Dunia Arab Butuh Solusi ”Out of the Box”
Dunia Arab membutuhkan solusi ”out of the box” untuk mengatasi persoalan yang sudah sangat akut di kawasan tersebut.
Menteri Luar Negeri Mesir periode 2013-2014, Nabil Fahmy, dalam forum dialog di Cairo Center for Strategic Studies, beberapa waktu lalu, menegaskan, dunia Arab kini butuh solusi out of the box atau solusi terobosan untuk mengatasi persoalan mereka yang sangat akut.
Fahmy mengatakan, solusi yang standar saja tidak mungkin lagi mampu menyelesaikan krisis dunia Arab saat ini. Namun, sayangnya, bangsa Arab tidak memiliki paket strategi bersama menghadapi persoalan mereka.
Sebaliknya, ujar Fahmy, bangsa Arab selama ini hanya bersikap reaksioner, bukan inisiator dalam menghadapi tantangan yang semakin pelik saat ini.
Fahmy lalu mengusulkan, salah satu bentuk solusi out of the box itu adalah menghidupkan kembali nasionalisme Arab dengan pijakan filosofi baru, seperti diletakkannya strategi dengan konsep inklusif yang menerima pluralisme dalam ideologi, politik, dan budaya. Ia menyerukan, bangsa Arab harus segera meninggalkan pijakan nasionalisme Arab yang hanya bersandar pada romantisisme belaka, seperti yang terjadi selama ini.
Dengan strategi baru yang out of the box, Fahmy menyampaikan optimismenya atas masa depan dunia Arab karena dunia Arab memiliki sumber daya alam dan manusia yang kuat. Menurut Fahmy, sekitar 65 persen penduduk Arab saat ini adalah usia muda yang menjadi kekuatan sumber daya manusianya.
Pemikiran Fahmy tentang solusi krisis ini sesungguhnya adalah aspirasi kalangan kaum cendekiawan Arab yang sering mengungkapkan keprihatinan atas kondisi bangsa mereka akhir-akhir ini. Banyak cendekiawan Arab kini menulis artikel di media massa dan menyampaikan makalah di forum-forum seminar untuk mengungkapkan aspirasi keprihatinannya itu.
Sering disebut bangsa Arab kini sedang melalui perjalanan sejarahnya yang paling buruk dalam sejarah modern bangsa Arab. Bahkan, peneliti dari Pusat Kajian Politik dan Strategi Al-Ahram (ACPSS) di Mesir, Jamal Abdul Jawad, menyebutkan, dunia Arab kini sudah bubar.
Menurut Jawad, bangsa Arab sebagai kelompok bangsa yang solid dengan berpijak di atas fondasi negara modern berdasarkan kesamaan bahasa dan budaya sedang menghadapi ancaman kepunahan. Sejumlah negara Arab, seperti Libya, Yaman, Suriah, dan Irak, hanya tinggal nama saja yang secara substansi sebenarnya sudah bubar sebagai negara.
Negara Irak sudah bubar sejak invasi AS ke negara itu pada 2003, yang berhasil menggulingkan rezim Saddam Hussein. Pemerintah Irak setelah tahun 2003 tidak pernah lagi mampu menguasai semua wilayah Irak. Pemerintah pusat Irak hanya menguasai kota Baghdad dan sekitarnya.
Baca juga: Isu Geopolitik dalam Hubungan Resmi Israel-UEA
Irak bagian barat secara de facto dikontrol milisi-milisi Sunni. Irak selatan dikuasai milisi-milisi Syiah. Irak utara dikontrol pemerintah otonomi Kurdistan.
Bahkan, pemerintah pusat Baghdad pun masih diragukan mampu mengontrol keamanan di kota Baghdad. Keraguan itu muncul setelah sedikitnya delapan roket menghantam kantor Kedubes AS di zona hijau Baghdad yang terkenal sangat terjamin keamanannya pada 20 Desember 2020. Diduga kuat milisi loyalis Iran di Baghdad yang melancarkan serangan dengan roket atas kantor kedubes AS itu.
Perdana Menteri Irak Mustafa al-Kadhimi, Senin (28/12/2020), segera mengirim utusan khusus, Abu Jihad al-Hashemi, ke Teheran, untuk melobi para pejabat tinggi Iran agar membantu menciptakan keamanan di Baghdad.
