Kondisi Pengungsi Global Semakin Ruwet, Perlu Solusi Radikal
Orang-orang melarikan diri untuk menghindari konflik atau perang, kekerasan kelompok, terorisme, bencana alam, dan keadaan lain yang mengancam nyawa mereka.
Lonjakan jumlah manusia yang secara terpaksa meninggalkan rumah atau negara mereka dan kompleksitas masalah yang menyertainya telah membentuk lingkaran setan masalah kemanusiaan global hingga akhir 2020. Curahan air mata, cerita nestapa, dan kejadian menakutkan sering mewarnai keseharian mereka.
Umumnya orang-orang itu adalah para pengungsi internal, pengungsi (orang-orang yang melintasi batas antarnegara), dan pencari suaka. Mereka melarikan diri untuk menghindari konflik atau perang, kekerasan kelompok (termasuk kelompok ekstremis), terorisme, bencana alam, dan keadaan lain yang mengancam nyawa mereka.
Krisis kemanusiaan skala penuh sedang berlangsung saat orang-orang melarikan diri dari Tigray, wilayah pusat konflik bersenjata terbaru di Etiopia yang pecah pada November lalu. Selama enam minggu terakhir, lebih dari 52.000 orang telah melarikan diri ke Sudan.
Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) mencatat lebih dari 45.000 orang saat ini sedang ditampung di kamp pengungsian yang sangat buruk di Um Rakoba, Al-Qadarif, Sudan, sejak 11 Desember 2020.
Sebagian besar dari mereka adalah kelompok rentan, yakni perempuan, anak-anak, dan orang lanjut usia. Mereka tinggal di desa-desa perbatasan terpencil atau bersama keluarga di Sudan, yang bersama Etiopia termasuk negara tidak stabil dan minim sumber daya.
Kala pertempuran berkecamuk dan bom menghujani Tigray, Asafu Alamaya memohon putri dan cucu-cucunya melarikan diri ke Sudan. Wanita berusia 80 tahun itu tidak kuat pergi dan ingin mati di rumahnya. Setelah dibujuk, wanita buta itu digendong bergantian dalam perjalanan berjam-jam yang sangat sulit dan melelahkan ke Um Rakoba.
Walagabriel Sium, petani berusia 73 tahun asal Etiopia, juga tidak memiliki stamina untuk mengantre makanan dan air di Um Rakoba. Selama 17 malam hingga akhir pekan lalu, dia tidur di alam terbuka tanpa selimut.
Sementara anak-anak menangis, orang-orang kebingungan karena kesulitan makan dan minum. Alamaya dan Sium merasa hidup ini sangat pahit.
Baca juga: Tiga Utusan Uni Afrika Coba Tengahi Konflik Tigray
Sebelum konflik, Tigray sedang menampung 96.000 pengungsi dari Eritrea, tetangga Etiopia. Di wilayah itu juga ada sekitar 100.000 pengungsi internal yang meninggalkan rumah karena kekerasan dan kelaparan.
Benturan warga lokal
Jauh di utara Etiopia, di benua yang lain, tepatnya di Lebanon, Asia Barat (Timur Tengah), jutaan pengungsi Suriah dalam kesulitan besar. Mereka menghadapi masalah kesehatan, konflik dengan warga lokal, serta lingkungan tinggal yang tidak mendukung. Itu adalah keseharian pengungsi seperti di banyak negara.
Dalam situasi itu, kamp pengungsi Suriah di Miniyeh, Lebanon, dibakar warga lokal, Minggu (27/12/2020), setelah perkelahian antara pengungsi Suriah dan warga lokal di kota Bhannine.
Para pengungsi Suriah di Lebanon sudah sering menjadi sasaran kekerasan warga lokal dan bahkan 270 keluarga pengungsi Suriah diusir pulang dari kota Bsharri, Lebanon, akibat kasus pembunuhan yang diduga dilakukan seorang warga Suriah, November tahun ini.
Baca juga: Setelah Kasus Pembunuhan, Ratusan Warga Suriah Diusir dari Lebanon
Lebanon menampung 1,5 juta pengungsi Suriah atau 30 persen dari 6 juta penduduknya. Angka sebenarnya bisa lebih tinggi karena Lebanon telah menuntut UNHCR agar menghentikan pendaftaran atau penerimaan pengungsi baru pada 2015. Ratusan ribu pengungsi Palestina juga ditampung di negara ini.
Beban Lebanon berat karena belum pulih benar dari luka perang saudara. Keadaan yang buruk bertambah buruk dalam dua tahun terakhir. Menurut survei terbaru, lebih dari 50 persen populasi Lebanon hidup di bawah garis kemiskinan dan 83 persen pengungsi Suriah di Lebanon berada di bawah garis kemiskinan ekstrem.
Warga lokal menjadi sensitif terhadap pengungsi akibat tekanan ketidakstabilan politik, ekonomi memburuk, tingginya pengangguran, dan nilai mata uang Lebanon anjlok tajam. Krisis makin berat setelah pandemi Covid-19 dan ledakan dahsyat di pelabuhan Beirut pada 4 Agustus 2020 yang membuat 300.000 orang mengungsi ke tempat lain di Lebanon.
