Negara-negara Produsen Baja Saling Lancarkan Perang Tarif
Negara-negara produsen baja memicu perang tarif atas produk baja negara lain akibat naiknya produksi baja China, sedang permintaan domestik di sana melemah.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
KUALA LUMPUR, RABU – Pemerintah Malaysia memberlakukan kebijakan bea masuk atas beberapa produk baja dari China, Korea Selatan, dan Vietnam selama lima tahun. Hal yang sama diterapkan Vietnam atas produk-produk baja dari China. Perang bea masuk atau tarif itu terjadi di tengah proyeksi kenaikan ekspor baja China, seiring melemahnya permintaan baja di pasar domestik.
Kementerian Perdagangan Internasional dan Industri Malaysia di Kuala Lumpur, Rabu (23/12/2020), menyatakan, bea masuk itu diberlakukan pada produk baja yang disepuh atau dilapisi aluminium dan seng. Besaran bea masuk yang diterapkan akan berkisar antara 2,18-18,88 persen untuk produk dari China, sebesar 9,98-34,94 persen untuk produk dari Korsel, dan 3,06-37,14 persen untuk produk dari Vietnam. Kebijakan itu mulai berlaku, 12 Desember lalu hingga 11 Desember 2025.
Kuala Lumpur menyatakan, kebijakan itu diterapkan setelah kementerian perdagangan menggelar penyelidikan anti-dumping. Tidak disebutkan berapa lama penyelidikan itu dilakukan. Pemerintah Malaysia mengatakan, kebijakan penerapan anti-dumping itu dilakukan untuk melindungi industri baja dalam negeri Malaysia. Disebutkan, produk-produk baja dari negara-negara itu diekspor ke Malaysia dengan harga lebih murah dibandingkan harga di negara asal.
Kebijakan antidumping juga diterapkan Vietnam. Merujuk pada keterangan resmi Kementerian Perindustrian dan Perdagangan Vietnam, yang dimuat Bloomberg, Rabu, Hanoi akan mengenakan tarif antara 4,43-25,22 persen untuk produk impor dari 16 produsen baja asal China. Kebijakan itu akan diterapkan selama lima tahun secara efektif mulai 28 Desember mendatang. Pemerintah Vietnam menyatakan, impor produk baja dengan kualitas buruk dapat mengakibatkan kerusakan besar bagi industri baja domestik Vietnam.
Lembaga penyedia informasi harga dan analisa energi serta komoditas, S&P Global Platts, dalam laman resminya pada 10 Desember lalu memproyeksikan ekspor baja jadi dari China meningkat menjadi 65-75 juta metrik ton (mt) tahun 2021 dari perkiraan 54-55 juta mt pada tahun 2020. Peningkatan ekspor itu didorong oleh proyeksi pulihnya permintaan dari pasar China dan kemungkinan perlambatan di pasar domestik China yang dimulai pada tahun depan sehingga mengurangi permintaan baja panjang.
Produksi baja mentah China diperkirakan akan mencapai 1.068 juta mt pada tahun 2021, meningkat dari sekitar 1.045 juta mt pada tahun 2020. Akibatnya, rasio ekspor baja China terhadap produksi baja mentahnya diperkirakan akan meningkat menjadi 6,4-7,4 persen pada tahun 2021 dibandingkan dari perkiraan 5,5 persen pada tahun 2020. Ekspor baja panjang China diharapkan dapat mengejar atau bahkan melampaui ekspor baja datar pada tahun 2021 untuk pertama kalinya sejak tahun 2017.
Ekspor baja panjang China diharapkan dapat mengejar atau bahkan melampaui ekspor baja datar pada tahun 2021 untuk pertama kalinya sejak tahun 2017.
Beberapa sumber pasar mengatakan, pesanan ekspor untuk produk baja datar dan panjang China telah meningkat sejak akhir September lalu. Ini seiring permintaan global yang dilaporkan secara bertahap pulih. Operasi pabrik-pabrik baja secara global belum sepenuhnya kembali ke tingkat sebelum pandemi. Beberapa sumber memperkirakan, disparitas permintaan dan pasokan baja akan berlanjut hingga paruh pertama 2021. Kondisi itu diperkirakan mendukung ekspor baja China, beberapa bulan mendatang.
Langkah India
India dan Jepang, Selasa (22/12), telah menandatangani kesepakatan untuk meningkatkan kerja sama antara industri baja mereka. Tujuannya, selain saling mendukung produksi baja dalam negeri mereka, kedua negara itu saling berkoordinasi dalam lingkungan di pasar global yang didominasi China.
India dan Jepang adalah negara penghasil baja terbesar kedua dan ketiga pada tahun 2019, dengan produksi masing-masing 111,2 juta ton dan 99,3 juta ton. Produksi baja kedua negara itu masih jauh di belakang China sebagai pemimpin baja global. China sudah lama dituduh melakukan dumping dalam ekspor produk baja. Ekspor baja China menghadapi 15 investigasi anti-dumping tahun ini di negara-negara, seperti Australia, Thailand, Inggris, dan AS.
"Melalui dialog, kedua belah pihak diharapkan dapat memperdalam pemahaman bersama tentang situasi seputar industri baja di kedua negara dan di pasar internasional, di mana kelebihan pasokan baja menjadi masalah," kata sumber dari kalangan pejabat India, sebagaimana dikutip Hindustan Times.
Dalam nota kerja sama itu disebutkan, India dan Jepang akan membahas masalah terkait perdagangan dan investasi serta mempromosikan pertumbuhan berkelanjutan di sektor baja. Langkah itu selaras dengan upaya India dan Jepang untuk menciptakan rantai pasokan alternatif dan andal di tengah pandemi Covid-19.
India telah memperpanjang penerapan kebijakan bea anti-dumping atas impor produk baja tahan karat dengan lebar 600-1250 milimeter (mm) dan di atas 1250 mm dari China, Korsel, UE, Afrika Selatan, Taiwan, Thailand dan AS, hingga 31 Januari 2021. Perpanjangan itu diumumkan Central Board of Indirect Taxes and Customs (CBIC) melalui pemberitahuan tertanggal 3 Desember 2020.
Sebagian besar baja yang diimpor dari Jepang ke India adalah baja mutu tinggi. Dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan Jepang telah meningkatkan kehadiran mereka di pasar India dan bekerja sama dengan mitranya untuk menghasilkan baja dengan kualitas lebih baik.
Pada 2019, Nippon Steel dan Arcelor Mittal membeli Essar Steel India. Pembelian itu diklaim sebagai salah satu investasi terbesar yang dilakukan oleh perusahaan Jepang di India. Nippon Steel juga telah menjalin usaha patungan dengan Tata Steel untuk memproduksi baja bermutu tinggi bagi industri mobil.
Sebuah kongsi bisnis yang dipimpin oleh Mitsubishi Corporation dan Larsen & Toubro menjadi kerja sama dengan Steel Authority of India Limited untuk memodernisasi pabrik baja Rourkela. (AFP/REUTERS)