Irak sangat khawatir ada eskalasi serangan atas sasaran AS di Irak oleh milisi loyalis Iran menjelang peringatan satu tahun tewasnya komandan divisi Al-Quds dari satuan elite Garda Revolusi Iran, Mayjen Qassem Soleimani. Soleimani tewas pada 3 Januari 2020 oleh serangan pesawat tanpa awak (drone) AS dekat Bandara Internasional Baghdad.
Jika milisi loyalis Iran di Baghdad tidak segera dikendalikan, terbuka kemungkinan kota Baghdad akan menjadi area perang terbuka AS-Iran. Tentu hal itu tidak diinginkan pemerintah pusat Baghdad. Kunjungan utusan khusus PM Irak ke Teheran itu menunjukkan bahwa pemerintah Baghdad tidak mampu menciptakan keamanan di kota Baghdad tanpa koordinasi dengan Iran.
Situasi lebih buruk terjadi di Libya, Yaman, dan Suriah yang dilanda perang saudara sejak 2011. Negara bangsa di tiga negara Arab tersebut secara de facto telah buyar.
Baca juga: Abraham Accord dan Pemimpin Generasi Baru Arab Teluk
Situasi di Lebanon tidak kalah terpuruknya. Peristiwa ledakan dahsyat di pelabuhan Beirut pada 4 Agustus 2020, yang menewaskan 204 orang dan 6.500 luka-luka, menunjukkan adanya krisis politik dan keamanan di negeri itu yang sangat pelik.
Sampai hari ini, Lebanon gagal membentuk pemerintahan baru setelah mundurnya PM Mustapha Adib pada 26 September lalu. Adib menggantikan PM Hassan Diab yang mengundurkan diri segera setelah ledakan dahsyat di Beirut.
Lebanon pun kini hidup tanpa pemerintahan. Hal itu tentu akan semakin menambah beban perekonomian Lebanon yang sudah dililit utang sekitar 90 miliar dollar AS atau 170 persen dari PDB. Lebanon dengan penduduk sekitar 6,8 juta jiwa sudah serta-merta menjadi negara bangkrut secara ekonomi, politik, dan keamanan.
Aljazair juga mengalami krisis legitimasi atas pemerintahannya. Presiden baru Aljazair, Abdelmajid Tebboune, yang menjabat presiden sejak Desember 2019, masih belum mendapat pengakuan dari sebagian kekuatan politik di negara itu.
Hal itu akibat proses masa transisi setelah lengsernya Presiden Abdelaziz Bouteflika pada 2 April 2019—setelah diterpa musim semi Arab—belum disepakati oleh semua kekuatan politik. Maka, terjadi pula krisis politik di Aljazair saat ini.
Lebih ironis lagi, selain banyak negara Arab dilanda krisis dalam negeri, mereka terlibat pula dalam pertarungan geopolitik yang menyebabkan sesama negara Arab saling bertarung dan bermusuhan. Misalnya, ada poros Arab Saudi, Mesir, Bahrain, dan Uni Emirat Arab (UEA), yang dikenal kontra gerakan musim semi Arab yang menuntut demokratisasi di dunia Arab. Ada pula poros Qatar, pemerintah Tripoli di Libya, dan Tunisia yang pro-gerakan musim semi Arab. Poros ini didukung Turki.
Adanya krisis politik dan ekonomi di sejumlah negara Arab, serta terlibatnya beberapa negara Arab dalam pertarungan geopolitik, membuka pintu bagi intervensi negara besar ke dunia Arab, seperti Turki, Iran, Rusia, dan Amerika Serikat.
Akibat situasi itu, Liga Arab sebagai payung organisasi regional bangsa Arab kini ikut mati suri. Pihak yang paling dirugikan akibat terpuruknya situasi dunia Arab itu adalah Palestina yang secara historis menjadikan bangsa Arab sebagai sandaran utama perjuangan.
Palestina semakin merasa dirugikan setelah munculnya fenomena Abraham Accord (kesepakatan Ibrahim) antara Israel dan sejumlah negara Arab (Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko, dan Sudan).
Menghadapi situasi semakin terpuruknya dunia Arab saat ini, maka para pemikir Arab perlu segera mencari solusi terobosan atau solusi out of the box untuk mengatasi keterpurukan yang sangat akut itu.