Membangun Harapan di Ujung Lorong, Relevansi Diplomasi di Era Pandemi
Sejarah mencatat, pandemi berpotensi mengubah keseimbangan kekuatan, relasi, dan melahirkan peradaban baru. Ada potensi baik sekaligus buruk. Pendekatan diplomasi memungkinkan menekan efek buruk pandemi.
Vaksin untuk menekan penularan Covid-19 telah ditemukan. Bahkan, di sejumlah negara, vaksin yang berasal dari beragam produsen itu mulai disuntikkan. Harapan pun kembali tumbuh.
Namun, ujung ”terowongan” pandemi kemungkinan masih jauh. Belum dapat dipastikan ”di mana atau kapan” pandemi Covid-19 akan sepenuhnya dapat dikendalikan. Selain itu, akan ke mana pandemi ini membawa dunia, tak satu orang pun dapat menjejakinya.
Apabila memalingkan wajah ke masa lalu—sebagaimana diberitakan BBC pada Maret 2020—wabah dapat mengubah peradaban dunia. Kematian puluhan juta orang di Eropa Barat—kebanyakan buruh tani—akibat Wabah Hitam (Black Death) pada tahun 1350-an berujung pada runtuhnya feodalisme, berkembangnya teknologi untuk mengganti tenaga manusia, hingga modernisasi ekonomi.
Bahkan, menurut BBC, ada sejumlah pendapat yang mengatakan, imperialisme yang dilakukan oleh negara-negara Eropa pun diduga dipicu oleh wabah itu. Dorongan untuk menghindari kematian membuat warga Eropa berani melakukan perjalanan jarak jauh dan menjadi benih lahirnya kolonialisme Eropa.
Namun, ada kisah berbeda. Mewabahnya demam kuning yang menyerang pada 1801 di Haiti ”membentengi” wilayah itu dari ambisi besar Napoleon Bonaparte untuk menguasai seluruh Amerika Utara. Kala itu, Napoleon yang ingin mengendalikan penuh Haiti mengirim puluhan ribu pasukan ke wilayah tersebut. Namun, wabah demam kuning membunuh sekitar 50.000 anggota pasukan Napoleon dan hanya menyisakan sekitar 3.000 orang yang berhasil pulang ke Perancis.
Pandemi, menurut Daniel W Drezner, profesor politik internasional di Sekolah Hukum dan Diplomasi Fletcher di Universitas Tufts, memiliki pengaruh yang nyata pada hubungan internasional. Dalam tulisannya di The Washington Post, Rabu (30/9/2020), berjudul ”Pandemics, International Relations and Covid-19”, Drezner mengatakan, wabah (merujuk pada sejumlah kasus lama, termasuk kekalahan Napoleon di Rusia karena 120.000 tentaranya terserang tifus dan disentri) memengaruhi keseimbangan kekuatan.
Saat ini, terkait Covid-19, Drezner menilai pandemi belum menunjukkan potensi itu. Covid-19, menurut dia, tidak secara fundamental mengubah distribusi kekuasaan dan kepentingan. Menurut dia, pandemi yang paling mungkin memiliki efek yang mengubah masyarakat adalah pandemi yang melumpuhkan dan membunuh populasi usia kerja.
Baik memperhatikan pendapat Drezner maupun catatan sejarah tentang wabah dan dampaknya, saat ini penting untuk membawa ”arus” global menjadi lebih positif bagi dunia. Diplomasi menjadi kian penting untuk membawa harapan baru.
Pada satu sisi, pandemi Covid-19, tak dimungkiri, memicu ketegangan, antara lain tecermin pada desakan Australia terkait perlunya penyelidikan independen tentang asal-usul virus penyebab Covid-19. Desakan itu membuat China berang dan membalasnya, antara lain, dengan menghentikan impor daging, anggur, dan jelai dari Australia.
Di sisi lain, pandemi mendesak banyak pihak memperkuat kerja sama global. Atas inisiatif Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Perserikatan Bangsa-Bangsa, sejumlah negara dan lembaga, lahirlah mekanisme vaksin untuk semua. Langkah ini menjadi antitesis sekaligus kritik atas sikap sejumlah negara kaya yang mengijon vaksin dari sejumlah produsen ternama.
Pada bulan-bulan awal pandemi mendera, sejumlah negara gugup bagaimana hendak bersikap. Namun, perlahan-lahan, sembari berupaya mengendalikan pandemi, negara-negara mulai menata diri. Bahkan, Dewan Keamanan PBB sepakat melahirkan resolusi untuk mendorong gencatan senjata global. Hal itu diambil agar semua pihak, khususnya pemerintah di negara atau wilayah yang tengah didera konflik, dapat berkonsentrasi mengatasi pandemi.
