Perundingan damai intra-Afghanistan yang telah berproses sejak lama terus dinodai serangan bersenjata, termasuk pengeboman.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
Penandatanganan nota kesepakatan damai antara kelompok Taliban dan Pemerintah Amerika Serikat yang berlangsung di Doha, Qatar, 29 Februari 2020, menimbulkan harapan adanya perdamaian di Afghanistan. Namun, seiring perjalanan waktu selama hampir setahun, harapan terhadap perdamaian menipis.
Hasil studi The Institute of War and Peace Studies, sebuah lembaga di Afghanistan yang didukung Uni Eropa dan Swedia, menunjukkan, rakyat Afghanistan mulai kehilangan harapan terhadap perdamaian itu.
Harapan terciptanya perdamaian sempat sangat tinggi mencapai angka 86 persen, ketika studi sebelumnya berlangsung. Harapan ini mulai memudar pada survei kedua, yang berlangsung pada 29 September-8 Oktober, menjadi hanya 57 persen.
Meski tidak menyebut penyebab penurunannya, intensitas kekerasan bersenjata yang terus terjadi diyakini menjadi salah satu penyebab utama ”menurunnya harapan” warga terhadap perdamaian abadi di ”negeri para mullah” ini.
Bom bunuh diri hingga serangan roket tidak hanya terjadi antara otoritas keamanan pemerintah dan Taliban, tetapi juga mengakibatkan warga sipil menjadi korban.
Korban warga sipil tidak hanya jatuh ketika mereka tengah melintasi medan pertempuran, tetapi secara nyata menjadi target serangan. Ruang kelas, sekolah, hingga rumah sakit bersalin—tempat generasi baru Afghanistan lahir—jadi korban serangan.
Adalah keinginan dari banyak pihak, dunia internasional dan khususnya rakyat Afghanistan, untuk menjadikan gencatan senjata sebagai tujuan antara yang paling dibutuhkan saat ini, di samping perdamaian yang sesungguhnya. Hampir 76 persen responden survei menginginkan gencatan senjata sebagai prioritas utama perundingan intra-Afghanistan.
Perlu saling percaya
Semakin maraknya kekerasan bersenjata di Afghanistan mengakibatkan warga memilih Kabul sebagai tempat mengungsi. Warga menilai Kabul sebagai lokasi yang aman. Ternyata tidak juga. Hampir setiap hari terjadi kekerasan bersenjata di Kabul dengan belasan hingga puluhan orang tewas.
Sejak penandatanganan kesepakatan damai, secara berangsur-angsur AS telah menarik pasukannya dari Afghanistan. Bahkan, dari rencana semula menyisakan 4.500 anggota pasukannya di Afghanistan, Presiden AS Donald Trump memutuskan untuk menguranginya menjadi 2.500 orang hingga akhir tahun sebagai bagian kesepakatan.
Kabul juga telah menepati janjinya dengan membebaskan ribuan tahanan dari sejumlah fasilitas penjara milik pemerintah. Meski tidak menjadi bagian dari para pihak yang berunding dalam kesepakatan damai Doha, Pemerintah Afghanistan, atas desakan AS, membebaskan para tahanan Taliban.
Taliban kembali meminta Kabul membebaskan ratusan tahanan yang memiliki ”risiko tinggi” sebagai prasyarat untuk memulai perundingan intra-Afghanistan. Permintaan itu sempat ditolak Kabul dan sejumlah kepala negara lain karena di antara para tahanan ini ada yang memiliki kaitan dengan tewasnya warga mereka di negara itu.
Bersamaan dengan dimulainya perundingan intra-Afghanistan, serangan, kekerasan bersenjata, hingga pengeboman tak pernah berhenti. Tentu saja hal itu membuat tanda tanya besar bagaimana para petinggi Taliban di Qatar bisa merangkul semua anggotanya, yang diperkirakan berjumlah sekitar 600.00 orang, berada dalam satu komando.
Mullah Abdul Ghani Baradar, tokoh utama kelompok Taliban saat ini, dan para petinggi Taliban lainnya setidaknya harus memberikan harapan kepada rakyat Afghanistan bahwa kelompok mereka benar-benar ingin melihat perdamaian abadi di negara itu. Taliban hingga saat ini gagal memperlihatkan sikap yang jelas terhadap perdamaian karena mereka berperang dengan ”saudaranya sendiri”.
Peran Indonesia
Kepercayaan yang diberikan pemimpin Taliban ketika datang berkunjung ke Jakarta pada Juli 2019, kemudian disusul kunjungan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla ke Kabul pekan lalu untuk bertemu sejumlah petinggi Afghanistan, menjadi pintu masuk yang baik bagi peran lebih jauh negara ini dalam proses perdamaian.
Kalla dan timnya, yang memiliki pengalaman dalam menyelesaikan konflik Aceh antara Pemerintah RI dan Gerakan Aceh Merdeka, punya pengetahuan luas tentang celah yang bisa digunakan kedua pihak bertikai untuk mencari jalan terbaik mengakhiri konflik.
Kepercayaan terhadap Indonesia tidak terbangun dengan sendirinya. Menjadi mediator konflik di Afghanistan setidaknya pernah tercatat ketika pada tahun 2007 tim Kedubes RI di Kabul diminta menjadi mediator pembebasan belasan warga Korea Selatan yang disandera oleh Taliban.
Bekal pendekatan kultural dan keagamaan, menjadi bekal untuk membebaskan belasan warga Korsel yang disandera Taliban saat itu. Hal yang sama pun bisa melandasi proses diplomasi Indonesia saat ini, yang telah dimulai sejak beberapa tahun lalu.
Keinginan Taliban untuk ikut serta dalam proses demokrasi, termasuk di dalamnya ikut bersama dalam memerintah Afghanistan, bisa menjadi salah satu hal yang didorong oleh Indonesia.
Peralihan dari kelompok bersenjata, yang ingin berkuasa melalui cara kekerasan, bisa berganti dengan proses yang demokratis, yaitu sebagai sebuah partai politik, seperti halnya Kelompok GAM beralih menjadi Partai Aceh dan beberapa partai lokal lainnya.
Namun, semua itu tidak akan bisa berhasil bila tidak ada rasa saling percaya antara para pihak bertikai, terutama ketika kekerasan yang berujung pada korban jiwa terus berlangsung. Semua ucapan di atas meja perundingan, akan sia-sia bila tidak ada penghentian kekerasan bersenjata dari Taliban dan anggota-anggotanya.
Bila Mullah Baradar dan pentolan-pentolan Taliban bisa berada dalam satu komando, satu suara, menghentikan semua tindakan kekerasan, pengeboman, yang kini tak kunjung henti oleh anggota mereka di lapangan, ini akan menjadi sebuah kemenangan awal bagi perdamaian abadi, yang diiinginkan oleh seluruh rakyat Afghanistan. (REUTERS)