Ulah Kelompok Nasionalis Inggris (3)
Brexit bukan gerakan akar rumput, tetapi pengambilalihan politik kaum elitis, terutama kelompok nasionalis. Inggris bakal berada dalam posisi dirugikan jika kelompok nasionalis terus menolak syarat dari Uni Eropa.
Uni Eropa tidak perlu khawatir akan sikap para pentolan Brexit. Ada hampir setengah warga Inggris yang tidak menyukai Brexit. Suara pendukung Brexit tidak beda jauh dengan 48 persen suara yang menolak Brexit pada referendum 2016. Seperti dituliskan Aditya Chakrabortty, seorang kolumnis harian Inggris The Guardian, 9 Desember 2020, ”Brexit bukan gerakan akar rumput, tetapi pengambilalihan politik kaum elitis.”
Brexit juga ditentang para tokoh di Inggris, termasuk mantan PM Inggris John Major (1990-1997), juga dari Partai Konservatif. Hal serupa pernah dikatakan PM Inggris Tony Blair saat berbicara pada 2005 di sebuah pertemuan yang dihadiri para pentolan Brexit. ”Dengan berada di UE, kita tidak kehilangan nasionalisme Inggris. Kita berada di UE karena kita ada di kawasan ini dan Eropa adalah mitra kita. Ini tahun 2005 bukan tahun 1945,” kata Blair.
Opini para tokoh lama ini bertahan hingga sekarang. Dengan demikian Inggris tidak mudah menerima Brexit secara bulat. Brexit hanya keinginan sebagian kalangan Partai Konservatif dan sempalannya termasuk Partai Brexit. Tentu Perdana Menteri Inggris Boris Johnson (Partai Konservatif), yang sama-sama mantan wartawan dengan mantan PM Winston Churchill, tergolong beringas mengegolkan Brexit. Namun, PM Johnson adalah seorang nasionalis.
Baca juga: Uni Eropa Mengunci Inggris (1)
”Johnson bukan seorang Konservatif, tetapi nasionalis Inggris,” kata mantan Ketua Partai Tory (Konservatif), Chris Patten, juga mantan Ketua Komisi Kebijakan Luar Negeri UE (1999-2004).
Patten sekaligus mengingatkan bahwa pasar Eropa turut dibentuk oleh almarhumah mantan PM Inggris Margaret Thatcher. Karena itu tidak mengherankan jika mantan Wakil Perdana Menteri Inggris (1995-1997) Lord Michael Heseltine berkata, ”Saya tidak bisa memahami mengapa negara saya sampai melakukan hal ini. Mengapa Brexit sampai terjadi. Kita mengambil risiko dalam relasi dengan UE,” kata tokoh Konservatif ini.
Benih Brexit tidak pernah mati
Akan tetapi, Heseltine juga paham jika para pentolan Brexit ini memang eksis sepanjang masa di Inggris. ”Mereka terus berjuang dalam 30 tahun terakhir ini,” kata Heseltine. Kalangan pro Brexit bahkan ada di dalam Partai Konservatif itu.
Ada beberapa hal yang membuat mereka mendukung Inggris. Kaum ini antara lain tidak suka dengan toleransi UE soal imigran. Kelompok nasionalis ini juga masih bermimpi akan kejayaan masa lalu Inggris. Untuk itu mereka mencoba berargumentasi untuk mendukung Brexit.
”Kemakmuran Inggris tidak hanya didapat lewat keanggotaan di UE. Pertumbuhan ekonomi global di masa datang ada di luar UE. Inggris bisa berjaya dengan keluar dari UE,” kata Duncan Smith, mantan Menteri Negara untuk Ketenagakerjaan dan Pensiunan Inggris. Smith adalah mantan tokoh Partai Konservatif, pendukung Brexit.
Baca juga: Nasib Brexit Terkatung-katung 4,5 Tahun (2)
Para pentolan ini benar. UE adalah kawasan yang menua dengan produktivitas menurun. Hanya posisi Inggris tidak seperti negara-negara lain dalam kaitannya dengan UE. Tidak ada negara sedekat Inggris ke UE secara historis ekonomi, sosial, dan politik. Hubungan bilateral ekonomi Inggris-UE beromset satu triliun dollar AS pada 2019. Besaran hubungan ekonomi itu adalah buah dari hubungan UE-Inggris, yang mirip relasi antar-provinsi di Indonesia.
