50 Jurnalis Terbunuh di 2020, Mayoritas Menjadi Target
Lembaga Reporters Without Borders menyebutkan, 50 jurnalis tewas sepanjang tahun 2020. Sebagian besar jurnalis yang tewas menjadi target pembunuhan atas karya jurnalistiknya.
Oleh
Mahdi Muhammad
·2 menit baca
PARIS, SELASA — Sebanyak 50 jurnalis dari seluruh dunia terbunuh sepanjang tahun 2020. Meski angka ini menurun dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, jumlah jurnalis yang menjadi target pembunuhan meningkat dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Data yang dirilis oleh RSF atau Reporters Without Borders di laman resmi mereka, Selasa (29/12/2020), mencatat, sebanyak 42 jurnalis yang tewas atau 84 persen dari total jurnalis yang tewas sepanjang 2020 menjadi target pembunuhan. Angka ini lebih tinggi sekitar 20 persen dibandingkan dengan tahun 2019.
Meksiko dan India, dalam catatan RSF, menjadi dua negara dengan jurnalis paling banyak menjadi target pembunuhan. Pembunuhan tidak hanya dilakukan dengan senjata api, tetapi juga dilakukan dalam jarak dekat dengan menggunakan senjata tajam, termasuk digunakan untuk memutilasi.
Tahun ini Meksiko dinobatkan sebagai negara yang paling berbahaya bagi jurnalis dan pekerja media. Selama sedikitnya lima tahun terakhir, setiap tahun, tujuh hingga 10 jurnalis tewas dibunuh terkait dengan kerja jurnalistiknya, mulai dari politik, kriminal, sampai peliputan soal kelompok penyelundup obat-obat terlarang.
India, bersaing dengan Pakistan dan Afghanistan, sebagai negara yang paling berbahaya bagi jurnalis. Isu korupsi dan sektarianisme menjadi alasan bagi kelompok yang merasa terganggu dengan kerja-kerja jurnalis mengungkap hal itu ke publik untuk melakukan pembunuhan.
Sekretaris Jenderal RSF Chritophe Deloire mengatakan, beberapa orang mungkin berpikir bahwa kondisi-kondisi itu merupakan bagian dari risiko pekerjaan sebagai seorang jurnalis. ”Tetapi, jurnalis semakin menjadi sasaran saat mereka menyelidiki atau meliput topik yang sensitif. Apa yang diserang adalah hak orang untuk mendapatkan informasi, hak setiap warga,” kata Deloire.
Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres, November lalu, mengatakan, pers yang bebas memainkan peran sangat penting dalam terciptanya perdamaian, keadilan, pembangunan berkelanjutan, dan penegakan hak asasi manusia di seluruh dunia. Adanya perlindungan yang optimal terhadap para jurnalis dan pekerja media menjadi sangat esensial dan penting.
”Ketika jurnalis menjadi sasaran (kekerasan), masyarakat secara keseluruhan membayar dampaknya. Jika kita tidak melindungi jurnalis, kemampuan kita untuk tetap mendapatkan informasi dan membuat keputusan berdasarkan fakta dan bukti di lapangan akan sangat terhambat,” kata Guterres.
Pandemi juga memberikan tantangan tersendiri bagi para jurnalis. Tidak hanya berisiko tertular, pandemi juga membuat para jurnalis menghadapi ancaman tuntutan, penangkapan, pemenjaraan, dan penolakan akses ketika menjalankan kerja jurnalistiknya.
”Ketika jurnalis tidak dapat melakukan pekerjaannya dengan aman, kita kehilangan pertahanan penting terhadap pandemi misinformasi dan disinformasi yang telah menyebar secara daring,” kata Guterres. (AFP)