Nota kesepahaman damai AS dan Taliban di Doha, Qatar, mengakhiri perang kedua pihak yang sudah berlangsung lebih dari dua dekade. Namun, kesepakatan itu belum mengakhiri konflik dan kekerasan di Afghanistan.
Oleh
Mahdi Muhammad
·6 menit baca
Nota kesepahaman damai tanggal 29 Februari 2020, yang ditandatangani Amerika Serikat dan kelompok Taliban di Doha, Qatar, memang mengakhiri perang kedua pihak yang sudah berlangsung lebih dari dua dekade. Namun, hal itu baru di atas kertas dan hanya berlaku bagi pasukan AS. Kesepakatan tersebut belum mengakhiri konflik dan kekerasan di Afghanistan.
Di lapangan, anggota Taliban masih terus membombardir militer dan polisi Afghanistan. Bahkan, warga dan petugas kesehatan atau petugas kemanusiaan yang seharusnya dilindungi dari konflik berdarah berdasarkan hukum humaniter internasional kerap menjadi sasaran atau target kekerasan bersenjata. Rumah sakit bersalin hingga ruang kelas atau sekolah, tempat lahir dan tumbuh kembang generasi baru Afghanistan, sering kali menjadi target kekerasan bersenjata. Puluhan jiwa menjadi korban dan ratusan orang terluka.
Itu sebabnya, harapan rakyat Afghanistan untuk segera menghirup udara perdamaian mulai menipis. Survei yang dilakukan lembaga The Institute of War and Peace Studies, lembaga nirlaba berbasis di Afghanistan terhadap 8.627 responden, mengindikasikan adanya penurunan harapan secara drastis terhadap perdamaian di negara itu. Dari sebelumnya 86 persen responden berharap perdamaian bakal terwujud di Afghanistan, jumlah mereka tinggal 57 persen.
Sebelum kesepakatan damai antara AS dan Taliban ditandatangani, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri juga terlibat dalam mendorong para pihak berkonflik di Afghanistan melakukan gencatan senjata, seperti yang diharapkan oleh rakyat negeri itu. Namun, gencatan senjata hanya terjadi pada hari-hari tertentu, seperti saat perayaan Idul Fitri, dan hanya berlangsung tiga hari. Sebelum dan sesudahnya, serangan demi serangan terus terjadi.
Setelah AS dan Taliban berdamai, upaya penyelesaian konflik di negara itu dilanjutkan dengan perundingan intra-Afghanistan antara Pemerintah Afghanistan dan Taliban. Perundingan tersebut digelar setelah Pemerintah Afghanistan memenuhi tuntutan Taliban untuk membebaskan tidak hanya 5.000 sandera, tetapi juga sandera dari kelompok mereka yang ditahan otoritas keamanan Afghanistan karena terlibat kasus pembunuhan terhadap warga negara asing dan kejahatan tingkat tinggi.
Perundingan intra-Afghanistan mengalami kemajuan pada awal Desember ini saat kedua pihak menyepakati aturan dan prosedur perundingan. Dokumen kesepakatan sebanyak tiga halaman ini jadi fondasi jalannya perundingan intra-Afghanistan ke depan.
”(Kesepakatan) ini merupakan langkah penting dalam proses yang pada ujungnya menghasilkan kesepakatan damai yang bertahan lama dan inklusif di Afghanistan,” demikian pernyataan bersama menlu Indonesia, Jerman, Norwegia, dan Uzbekistan menanggapi kesepakatan tersebut. ”Kami mendorong kedua pihak terus saling berhubungan dengan penuh kepercayaan, konstruktif, dan siap mencapai titik temu. Kami mengimbau kedua pihak memprioritaskan penghentian kekerasan.”
Harapan pada Indonesia
Namun, untuk mengurai dan menyelesaikan konflik serumit di negaranya, Pemerintah Afghanistan memutuskan menggunakan pihak ketiga agar bisa menjadi mediator perundingan antara mereka dan kelompok Taliban. Dalam hal ini, Kabul menilai Indonesia menjadi salah satu pihak yang mampu menjembatani kedua pihak bertikai ini.
Seperti dikutip dari laman kantor berita Bakhta, Presiden Afghanistan Ashraf Ghani dalam pertemuannya dengan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla dan rombongan, Jumat (25/12/2020), menyampaikan harapan agar Indonesia menjadi mediator perundingan antara mereka dan Taliban. Menurut Ghani, Indonesia, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, bisa berkontribusi dalam proses perdamaian di negaranya. Kalla, yang juga pernah menjadi juru damai di sejumlah wilayah konflik di Indonesia, seperti di Aceh dan Poso, diminta memimpin proses itu.
Permintaan serupa disampaikan Ketua Dewan Tinggi Rekonsiliasi Nasional Afghanistan Abdullah Abdullah. Dalam pandangannya, Indonesia dan Afghanistan memiliki kesamaan pandangan yang menilai peran penting ulama dalam kehidupan keseharian.
