Iran Berniat Memperkaya Uranium hingga 20 Persen
Teheran mengumumkan rencana pengayaan uranium hingga tingkat kemurnian 20 persen, jauh di atas level yang diizinkan Badan Tenaga Atom Internasional.
TEHERAN, SABTU — Badan Tenaga Atom Internasional mengumumkan rencana Pemerintah Iran untuk memproduksi uranium yang diperkaya dengan kemurnian hingga 20 persen, jauh melampaui ambang batas yang ditetapkan dalam Kesepakatan Wina 2015.
Langkah tersebut dipercaya sebagai tindakan balasan terhadap Pemerintah Amerika Serikat dan Israel. Sebab, dua negara ini terus menekan dengan sanksi ekonomi dan pembunuhan para petinggi Iran dalam beberapa tahun terakhir.
”Iran telah memberitahu IAEA (Badan Tenaga Atom Internasional) tentang niatnya untuk memperkaya uranium pada tingkat hingga 20 persen di pabrik bawah tanah Fordow, guna mematuhi undang-undang yang baru-baru ini disahkan Parlemen Iran,” kata juru bicara IAEA, sebagaimana dilaporkan AFP, Sabtu ini.
Surat pemberitahuan Iran tertanggal 31 Desember 2020 itu, yang dikirimkan kepada IAEA, hanya menyebutkan tentang rencana pengayaan. Tidak disebut secara pasti kapan kegiatan pengayaan ini akan dimulai.
Baca Juga: Iran Setuju IAEA Inspeksi Fasilitas Nuklirnya
Rencana Teheran ini pertama kali terungkap ke publik setelah Duta Besar Rusia untuk IAEA Mikhail Ulyanov menginformaikan hal ini melalui Twitter. Ulyanov sendiri menyatakan, informasi rencana ini mengutip laporan yang disampaikan Kepala IAEA Rafael Grossi kepada Dewan Gubernur IAEA. Laporan itu juga ditulis seorang jurnalis The Wall Street Journal.
Keputusan menaikkan pengayaan kemurnian uranium hingga 20 persen diambil Pemerintah Iran setelah parlemen mengesahkan RUU, yang kemudian disetujui oleh pengawas konstitusional. Pengayaan diharapkan bisa menekan Eropa dan AS agar memberikan keringanan sanksi.
Tindakan itu juga berfungsi sebagai tekanan menjelang pelantikan Joe Biden. Presiden AS terpilih yang menyatakan ingin kembali ikut dan dalam Rencana Aksi Komprehensif Bersama (Joint Comprehensive Plan of Action/JCPOA) setelah Presiden Donald Trump keluar dari kesepakatan itu pada 2018.
Alireza Miryousefi, juru bicara misi Iran untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, menyebut surat itu ”cukup jelas”. Namun, ia menolak menjawab pertanyaan tentang kapan pengayaan uranium hingga 20 persen itu akan dimulai.
Baca Juga: Desakan AS untuk Pemberlakuan Lagi Sanksi atas Iran Ditentang Banyak Negara
Sejak kesepakatan JCPOA gagal, Iran telah melanjutkan pengayaan di Fordow, dekat kota suci Syiah, Qom, sekitar 90 kilometer (55 mil) barat daya Teheran.
Terlindung oleh pegunungan, Fordow dikelilingi oleh senjata antipesawat dan benteng pertahanan lainnya. Fasilitas itu seukuran lapangan sepak bola, cukup besar untuk menampung 3.000 sentrifugal. Ini cukup kuat untuk membuat pejabat AS curiga itu bahwa Fordow memiliki tujuan militer ketika mereka mengekspos situs itu ke publik pada 2009.
Menurut laporan IAEA yang terbit pada November, Teheran telah memperkaya uranium ke tingkat yang lebih besar dari batas yang ditentukan dalam perjanjian Vienna (3,67 persen), tetapi tidak melebihi ambang batas 4,5 persen.
Laporan itu juga menyebut, hasil pemeriksaan menilai produksi yang dilakukan masih sesuai dengan ketentuan badan tersebut.
Kesepakatan JCPOA pada 2015 membuat Iran setuju untuk membatasi pengayaannya dengan imbalan keringanan sanksi. Kesepakatan itu juga menyerukan agar Fordow diubah menjadi fasilitas penelitian dan pengembangan.
Baca Juga: Iran dan Eropa Berupaya Selamatkan Perjanjian Nuklir 2015
Dengan kemampuannya sekarang ini, para ahli menilai, Iran sekarang memiliki cukup persediaan uranium yang diperkaya untuk setidaknya dua senjata nuklir jika Teheran memilih untuk mengembangkannya. Iran mengklaim dan mempertahankan bahwa program nuklirnya untuk tujuan damai.
