Hanya isu Iran yang praktis bisa menandingi hiruk pikuk dinamika hubungan Arab-Israel.
Oleh
Musthafa Abd Rahman dari Kairo, Mesir
·5 menit baca
Kawasan Timur Tengah sepanjang 2020 didominasi oleh dinamika hubungan Arab-Israel. Bermula dari pengumuman proposal Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang terkenal dengan sebutan Transaksi Abad Ini pada 28 Januari, lalu diikuti oleh tercapainya Kesepakatan Abraham (Abraham Accord) antara Israel dan beberapa negara Arab menjelang akhir 2020.
Hanya isu Iran yang praktis bisa menandingi hiruk pikuk dinamika hubungan Arab-Israel. Isu Iran yang cukup mengguncang Timur Tengah adalah tewasnya Mayor Jenderal Qassem Soleimani oleh serangan rudal AS di Baghdad, 3 Januari. Peristiwa itu kemudian diikuti oleh terbunuhnya ilmuwan nuklir ternama Iran, Mohsen Fakhrizadeh, pada 27 November.
Soleimani dikenal sebagai seorang jenderal legendaris Iran karena menjabat sebagai Komandan Brigade Al Quds, yakni unit elite di jajaran Garda Revolusi Iran yang memiliki tugas untuk melaksanakan misi revolusi Iran di luar negeri.
Maka, saat itu sempat muncul kecemasan akan meletusnya perang terbuka AS-Iran sebagai aksi balasan Teheran atas tewasnya Soleimani itu. Namun, Iran hanya membalas dengan serangkaian serangan rudal balistik Iran atas kamp militer AS di Ain Assad, arah barat kota Baghdad, dan kamp militer AS dekat kota Erbil, Kurdistan, 8 Januari 2020.
AS juga memilih tidak melakukan balasan balik terhadap serangan rudal balistik Iran tersebut. Dunia lega karena situasi mereda menyusul AS dan Iran tidak terus saling melancarkan serangan balasan.
Iran pun sampai saat ini juga belum melancarkan aksi balasan atas tewasnya Fakhrizadeh yang diduga kuat dilakukan Dinas Intelijen Luar Negeri Israel, Mossad. Isu Iran pun cepat mereda, baik pasca-kematian Soleimani ataupun Fakhrizadeh. Akan tetapi, terkait isu hubungan Arab-Israel, dinamikanya terus berlanjut sampai akhir 2020.
Pasalnya, setelah proposal damai AS yang terkenal dengan nama Transaksi Abad Ini tersebut gagal—karena ditolak Palestina dan masyarakat internasional—AS ternyata berhasil menggiring sejumlah negara Arab untuk membuka hubungan resmi mereka dengan Israel.
Dimulai dari pembukaan hubungan Israel dengan Uni Emirat Arab (UEA) pada Agustus 2020, kemudian disusul pembukaan hubungan resmi Israel-Bahrain pada September 2020. Belakangan, Israel dan Sudan menjalin hubungan resmi pada Oktober 2020 yang diikuti normalisasi Israel-Maroko pada Desember 2020.
AS berhasil mengusung konsep pendekatan transaksi untuk menekan sejumlah negara Arab agar bersedia membuka hubungan resmi dengan Israel itu meski isu Palestina masih jauh dari selesai.
Transaksi AS dengan UEA dan Bahrain dalam bentuk payung keamanan AS terhadap dua negara Arab kecil Teluk itu dalam menghadapi Iran.
AS memanfaatkan tajamnya pertarungan geopolitik di Timur Tengah saat ini dengan mendekati negara kecil seperti UEA dan Bahrain yang terlibat dalam pertarungan tersebut untuk memberikan payung keamanan.
AS, misalnya, menjanjikan penjualan pesawat termpur terbaru dan tercanggih saat ini, F-35, kepada UEA untuk memberikan keunggulan udara bagi UEA dalam menghadapi lawan-lawannya di kawasan.
AS juga berjanji membantu pembangunan pipa minyak bawah tanah dari UEA dan Bahrain menuju Israel, lalu minyak itu diekspor ke Eropa. Hal itu untuk menghindari ekspor minyak dari UEA dan Bahrain melewati Selat Hormuz yang sering dijadikan obyek ancaman Iran.
AS berhasil pula mencapai transaksi dengan Sudan agar bersedia membuka hubungan resmi dengan Israel. Transaksi tersebut dalam bentuk AS mencabut nama negara Sudan dari daftar negara pendukung teroris yang ditetapkannya sejak 1990-an karena Sudan dituduh mendukung Tanzim Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden saat itu.
Bagi Sudan, pencabutan dari daftar negara pendukung teroris sangatlah penting untuk membuka jalan bagi bantuan asing ke Sudan dalam upaya pemulihan ekonomi negara yang sedang sekarat itu. Adapun transaksi AS dengan Maroko adalah dalam bentuk pengakuan terhadap kedaulatan Maroko atas Sahara Barat.
Presiden AS Donald Trump berhasil memanfaatkan momentum kebutuhan Maroko atas solusi isu Gurun Sahara Barat itu dengan mencapai transaksi AS-Maroko dalam bentuk pengakuan AS atas kedaulatan Maroko terhadap Gurun Sahara Barat. Imbalannya adalah pembukaan hubungan resmi Israel-Maroko.
Seperti diketahui, isu konflik di Gurun Sahara Barat bermula dari sengketa antara Maroko dan Gerakan Pembebasan Gurun Sahara Barat (Polisario) terkait kedaulatan atas wilayah Gurun Sahara Barat. Konflik ini menyusul kolonial Spanyol mengakhiri pendudukannya atas wilayah tersebut pada 1975.
Maroko mengklaim telah memiliki kedaulatan atas Gurun Sahara Barat. Juga mengusulkan diterapkan otonomi luas dengan kedaulatan di tangan Maroko atas wilayah tersebut. Adapun Polisario menuntut digelar referendum atas penduduk Gurun Sahara Barat untuk menentukan nasib mereka sendiri.
Isu Sahara Barat itu pun segera menggiring pertarungan geopolitik di Afrika Utara karena Aljazair mendukung tuntutan Polisario. Hal itu menjadi sumber ketegangan hubungan Maroko-Aljazair sejak 1975 sampai saat ini.
Maroko sangat berharap pengakuan AS terhadap kedaulatan Maroko atas Gurun Sahara Barat bisa mengakhiri ketegangan geopolitik di Afrika Utara dengan posisi Maroko memenangi pertarungan itu.
AS sebenarnya juga telah menggunakan pendekatan transaksi untuk membujuk Palestina agar menerima Transaksi Abad Ini. AS menawarkan alokasi dana 50 miliar dollar AS untuk negara Palestina kelak yang sebagian besar dana itu akan dipikul negara-negara Arab kaya Teluk, jika Palestina menerima Transaksi Abad Ini.
Namun, Palestina tetap menolak keras tawaran transaksi 50 miliar dollar AS tersebut. Sebab, Transaksi Abad Ini banyak merugikan hak-hak politik Palestina dan sebaliknya sangat menguntungkan Israel.
Palestina menolak keras hak-hak politiknya di wilayah Tepi Barat, Jerusalem Timur, dan Jalur Gaza ditukar dengan dana segar puluhan miliaran dollar AS.
Itulah yang menyebabkan AS gagal menggiring Palestina menerima solusi final dengan Israel melalui Transaksi Abad Ini.