Data Bank Dunia pada 2019 menunjukkan produksi domestik bruto (PDB) UE sebesar 15,59 triiun dollar AS. PDB Inggris hanya 2,83 triliun. Pasar UE terbesar kedua di dunia setelah AS dengan PDB sekitar 21 triliun dollar AS. Pasar UE masih sangat besar.
Kejayaan ekonomi dan keuangan Inggris terjadi dalam sejarah kejayaan bersama Eropa, terutama setelah Perang Dunia II. Ini kemudian terkoneksi dengan tran-Atlantik, di dalamnya ada Amerika Serikat. ”Konteks historis ini juga sebaiknya dilihat,” kata Peter Frankopan, Profesor dari Oxford bidang sejarah global dan penulis buku laris The Silk Roads and The New Silk Roads.
Frankopan juga menambahkan, kerinduan meraih kejayaan masa lalu sulit diraih di zaman globalisasi sekarang ini. ”Kejayaan masa lalu Inggris diraih lewat praktik perbudakan. … Dalam globalisasi, bukan hanya kita yang paling hebat di dunia meski Inggris memiliki daya saing internasional,” kata Frankopan.
Ancaman Skotlandia
Di samping itu, Brexit juga memunculkan risiko. Jika Brexit berakhir kacau, niat Skotlandia untuk pisah dari Inggris Raya berpotensi muncul. Situs Deutsche Welle pada 15 Desember menuliskan warga Skotlandia tidak ingin Brexit mengacaukan kemakmuran. Skotlandia menginginkan relasi mulus dengan UE. Skema Brexit bagi Skotlandia adalah skema yang tidak mengubah banyak relasi ekonomi dengan UE.
Baca juga: Biden Akan Sulit Bersikap Keras terhadap China (1)
”Karena Brexit kami perkirakan akan berdampak negatif bagi ekonomi Inggris Raya, kami akan turut terganggu. Oleh sebab itu, Inggris Raya tampaknya tidak akan menjadi pilihan aman bagi warga Skotlandia,” kata Nicola McEwen, Profesor politik teritorial dari University of Edinburgh.
PM Johnson mencoba meyakinkan bahwa Brexit bisa sukses jika Inggris meniru relasi Australia dengan UE. Mantan Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull memberikan peringatan. ”Hati-hatilah pada apa yang sebenarnya Anda inginkan, sebab Australia melewati proses panjang dalam relasi dengan UE,” kata Turnbull.
Australia tidak memiliki hubungan mulus dengan UE, seperti ketika Inggris berada di dalam UE. Demikian juga dengan relasi Kanada-UE, yang juga disebut ingin ditiru Inggris. Kanada tidak memiliki relasi bisnis mulus dengan UE, seperti ketika Inggris berada di dalam UE.
Koneksi Trump
Akan tetapi, kekhawatiran soal Brexit ini bukan hanya tentang utopia para nasionalis Inggris. Ada dugaan isu Brexit ini campur aduk dengan upaya merusak trans-Atlantik dari dalam. Salah satu tokoh nasional yang paling gencar mengegolkan Brexit selama dua dekade adalah Nigel Farage, seorang pemuja Presiden AS Donald Trump. Farage terang-terangan menyebutkan Trump sebagai teman, dan teman yang tidak akan lupa pada temannya.
Baca juga: Kekuatan Militer China Meraung-raung di Lautan (2)
Sama seperti Trump, Farage bahkan disebut-sebut memiliki koneksi Rusia seperti dituliskan pada 16 Juni 2018 di harian The Guardian. Koneksi ini juga pernah menjadi bagian dari penyelidikan FBI (AS). Farage membantah tuduhan tersebut. Farage malah balik mengingatkan bisnis besar, bank-bank besar dan ”politik besar” yang dia tuduh selalu konstan menggagalkan Brexit. ”Ini tidak akan berhasil,” demikian Farage pernah sesumbar.
Namun, niat kuat Farage mendorong Brexit dan dugaan koneksinya dengan Rusia tidak bisa ditepis. Ketika Brexit diperkirakan akan menjadi kenyataan, Menteri Luar Negeri Inggris ketika itu (2016), Philip Hammond, berbicara di Chatham House, sebuah lembaga think tank. ”Satu-satunya negara yang senang kita meninggalkan UE adalah Rusia,” kata Hammond.