Namun, telah terjadi kekacauan sejak pembunuhan ahli nuklir Iran, Mohsen Fakhrizadeh, pada akhir November, yang diduga dilakukan oleh badan intelejen Israel dengan dukungan Pemerintah AS. Dalam pandangan seorang diplomat, ini adalah sebuah beban tambahan untuk Iran.
Ketegangan pada Peringatan Kematian Jenderal Soleimani
Pengumuman Iran bertepatan dengan peringatan setahun serangan pesawat nirawak AS yang menewaskan Mayor Jenderal Qasem Soleimani di Baghdad, 3 Januari 2020. Soleimani adalah perwira militer senior Iran di tubuh Pasukan Pengawal Revolusi Islam dan sejak 1998 menjadi Komandan Pasukan Quds, divisi yang bertanggung jawab untuk operasi ekstrateritorial Iran.
Serangan itu kemudian membuat Iran membalas dengan meluncurkan serangan rudal balistik yang melukai puluhan tentara AS di Irak. Teheran juga mengklaim telah secara tidak sengaja menembak jatuh sebuah pesawat penumpang Ukraina, sesaat setelah lepas landas dari Bandara Internasional Teheran pada 8 Januari 2020, sehingga menewaskan 176 orang di dalamnya.
Komandan Tertinggi Pasukan Garda Revolusi Iran Jenderal Hossein Salami, dalam sebuah kegiatan memperingati terbunuhnya Soleimani, menyatakan bahwa negaranya sepenuhnya siap untuk menanggapi setiap tekanan militer AS karena ketegangan antara Teheran dan Washington tetap tinggi di hari-hari memudarnya pemerintahan Presiden AS Donald Trump.
Baca Juga: Kematian Soleimani Bisa Timbulkan Pergolakan Baru di Timur Tengah
”Hari ini, kami tidak memiliki masalah atau kekhawatiran untuk menghadapi kekuatan apa pun. Kami akan memberikan kata-kata terakhir kami kepada musuh kami di medan perang,” kata Salami, tanpa menyebut AS secara langsung. Beberapa pejabat tinggi Iran, bersama dengan Suriah, Palestina, dan sekutu Lebanon serta anggota keluarga Soleimani, hadir.
Pengganti Soleimani, Brigadir Jenderal Esmail Ghaani, menyatakan bahwa Iran tidak takut menghadapi negara-negara kuat, kembali tanpa menyebut langsung AS. Dia juga memperingatkan bahwa ”pencari kebebasan” di AS bisa membalas serangan yang menewaskan Soleimani, bahkan mengatakan kepada Amerika bahwa ”di dalam rumah Anda sendiri, mungkin ada orang yang ingin menanggapi kejahatan yang Anda lakukan”.
Kepala lembaga peradilan Iran, Ebrahim Raisi, mengatakan, semua orang yang berperan dalam pembunuhan Soleimani tidak akan dapat ”melarikan diri dari hukum dan keadilan”, bahkan jika mereka adalah seorang Presiden AS.
Selain itu, Kementerian Luar Negeri Iran di Twitter mengatakan, Iran tidak akan berhenti sampai pelaku pembunuhan Soleimani dibawa ke pengadilan.
”Dengan melakukan tindakan teror yang sangat mendambakan terhadap Jenderal Soleimani, AS melanggar hukum internasional dan Piagam PBB dalam pelanggaran terang-terangan terhadap kedaulatan Irak,” kata akun Twitter kementerian.
”Pelanggaran hukum AS secara penuh. #Iran tidak akan berhenti sampai membawa mereka yang bertanggung jawab ke pengadilan.”
Baca Juga: Pascapembunuhan Arsitek Nuklir Iran, Berbagai Pihak Tak Ingin Eskalasi Konflik
Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif menyatakan, Washington akan memikul tanggung jawab atas konsekuensi dari kemungkinan ”petualangan” di wilayah tersebut. Komentarnya datang selama panggilan telepon dengan mitranya dari Kuwait, menurut situs kementerian.
Militer AS telah mengirimkan pesawat pembom B-52 untuk terbang di atas Iran dan mengirimkan kapal selam nuklir ke Teluk Persia. Seorang pejabat pemerintahan Presiden Trump menyebutkan, langkah itu untuk mencegah kemungkinan serangan Iran pada peringatan pembunuhan Soleimani.
Sementara itu, Jumat kemarin, layanan berbagi video Iran merilis lagu berbahasa Inggris, yang direkam di luar negeri, memuji Soleimani. Rekaman pemakaman Soleimani dan beberapa video dirinya di medan perang juga ditampilkan. (AP/AFP)