadap upaya mewujudkan rekonsiliasi yang dapat mempersatukan kembali barisan Arab. Juru Bicara Kemlu Mesir, Ahmed Khafez, mengatakan, pentingnya niat baik untuk mewujudkan rekonsiliasi hakiki yang bisa mengembalikan hubungan dan solidaritas dunia Arab.
Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi diberitakan akan menghadiri KTT GCC di Riyadh setelah mendapat undangan khusus dari Raja Salman. Kehadiran presiden Mesir meningkatkan spekulasi tentang keberhasilan rekonsiliasi yang akan diumumkan dalam forum KTT Riyadh itu. Bocoran berita yang bergulir sampai saat ini adalah Qatar dan Arab Saudi sedang melakukan perundingan intensif untuk memfinalisasi draf rekonsiliasi.
Keputusan menunda dan memindahkan tempat KTT GCC, yang seharusnya digelar di Manama, Bahrain, pada akhir Desember lalu, ke kota Riyadh pada 5 Januari ini untuk memberi kesempatan lebih banyak lagi pada Qatar-Arab Saudi untuk menuntaskan perundingan mereka. Bagaimana hasilnya, kita tunggu.