Konflik Koalisi Arab Vs Qatar Jadi Agenda Utama Pertemuan Dewan Kerja Sama Teluk
Krisis Teluk yang dipicu boikot Arab Saudi dan beberapa negara lain terhadap Qatar menjadi agenda utama pertemuan Dewan Kerja Sama Teluk yang digelar di Arab Saudi pekan depan.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
AL-ULA, MINGGU — Negara-negara Teluk akan menggelar pertemuan di Al-Ula, kota di Barat Daya Arab Saudi, Selasa (5/1/2021). Penyelesaian krisis terutama perselisihan antara koalisi negara-negara Teluk yang dipimpin Arab Saudi dan Qatar akan menjadi agenda utama Dewan Kerja Sama Teluk tersebut.
Sejak 2017 Riyadh memimpin koalisi negara-negara Teluk memutuskan hubungannya dengan Doha, menuduh Doha terlalu dekat dengan Teheran dan mendukung kelompok radikal. Qatar menyangkal tuduhan tersebut.
Sementara Washington telah meningkatkan tekanannya terhadap negara-negara yang memberlakukan apa yang Qatar sebut sebagai ”blokade” untuk menyelesaikan krisis tersebut. Washington berkeras bahwa persatuan Teluk diperlukan untuk mengisolasi saingan AS, yaitu Iran.
Sementara sumber-sumber di Teluk mengatakan, kesepakatan atas pembicaraan lebih lanjut dan langkah-langkah membangun kepercayaan yang terbatas telah siap. Namun, belum semua negara menandatanganinya.
Belum jelas apakah Emir Qatar Sheikh Tamim bin Hamad Al-Thani yang sejak tahun 2017 tidak hadir akan menghadiri pertemuan kali ini.
Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) yang dibentuk saat puncak perang Irak-Iran Mei 1981 dan dua tahun setelah revolusi Islam Iran ini merupakan blok yang terdiri atas negara-negara yang melakukan boikot, yaitu Bharain, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab, serta negara netral, yakni Kuwait, Oman, dan Qatar.
Keenam negara yang mayoritas wilayahnya adalah gurun memiliki total populasi 52 juta jiwa, separuhnya merupakan ekspatriat. Hanya Kuwait dan Bahrain yang memilih parlemen dengan kekuasaan legislatifnya.
Meski banyak upaya diversifikasi, ekonomi negara GCC tetap sangat bergantung pada minyak yang menyumbang 70-90 persen penerimaan negara. Keenam negara itu menyumbang 20 persen produksi minyak dunia.
Setelah memutuskan hubungannya dengan Qatar pada Juni 2017, aliansi negara-negara yang dipimpin Arab Saudi memaksa ekspatriat Qatar untuk keluar, menutup wilayah udaranya dari pesawat Qatar, dan menutup perbatasan juga pelabuhan mereka, serta memisahkan sejumlah keluarga berkebangsaan campuran.
Negara-negara yang melakukan boikot kemudian mengeluarkan daftar 13 tuntutan kepada Doha, termasuk penutupan saluran televisi Al Jazeera, kesepakatan pembiayaan teror, dan penutupan pangkalan militer Turki di Qatar. Qatar belum secara terbuka mengabulkan tuntutan tersebut.
Langkah AS
Setelah keluar dari kesepakatan nuklir Iran di tahun 2018, Gedung Putih telah meningkatkan tekanannya kepada Teheran. November lalu, Penasihat Keamanan Nasional AS Robert O\'Brien mengatakan bahwa mengizinkan pesawat Qatar terbang melintasi wilayah udara Arab Saudi melalui ”jembatan udara” merupakan prioritas pemerintahan Trump.
Sebagai imbalannya, para analis menyarankan Qatar agar sepakat menurunkan intensitas liputannya tentang Arab Saudi oleh medianya, termasuk Al Jazeera. ”Mereka akan mengumumkan kesepakatan awal yang kemungkinan besar dihadiri emir,” kata Asisten Profesor Andreas Krieg dari King\'s College London. ”Bahrain belum menandatangani kesepakatan itu.”
Berulang kali Bahrain bentrok dengan Qatar terutama ketika menegakkan batas-batas maritimnya. Sejumlah insiden dalam beberapa bulan terakhir muncul, yaitu penjaga pantai Qatar mencegah kapal Bahrain.
Dalam surat keberatannya yang ditujukan pada Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Qatar menyebutkan bahwa Bahrain kemudian menerbangkan empat jet tempurnya di atas wilayah perairan Qatar pada 9 Desember 2020.
Menurut Andreas, Bahrain berperan sebagai ”proksi.” Sementara UEA dan Saudi merasakan tekanan dari AS, mereka dapat memanfaatkan Bahrain sebagai pengganggu untuk terus menunjukkan ketidakpuasan mereka dengan Qatar.
Para pakar telah memperingatkan bahwa UEA bisa menjadi perusak atas upaya rekonsiliasi di kawasan.
Atmosfer baru
Menteri Luar Negeri Uni Emirat Arab Anwar Gargash menulis di Twitter pada 22 Desember 2020 bahwa ”atmosfer politik dan sosial di Teluk berusaha mengakhiri krisis Qatar” tapi mengeluh atas media Qatar, keluhan lama dari negara-negara yang melakukan boikot.
Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan menyatakan, resolusi krisis diplomatik Teluk sudah terlihat. Semua pemerintahan terlibat ”langsung” dan kesepakatan akhir akan segera tercapai.
Mesir dan UEA telah memberikan dukungan publik mereka terhadap negosiasi walaupun sumber-sumber diplomatik menyebutkan bahwa UEA sebenarnya enggan berkompromi.
Potensi mencairnya ketegangan muncul ketika negara-negara Teluk bersiap menyambut pemerintahan AS di bawah kepemimpinan Joe Biden.
Menteri Luar Negeri Kuwait Sheikh Ahmed Nasser al-Mohammed Al-Sabah, yang memimpin upaya mediasi, mengatakan, semua pihak telah menyatakan keinginannya mencapai ”kesepakatan akhir” selama ”diskusi yang produktif” baru-baru ini yang juga diikuti AS.
Beberapa usaha mediasi sebelumnya untuk menengahi rekonsiliasi antara Qatar yang merupakan mitra AS dan negara-negara pesaingnya telah terbukti tidak membuahkan hasil yang nyata. (AFP)