Indonesia secara aktif terlibat dalam lahirnya resolusi itu. Indonesia pun terlibat dalam mekanisme vaksin global, Covax. Sembari mengamankan vaksin untuk kebutuhan dalam negeri, Indonesia pun mendorong akses yang setara pada vaksin, terutama untuk negara-negara miskin.
Baik melalui pertemuan yang digelar secara daring maupun pertemuan langsung, Indonesia aktif mewujudkan misi itu. Bahkan, untuk isu vaksin, sejumlah pejabat tinggi Indonesia, seperti Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi dan Menteri BUMN Erick Thohir, bertemu langsung dengan sejumlah pihak, baik di China maupun Uni Emirat Arab, guna memastikan tersediaan vaksin untuk kebutuhan nasional.
Diplomasi
Meskipun dihadapkan pada pembatasan wilayah, peran diplomasi tampak makin relevan. Optimalisasi peran diplomasi di era pandemi, baik melalui daring maupun pertemuan langsung, dinilai akan banyak berpengaruh pada bagaimana pandemi dan dampaknya diantisipasi.
Guru Besar Ilmu Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan Aleksius Jemadu menyatakan, ada sejumlah unsur untuk menjaga proses diplomasi tetap kredibel, terutama di era pandemi. Pertama, ucapan diplomat harus berbasis data lapangan yang akurat, bukan asumsi apalagi prasangka, karena hubungan baik antarnegara itu dibangun tidak terjadi dengan sendirinya. Selain itu, perlu koordinasi agar pejabat pemerintah tak membuat pernyataan yang saling kontradiktif dan perlu ada jalur diplomasi informal agar yang rumit bisa diselesaikan tanpa gaduh.
Peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Dewi Fortuna Anwar, melihat proses diplomasi saat ini justru menjadi lebih substantif, termasuk pertemuan yang digelar secara telekonferensi.
Meskipun tidak seefektif pertemuan langsung, optimalisasi pertemuan atau perundingan melalui daring, menurut Dewi, dapat mengurangi banyak pertemuan formal sebagaimana umum terjadi sebelumnya. ”Pembicaraan menjadi lebih efektif, langsung pada isu-isu substantif, jadi mengurangi noise,” kata Dewi.
Secara terpisah, hal senada dikatakan oleh Kepala Departemen Hubungan Internasional Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Shafiah Muhibat. Sejak munculnya pandemi Covid-19 terjadi perubahan yang cukup fundamental, khususnya dalam diplomasi multilateral, salah satunya jamak pertemuan digelar melalui daring.
”Pascapandemi pun dengan adanya vaksin saya rasa tidak akan serta-merta mengembalikan diplomasi seperti sediakala. Hal ini perlu diantisipasi oleh kementerian luar negeri, tidak saja di Indonesia, tetapi juga di negara-negara lain. Terbentuknya jejaring baru, yaitu diplomasi telekonferensi yang muncul karena recognized needs, akan mengubah cara ataupun pola diplomasi, termasuk diplomasi multilateral,” tulis Shafiah melalui Whatsapp.
Namun, untuk diplomasi yang melibatkan negosiasi khusus, seperti negosiasi perbatasan untuk menentukan batas wilayah, menurut Shafiah, pertemuan langsung di antara kelompok kerja tetap lebih menjanjikan.
Terkait diplomasi di tengah pandemi Covid-19, Dewi berpendapat, ada satu faktor utama yang saat ini tidak dapat diabaikan, yaitu efektivitas penanganan pandemi di dalam negeri. Faktor itu menjadi penting terutama dalam upaya membangun kepercayaan diri antarnegara.
”Ketika terjadi pembatasan wilayah, sejatinya yang dilihat bukan tentang ras, agama, atau soal kaya-miskin, melainkan seberapa efektif satu negara mengatasi pandemi di wilayah mereka. Travel bubble akan terjalin dengan mudah di antara negara-negara yang secara efektif berhasil mengendalikan penularan virus korona,” kata Dewi.
Meskipun pada level pejabat tinggi lalu lintas antarnegara masih dimungkinkan di tengah pandemi, Dewi menegaskan, efektivitas dan keberhasilan mengendalikan pandemilah yang menjadi kunci untuk mengembangkan kerja sama lebih luas, baik pada bidang kerja sama maupun jumlah negara yang terlibat.
Merujuk pada pendapat itu, kerja sama antarlembaga dan instansi di dalam negeri untuk memastikan pandemi terkendali—baik melalui penelusuran kasus maupun tes massal dan vaksin—menjadi sangat penting. Sebab, tidak dapat dimungkiri, data kasus baru menjadi perhatian penting banyak pihak di dunia saat mengambil keputusan. Kemunculan varian baru Covid-19 di Inggris, misalnya, memicu sejumlah negara menutup perbatasan mereka.
Fakta itu menjadi pelajaran berharga, bagaimana sejarah pandemi ini hendak kita tulis.