Nasib hubungan Inggris dan Uni Eropa pasca-Brexit masih tidak jelas. Uni Eropa mendikte syarat yang berat dan Inggris meniinginkan kebebasan dan sekaligus kemudahan dalam semua hal.
Oleh
Simon Saragih
·6 menit baca
Nasib Brexit terkatung-katung selama 4,5 tahun terakhir. Kegagalan finalisasi Brexit juga terjadi lagi sepanjang pembahasan pada 2020 ini. Hal tersebut menabuh kembali amuk dari para pentolan Brexit, julukan bagi Inggris keluar dari Uni Eropa (UE). Para pentolan ini menyudutkan dan menuduh UE sebagai pihak di balik kegagalan. Mereka juga mengatakan, UE tidak demokratis dan bertindak sepihak.
Seandainya perundingan Brexit berakhir dengan kesepakatan baik (soft Brexit), terbuka jalan mulus bagi Inggris untuk terlepas dari UE mulai 1 Januari 2021 secara de facto. Negosiasi sepanjang 2020 dan mencapai puncaknya pada Desember ini sebenarnya bertujuan menghindari ”hard Brexit”, ini sebutan bagi arti Inggris meninggalkan UE begitu saja. Dengan ”hard Brexit” otomatis berlaku skema WTO, Organisasi Perdagangan Dunia. Ini legal juga.
Hanya saja, para pebisnis Inggris, dan sebenarnya pebisnis UE juga, sangat takut dengan ”hard Brexit”. Efeknya adalah potensi kekacauan bisnis, termasuk pemberlakuan tarif impor hingga 40 persen, jika Inggris mengekspor produk ke UE, khususnya untuk sektor pertanian. Karena, asas resiprokal boleh berlaku di dalam WTO, Inggris bisa melakukan hal serupa.
Kegagalan perundingan telah menyebabkan penimbunan stok barang di Inggris dan kemacetan di perbatasan Inggris-UE. Kegagalan ini adalah akibat Inggris menolak segala persyaratan dari UE demi tercapainya soft Brexit. Inggris menolak tuntutan UE, yang memang terkesan sepihak. Dikatakan sepihak karena adalah UE yang terus mendiktekan keinginan.
Dalam rangkaian diskusi sebelumnya, Inggris sebenarnya sudah memenuhi sejumlah tuntutan UE demi soft Brexit. Namun, UE terus meminta persyaratan tambahan. UE, misalnya, sebelumnya telah meminta Inggris menuruti perjanjian arrest warrant. Dalam hal ini, jika ada pelaku kriminal yang berdomisili di UE dan Inggris, kedua belah pihak harus bekerja sama. Inggris sudah setuju soal ini. UE dan Inggris juga sudah bersepakat dalam kerja sama tentang pelanggaran hak asasi manusia.
Hal lain yang menjadi tuntutan UE dan sudah dipenuhi Inggris adalah perbatasan di Pulau Irlandia. Pulau yang menjadi lokasi Republik Irlandia (anggota UE) dan dengan Irlandia Utara (wilayah Inggris) disepakati agar tidak memiliki perbatasan. Jika ada ekspor dari Inggris ke UE lewat Republik Irlandia, hal itu tidak diperiksa di perbatasan, tetapi di tempat lain yang sudah ditentukan.
Siap menggigit
Bagi para pentolan Brexit, Inggris sudah cukup mengalah dengan menyetujui beberapa tuntutan UE. Hal inilah yang membuat para pentolan Brexit ini menyarankan agar Perdana Menteri Inggris Boris Johnson tidak menuruti lagi UE. Itu karena dalam pandangan para pentolan Brexit, UE sudah bertindak keterlaluan.
Harian Inggris, The Express, termasuk yang paling gencar menyudutkan UE. Harian ini menuliskan, UE mirip kucing yang mempermainkan tikus (PM Boris Johnson). ”Ini adalah hukuman dari UE yang bersekutu untuk mempermalukan PM Johnson,” demikian The Express, edisi 20 November 2020.
Mantan anggota Partai Brexit Ben Habib, dikutip harian itu mengatakan, ”UE sedang menanti untuk menggigit Inggris secara fatal.” Belinda de Lucy, juga mantan anggota Partai Brexit, mengatakan, tujuan UE sejak awal dan seterusnya adalah untuk menetralisasi Brexit. ”UE seperti hendak mengatakan … kami akan mempermainkanmu,” kata Lucy.
Harian tersebut juga menuduh Perancis sebagai salah satu yang paling keras. Presiden Emmanuel Macron menilai, UE terlalu lembut menghadapi Brexit.
UE mengakui kedaulatan
Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengatakan, UE tidak hendak menekan Inggris. Itu dia katakan kepada pers pada 11 Desember 2020 di Brussels, didampingi oleh Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden Dewan Eropa Charles Michel. UE solid menghadapi Brexit dan siap menerima apa pun keputusan Inggris, ”soft Brexit” atau ”hard Brexit”.