Seusai pertemuan, Presiden Ghani mengajak Kalla, yang hadir sebagai Ketua Umum Dewan Mesjid Indonesia (DMI), dan rombongan melaksanakan shalat Jumat di Masjid Dulgushah, masjid di dalam kompleks Arg, kompleks Istana Kepresidenan Afghanistan.
Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia KH Muhyiddin Junaidi, yang ikut serta dalam rombongan Kalla ke Afghanistan, menuturkan bahwa dalam perbincangannya dengan Abdullah Abdullah dan timnya, diketahui bahwa Dewan Tinggi Rekonsiliasi Nasional (High Peace Council/HPC) tidak bisa berkomunikasi langsung dengan Taliban. Meski Abdullah memiliki darah Pashtun, sama seperti sebagian besar pendiri Taliban, menurut Muhyiddin, HPC memiliki kesulitan menembus ”barikade” komunikasi dengan Taliban.
Muhyiddin menilai, ada arogansi dalam tubuh kelompok Taliban. Setidaknya ada dua sebab, yaitu mereka berhasil bertahan dalam peperangan melawan AS dan kini kembali melakukan perlawanan sengit terhadap pemerintahan Presiden Ghani. Faktor kedua, mereka mampu menguasai lebih dari separuh wilayah Afghanistan.
Namun, kini, sebagian besar dari ”kelompok pemikir” Taliban, kata Muhyiddin, sudah mulai lelah. Faktor umur, kata lulusan Universitas Libya itu, membuat pola pikir mereka berubah. ”Mereka tidak terlalu ngotot sekarang. Mereka sudah bertransformasi. Mereka juga sudah siap melibatkan kaum perempuan termasuk dalam kehidupan berorganisasi,” kata Muhyiddin.
Yang menjadi masalah adalah mereka masih buta, sama sekali tidak memiliki pengalaman bagaimana hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan keseharian. Mereka membutuhkan contoh bagaimana laki-laki dan perempuan bisa berada pada posisi yang sama, setara, dalam kehidupan sehari-hari ataupun kehidupan politik sebuah negara.
Pertarungan wacana itu, menurut Menteri Agama dan Haji Afghanistan Mohammad Qasim Halimi, menyebabkan perundingan tersendat meski ada masalah besar lainnya, seperti soal model pemerintahan Islam yang cocok bagi Afghanistan. Ujung perbedaan pendapat itu di lapangan berbentuk tindak kekerasan, saling bunuh antara sesama rakyat Afghanistan.
”Konflik di Afganistan akibat adanya perbedaan mengenai model pemerintahan Islam mana yang cocok bagi negara kami. Untuk itu, kami ingin semua itu diakhiri dan kami ingin mendiskusikan untuk segera menentukan bentuk pemerintahan yang cocok,” kata Halimi.
Peran ulama Indonesia
Pada posisi inilah, menurut Kalla, ulama-ulama Indonesia bisa mengambil peran. Bersama-sama dengan ulama di negara-negara sekeliling Afghanistan, seperti Pakistan, serta ulama se-Asia, ulama Indonesia bisa mengambil peran penting untuk membuka paradigma baru mengenai penghentian konflik di Afghanistan. Dalam konteks itu, peran yang bisa dimainkan para ulama Indonesia menjadi bagian dari diplomasi kekuatan lunak (soft power) yang dijalankan Indonesia di Afghanistan.
Muhyiddin menilai, ulama-ulama Asia bisa berperan membuka pikiran para petinggi dan pemuka agama Taliban bahwa dalam ajaran Islam sangat dianjurkan untuk menghentikan peperangan, menghilangkan nyawa orang lain, apalagi sesama Muslim sebagai sebuah hal yang dilarang. ”Ini yang selama ini belum bisa diwacanakan dengan baik oleh pemerintah Afghanistan,” kata Muhyiddin.
Hamid Awaludin, mantan Menteri Hukum dan HAM yang juga ikut serta dalam rombongan Kalla, mengatakan, membuka pandangan yang lebih luas soal hukum Islam di sebuah negara model negara demokratis itulah yang akan dicoba dalam menjembatani Pemerintah Afghanistan dan kelompok Taliban. Menurut Hamid, perdamaian terbuka lebar karena kedua pihak sama sekali tidak membicarakan mengenai perubahan konstitusi.
Tak hanya melalui tangan para ulama, Kalla mencoba membuka pemikiran para pelajar muda Afghanistan untuk belajar Islam yang moderat di Indonesia. Muhyiddin menambahkan, tidak hanya para pelajar yang dipersilakan datang ke Indonesia dan mempelajari moderasi kehidupan Islam, tetapi juga para ulama Afghanistan.