Lonjakan Kasus Covid-19 Bebani Faskes, PM Suga Siapkan Status Darurat di Tokyo
Pemerintah Jepang kini mempertimbangkan untuk kembali memberlakukan status darurat di wilayah metropolitan Tokyo dan sekelilingnya. Ini diambil menyusul lonjakan kasus Covid-19 yang telah membebani fasilitas kesehatan.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
TOKYO, SENIN — Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga mempertimbangkan untuk menerapkan kembali keadaan darurat di wilayah metropolitan Tokyo menyusul lonjakan kasus Covid-19 telah membebani fasilitas kesehatan atau faskes, Senin (4/1/2021). Kemungkinan penerapan keadaan darurat itu menandai perubahan kebijakan Suga yang selama ini menolak langkah drastis pembatasan sosial karena bakal membatasi aktivitas ekonomi di negara tersebut.
Pada 31 Desember 2020, Jepang melaporkan 4.520 kasus baru Covid-19. Keadaan ini membuat Tokyo dan tiga prefektur lain yang berbatasan dengan ibu kota negara itu meminta pemerintah pusat memberlakukan status darurat. Wilayah Tokyo dan sekitarnya menyumbang sekitar separuh dari total kasus Covid-19 di Jepang.
”Bahkan pada tiga hari libur Tahun Baru kasus di metropolitan Tokyo tidak turun,” kata Suga dalam jumpa pers awal tahun 2021 di Tokyo, Senin. ”Kami merasa langkah yang lebih tegas perlu diambil.”
”Pemerintah nasional akan mempertimbangkan pemberlakuan status darurat,” kata Suga sambil menambahkan bahwa pemberlakuan status darurat akan diprioritaskan pada pencegahan risiko penularan di tempat makan.
Namun, Suga tidak menyebutkan kapan pemerintah akan menetapkan status darurat untuk metropolitan Tokyo atau pembatasan seperti apa yang akan diambil. Media lokal menyebutkan kemungkinan status darurat itu akan diberlakukan, Sabtu akhir pekan ini. Status darurat sebelumnya diberlakukan pada musim semi lalu selama lebih dari sebulan. Ketika itu sekolah dan tempat usaha non-esensial ditutup.
Menurut Suga, banyak kasus baru yang tidak diketahui sumbernya kemungkinan besar terkait dengan restoran. Instruksi pemerintah agar restoran tutup lebih awal, yakni pukul 20.00, seharusnya bisa efektif menekan penyebaran kasus.
Setelah dilanda gelombang ketiga infeksi bulan lalu, Pemerintah Jepang menunda program subsidi wisata selama dua minggu hingga 11 Januari 2021. Suga mengatakan, melanjutkan kembali program ”Go To Travel” akan sulit dilakukan di tengah situasi darurat.
Toshihiro Nagahama, ekonom dari Dai-ichi Life Research Institute, memperkirakan penangguhan pengeluaran yang tidak perlu oleh masyarakat selama sebulan penuh di metropolitan Tokyo akan mengurangi produk domestik bruto (PDB) sebesar 2,8 triliun yen Jepang (27 miliar dollar AS) atau sekitar 0,5 persen dalam setahun.
”Kehilangan PDB bisa membuat 147.000 orang kehilangan pekerjaannya,” ujar Toshihiro dalam pernyataan tertulisnya.
Pada hari pertama tahun 2021 pembukaan perdagangan, saham Jepang bereaksi negatif terhadap rencana pemberlakuan kembali status darurat di metropolitan Tokyo.
Selama ini Jepang mengandalkan penutupan tempat usaha secara sukarela, berbeda dengan kebanyakan kebijakan penutupan di negara lain. Meski demikian, Suga akan memasukkan usulan pembatasan yang lebih ketat, disertai dengan sanksi, pada masa sidang parlemen berikutnya agar kebijakan pembatasan tersebut lebih terasa dampaknya.
Meski kasus Covid-19 di Jepang lebih sedikit dibandingkan kasus di banyak negara di Eropa dan Amerika, Suga menghadapi tantangan karena akan menggelar Olimpiade Tokyo musim panas ini setelah tertunda akibat pandemi pada tahun 2020.
Suga mengulang kembali pernyataannya bahwa pemerintahannya akan menggelar Olimpiade dan akan mulai melakukan vaksinasi bagi warganya, akhir Februari nanti. ”Pada awal kami ingin memulai vaksinasi pada tenaga kesehatan, lansia, dan mereka yang bekerja di panti jompo,” kata Suga. ”Saya juga akan memberikan contoh untuk divaksinasi,” tambahnya.
Bulan lalu, Jepang akan menutup akses masuk ke negara tersebut bagi warga asing untuk sementara setelah mendeteksi adanya kasus Covid-19 dengan strain baru virus SARS-CoV-2. (REUTERS/AFP)