”Tidak ada paksaan bagi Inggris untuk mengikuti saran kami. Inggris tetap bebas dan berdaulat, seperti Anda inginkan, dan bebas memutuskan apa yang Anda diinginkan,” kata Ursula.
Akan tetapi, keinginan Inggris adalah tercapainya ”soft Brexit” tanpa tambahan aturan dari UE. Di sisi lain, PM Johnson sulit menerima ”soft Brexit” sebab dia akan ditentang para pentolan Brexit. Ketua Partai Brexit Nigel Farage, salah satu yang paling garang mendukung, Brexit berkata, ”Jika Inggris menuruti lagi tuntutan UE, kita tidak akan meraih Brexit yang sempurna. Hal yang kita maui, Inggris bebas dari aturan dan tuntutan UE.”
Kemauan Farage dan antek-anteknya ini tidak mungkin dibiarkan oleh UE. Anggota Parlemen Eropa asal Perancis, Bruno Bonnell, menjawab tak langsung seruan Farage. ”Tidak mungkin Inggris menikmati pasar UE jika Inggris tidak memiliki aturan sesuai dengan aturan yang berlaku di UE. Bersikaplah adil,” kata Bonnel.
Perlindungan pasar UE dengan mengutamakan para pelaku di dalam UE adalah misi UE. Tidak mungkin orang luar menikmati pasar UE jika tidak taat aturan, apalagi sampai merugikan pelaku bisnis di UE. ”Kami harus menjaga keutuhan pasar kami dan aturan permainan harus setara,” kata Ursula.
UE meminta Inggris memiliki standar lingkungan, aturan ketenagakerjaan, dan beberapa aturan lain. ”Adalah adil jika perusahaan-perusahaan Inggris yang menjadi pesaing bagi perusahaan-perusahaan kami dikenai peraturan yang sama jika mereka ingin memasuki pasar kami,” kata Ursula.
Ursula sangat benar. Inggris bebas memilih, mengikuti atau menolak persyaratan UE. Hanya saja, jika Inggris tidak menuruti, akses bebas ke pasar UE tidak akan ada. Jika menolak, ada sanksi berupa tarif dan kuota dari UE yang siap menikam Inggris. Sikap UE ini logis dan berdasar. UE semakin tegas mengingat Inggris selalu percaya diri dengan Brexit. Tekanan UE menjadi lebih logis lagi jika diingat segala serangan pendukung Brexit pada Merkel dan Ursula, bahwa Brussels (markas UE) telah mendikte.
Nigel Farage, Ketua Partai Brexit, pernah menuduh Ursula sebagai mirip diktator. Farage sekaligus menyatakan Brexit akan mulus. Atas sikap pentolan Brexit itu, UE mengeras dan seakan berkata kepada Inggris, ”Silakan, ambil keputusanmu.”
Tidak ada titik temu
Kemelut ini justru memunculkan pertanyaan. Apa sebenarnya yang diinginkan Inggris dengan Brexit? Inggris ingin berbuat seenaknya sebagai sebuah negara berdaulat, tetapi sekaligus ingin bebas menikmati pasar UE tanpa mau menuruti persyaratan? Ada niat tersembunyi Inggris yang secara jeli dilihat oleh UE.
Sikap keras UE berdasar. Ambil contoh, misalnya, saat krisis ekonomi terjadi pada 2008 di Eropa dan 2009 di AS. Krisis ini terjadi juga karena tipu muslihat di sektor keuangan global, yang bermarkas di New York dan London. Liberalisasi di sektor keuangan telah mendorong penipuan di pasar keuangan global, yang kemudian menggigit perekonomian di seluruh Eropa dan AS.
UE berpendapat, setelah Brexit, bisa saja Inggris memberikan keleluasaan bagi pebisnisnya berupa pelonggaran peraturan. Dengan demikian, perusahaan Inggris bisa beroperasi lebih efisien saat bersaing dengan perusahaan UE di pasar UE. Jika Inggris, misalnya, memberikan subsidi kepada perusahaannya, sementara UE tidak memberikan hal serupa kepada perusahaan UE, hal itu akan berpotensi mengacaukan daya saing perusahaan-perusahaan UE.
Bagaimana akhir dari semua ini? Tidak akan ada akhirnya jika Inggris tidak menuruti UE. Dan adalah Inggris yang akan terus pusing dengan sikapnya. ”UE memang berniat mengunci Inggris dengan beberapa persyaratan yang dimintakan kepada Inggris,” demikian Duncan Smith, mantan menteri dan tokoh Partai Konservatif yang pro-Brexit.
Solusi dari UE juga tidak berubah serta tidak mau pusing. Uni Eropa sudah menyatakan tidak terlalu memikirkan Brexit dan tidak akan menjadikannya sebagai agenda utama. Diberitakan kantor berita Reuters, 10 Desember, Ketua Pertemuan Puncak Inggris-UE mewakil UE, Charles Michel, berujar. ”Brexit tidak akan menjadi agenda paling penting bagi kami. Kami tidak akan memiliki waktu panjang untuk debat,” kata Michel.