Krisis multisektor mendorong aksi protes rakyat berskala besar yang pada akhirnya membuat Perdana Menteri Hassan Diab mundur pada 10 Agustus lalu.
Masalah pengungsi Etiopia di Sudan dan pengungsi Suriah di Lebanon adalah wajah pengungsi global yang tersebar di berbagai negara di dunia. Jordania yang menampung ratusan ribu pelarian dari Irak serta Bangladesh yang menerima hampir 1 juta pengungsi Rohingya dari Myanmar juga mengalami tekanan hampir serupa. Begitu pula negara penerima pengungsi lainnya, yakni Turki, Pakistan, Kolombia, dan negara-negara miskin lainnya.
Populasi pengungsi dari tahun ke tahun terus melonjak. Dua hari menjelang peringatan Hari Pengungsi Sedunia pada 20 Juni 2020, UNHCR merilis laporan Global Trends 2019. Pada awal tahun itu, ada 70,8 juta orang mengungsi. Pada akhir 2019 jumlahnya menjadi 79,5 juta orang setelah ada kenaikan 8,7 juta pengungsi baru.
Komisaris Tinggi UNHCR Filippo Grandi berkomentar, angka tersebut tertinggi sejak statistik didata secara sistematis dalam 69 tahun terakhir sejak UNHCR didirikan pada 1951. ”Ini kira-kira 1 persen dari populasi dunia. Kami belum pernah mencapai persentase yang sangat signifikan ini,” kata Grandi dalam situs internal UNHCR.
Baca juga: Pemerintah Desak UNHCR Percepat Penempatan Pencari Suaka
Statistik pengungsi yang dapat diandalkan sulit diperoleh. Namun, UNHCR mencatat, populasi pengungsi global hingga pertengahan 2020 telah melonjak hingga melampaui 80 juta orang, terutama setelah pecah konflik di sejumah negara Asia dan Afrika.
Ada banyak organisasi lokal dan internasional yang berusaha membantu para pengungsi untuk memenuhi kebutuhan darurat atau pokok. Sayangnya, pergerakan sebagian pengungsi tidak terpantau dan bahkan sama sekali kurang atau tidak diperhatikan pemerintah negara asal dan penerima.
Kepala Badan HAM PBB (ONHCHR) Michelle Bachelet mengatakan, pihaknya telah menerima banyak tuduhan pelanggaran hak selama di kamp-kamp pengungsi, termasuk akibat pertempuran di Tigray sejak awal November.
Pelanggaran itu termasuk ”serangan artileri di daerah berpenduduk, penargetan warga sipil yang disengaja, pembunuhan di luar hukum dan penjarahan luas”.
Tawaran solusi
Para pakar dan pegiat kemanusiaan, termasuk Amnesty International dan UNHCR, berharap banyak hal dilakukan untuk menangani masalah kemanusiaan ini. Kurangnya rute yang aman dan legal ke tempat perlindungan terus merenggut nyawa. Pada 2019, 1.885 orang tewas saat mencoba menyeberangi Laut Mediterania. Membuka jalur aman menuju suaka bagi pengungsi adalah salah satu solusi penting.
Ribuan pengungsi Rohingnya, yang melarikan diri dari Myanmar, terkatung-katung di atas kapal di tengah laut antara 2017 dan 2020. Sementara beberapa negara di kawasan bertengkar tentang siapa yang harus membantu.
Kini saatnya orang-orang yang melarikan diri dari perang dan penganiayaan diizinkan melintasi perbatasan, dengan atau tanpa dokumen perjalanan. Amnesty International mengatakan, melarang masuk akan memaksa para pelarian itu mengambil rute berbahaya ke tujuan yang aman untuk mereka.
Baca juga: Lembaga Urusan Pengungsi Diharapkan Lebih Proaktif
Pemukiman kembali semua pengungsi yang membutuhkan harus menjadi perhatian karena merupakan solusi penting lainnya bagi pengungsi yang rentan. Ini termasuk penyintas kasus penyiksaan dan mereka dengan masalah medis serius.
Otoritas negara-negara juga saatnya berhenti menyalahkan pengungsi atas masalah ekonomi dan sosial. Negara-negara kaya agar menepati janji untuk membantu membiayai kehidupan para pengungsi di luar negeri. Hingga saat ini, PBB menerima kurang dari setengah dana yang dibutuhkan.
Akibatnya, banyak pengungsi melakoni pekerjaan berbahaya, merendahkan martabat, atau menyuruh anak-anak mereka untuk mengemis. Sebagian dari sekitar 7,4 juta pengungsi anak rentan akan pelecehan dan eksploitasi.
UNHCR dan Amnesty International menyarankan solusi radikal, kepemimpinan visioner, dan kerja sama global dalam skala yang lebih besar. Negara-negara agar siap menyambut pengungsi dan menempatkan solidaritas di atas perselisihan terkait siapa yang akan menampung.
Advokasi perlu untuk membantu mengubah kebijakan dan layanan yang memengaruhi orang-orang telantar dan tanpa kewarganegaraan di tingkat nasional, regional, dan global. Misi besar seperti ini mustahil terwujud jika tidak ada kerja sama global. (AFP/AP/REUTERS)