Rusia sejak lama sangat tidak suka dengan perluasan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) lewat kolaborasi Eropa dan AS. Trump adalah juga pendukung kuat Brexit, serta memberikan ucapan selamat kepada Boris Johnson saat Brexit resmi terjadi pada Januari 2020.
Baca juga: Dua Negara Terkuat Bertarung dengan Kekuatan Setara (3)
Serangan para pentolan Brexit juga senada dengan serangan Trump pada Eropa. Keduanya sama-sama menyudutkan Kanselir Jerman Angela Merkel. Jika kaum nasionalis Inggris mendukung Brexit, Trump juga ”meninggalkan” tradisi kesetiaan AS pada NATO. Tidak pelak lagi, ini adalah sesuatu yang diinginkan musuh-musuh trans-Atlantik, yakni Rusia dan China. Mengapa mereka melakukan itu?
Faktor geopolitik
Situasi ini tidak luput dari para pemikir dan pemimpin Eropa dan AS dalam konteks geopolitik. Seperti dikatakan Presiden Perancis Emmanuel Macron pada 13 Desember 2020, Brexit hanya membuat Inggris meninggalkan pasar UE, tetapi tidak membuat Inggris keluar dari Eropa. Inggris akan tetap berada di Eropa dan sekian lama berbagi nilai dengan Eropa serta tumbuh bersama Eropa. Tentu ada hubungan naik-turun, kata Macron, tetapi ikatan Inggris dengan Eropa tidak akan pernah hilang.
Pernyataan Macron menekankan kesatuan Eropa di tengah dunia yang berubah, termasuk dengan dominasi China dan eksistensi Rusia. Inggris wajib menanggung tugas bersama secara global sebagai bagian dari Eropa.
Pernyataan Macron senada dengan keinginan presiden terpilih AS, Joe Biden, seperti diberitakan harian The New York Times, 2 November 2020. Biden sudah menegaskan tidak akan ada Brexit dengan pemagaran perbatasan Irlandia Utara dan Republik Irlandia. Ini merupakan sinyal keras bagi pendukung Brexit. Penyatuan wilayah (tanpa perbatasan) antara Republik Irlandia dan Irlandia Utara adalah penawar konflik di Irlandia yang dulu pernah berlangsung puluhan tahun.
Biden berdarah Irlandia juga sangat paham akan daya rusak akibat koneksi Trump-Putin. Untuk memenggal koneksi itulah Biden maju dan menang dalam Pemilu Presiden AS 2020. Dengan demikian, Brexit yang dalam impian PM Johnson akan mulus dengan relasi AS di bawah Trump, kini sudah buyar. Di bawah Biden, PM Johnson tidak memiliki pilar kuat di AS untuk memuluskan Brexit.
Masalah kepemimpinan
Lalu bagaimana akhir dari Brexit ini? Brexit masih jadi pembahasan hingga 31 Desember 2020. Akan tetapi, urusan Brexit tidak akan pernah selesai. Ada banyak risiko di dalamnya di samping potensi keuntungan yang diiming-imingkan PM Johnson dan para pentolan Brexit.
Ke depan, seperti dikatakan Frankopan, hal yang juga perlu adalah bagaimana pemimpin Inggris bisa tampil kuat, seperti Thatcher yang pernah mengalahkan kelompok Eurosceptics. Dengan perubahan geopolitik sekarang ini, dibutuhkan kehadiran UE dan AS yang kuat. Inggris adalah lapisan kuat Eropa dan tidak seharusnya dikuasai kelompok nasionalis picik.
PM Johnson mungkin perlu berefleksi tentang pidato Churchill yang menyatakan Inggris, walau tidak bagian dari Uni Eropa, siap mendukung Eropa demi kejayaan Eropa, bukan membuat Inggris menjadi beban dan melemahkan Eropa.
Lepas dari itu, sistem UE tidak akan menutup pintu jika Inggris kembali lagi ke UE. Ada aturan di UE yang selalu memberikan kesempatan bagi anggota untuk keluar dari UE, lewat Artikel 50 UE. Namun, juga ada kesempatan untuk masuk kembali, lewat Artikel 49 UE. (Habis)